RenJiao's POV
Banyak orang yang berharap untuk mendapatkan perhatian. Terlebih karena kecantikan seseorang. Bagiku sendiri, perhatian itu sangat dibutuhkan. Jika kau ingin menjadi orang yang sukses, mendapat perhatian dan memiliki banyak kenalan adalah poin utama. Tidak peduli apakah mereka membenci dirimu dan mencari momen untuk menjatuhkan lawan
Ada satu hal yang berkaitan dengan perhatian yang aku benci, sangat benci. Perhatian yang diberi seperti sedang menimang apakah aku seorang predator atau seorang mangsa. Tatapan mereka semua sungguh mengganggu diriku yang berdiri di depan kelas. Perlu dikatakan, berdiri di depan untuk memperkenalkan diri di saat ujian tengah semester akan datang sangat mengganggu.
"Silakan perkenalkan diri." Guru yang berada di sampingku menatap datar ke arah semua murid, seperti merasa malas dengan kehadiranku.
"Wu RenJiao, bisa dipanggil RenJiao, pindahan dari Depok." Setelah perkenalan singkat itu, aku terhenti dan menatap guruku, ingin menjelaskan kalau aku sudah selesai. Sayangnya, guru itu sepertinya tidak sadar. "Salam kenal," tambahku datar.
"Duduk di kursi yang ada nama kamu."
Sebagai balasan, aku hanya mengangguk tanda mengerti. Untungnya, di kelas hanya ada dua kursi kosong dan pada kursi pertama, aku sudah menemukan namaku. Melihat adanya computer di bawah meja membuatku membulatkan mata sekilas, tentunya menarik perhatian anak di sampingku. Suaranya yang rendah mengejutkanku, ketika aku menatapnya, manik abu terang menusuk ke dalam jiwa.
"Kaget? Kalo keliling bakal lebih kaget lagi. Anyway, salam kenal." Aku memberinya tatapan seperti ingin menanyakan namanya. Belum dia menjawab, guru di depan kelas langsung memulai bimbingan pagi.
"Ujian tengah semester tinggal tiga minggu, kegiatan klub akan dinonaktifkan seminggu sebelum ujian. Lomba antar sekolah akan di-pending."
"Kenapa gitu, Bu? Taon lalu masih boleh!" seru anak dengan rambut pirang. Dari gaya dia berbicara terasa seperti pemilik kelas, namun tatapan anak lain menunjukkan hal berbeda.
"Nggak ada yang ngebantah!" Teriakan guruku berhasil membuat seluruh anak terdiam. "Perintah langsung dari Kepala Sekolah, biar nggak ada anak yang stress. Ngerti?"
Awalnya semua anak terdiam dan tidak menjawab pertanyaan itu, setelah dia kembali bertanya dengan nada yang lebih tinggi, semua langsung tergagap untuk menjawab. Merasa puas, guruku segera meninggalkan kelas dan membiarkan ruang kelas menjadi rusuh selama menunggu jam pertama yang masih lima belas menit lagi.
"Mampus deh si Olivia!" seru anak yang duduk di belakangku. "Dia kan cuma bisa andelin prestasi. Sekarang di-banned, jadi kek orang goblok!"
"Carla juga! Ntuh badan semoknya yang bisa dia andelin."
"Bacot!" jerit anak ang kuduga adalah Carla. "Kalo punya mulut tuh dijaga! Mikir dulu pake otak!"
Anak pertama terdengar terkekeh kecil. "Kenapa? Kita lagi muji loh. Gak mau dibilang semok?"
Pengulangan kata itu berhasil membuat Carla semakin marah. Dia menjerit sembari bangkit berdiri, melangkahkan kaki besar-besar menuju anak di belakangku. Meski dia melewatiku, matanya sama sekali tidak bertemu denganku barang sedetik pun. Baguslah, aku sangat benci dengan orang yang berusaha untuk melakukan kontak mata denganku.
Keributan itu terus berlanjut hingga perhatianku teralih kepada beberapa anak yang menatapku. Mereka memiliki pandangan yang sama, membuatku segera menunduk untuk menghindari kontak mata yang mereka inginkan. Usahaku itu sia-sia saja karena mereka justru mulai berbicara di saat bersamaan, memperkenalkan di mereka masing-masing.
KAMU SEDANG MEMBACA
STYB 2: Survivors
Ficção AdolescenteRahasia tanpa akhir membuat semua menjadi buta. Mereka yang berusaha untuk terlihat baik-baik saja menjadi seorang pejuang. Kematian Laurena Llyod bukan menjadi akhir untuk mereka semua bertanding menjadi yang paling sempurna. Dunia yang keras hany...