Chapter 6 - Strict

8 2 2
                                    

Olivia's POV

"Nilai lu," ucap Sam tiba-tiba. Aku yang sedang makan untuk pertama kalinya hari itu langsung tersedak. Apa dia tidak pernah tau kapan harus bicara dan kapan lebih baik diam? "Minggu depan ulangan, kan? Ujian tengah semester."

Setelah minum air banyak-banyak, aku menatap Sam dengan sinis. "Harus banget dibahas di sini?"

Nampaknya Sam sadar dengan apa yang kumaksud sehingga dia langsung mengangguk-angguk tanda mengerti dan meminta maaf tanpa berkata apa-apa. Dia sendiri langsung melanjutkan makannya dalam diam. Sesekali Sam melirik ke arah pelayan yang setia menunggu di dapur selama kami makan. Entah seberapa banyak ayah membayar mereka untuk bungkam setiap kali mendengar pembahasan aneh di meja makan ini.

Begitu semua makanan sudah habis, dia kembali menatapku seperti ingin melahapku hidup-hidup. Merasa sangat terganggu, aku membanting garpu yang ada di tangan dan menatap penuh kebencian ke arah Sam. Dia tidak akan pernah merasa puas sampai aku sendiri yang menjawab perkataannya ini, sesuatu yang sangat menyebalkan dan aku benci dari Sam. Sebelum keinginannya tercapai, dia tidak akan pernah menyerah menggali jawaban tersebut.

"Gua udah belajar kali ini, nggak usah takut."

"Sembilan puluh di tangan?" Permintaan yang begitu tinggi berhasil membuat sekujur tubuhku terasa dingin dan kaku. Helaan napas panjang berhasil lolos. Untuk mendapat nilai setinggi itu, rasanya aku harus membuka kepala dan mengganti otak dengan milik Raquel.

"Kalo gua bilang nggak bisa, lu juga bakal tetep maksa, kan? Jadi buat apa nanya gua?"

Mendapatkan sebuah jawaban untuk membalas Sam membuatku merasa jauh lebih baik. Biasanya aku selalu merasa tertekan saat Sam mengancamku, tapi kali ini aku berhasil mengelaknya dan membuatnya bungkam. Tidak mau lebih lama dengannya, aku segera meninggalkan meja makan juga sisa makananku yang sudah tidak tampak menarik. Sam juga sepertinya sadar akan apa yang aku lakukan.

Sudah menjadi kebiasaan, bisa dikatakan buruk, bagiku saat merasa kesal atau tidak mood. Aku pasti akan meninggalkan pekerjaan yang sedang kulakukan, terkecuali ketika saat latihan. Justru, aku memanfaatkannya untuk menyalurkan emosiku dan amarah yang terus bergejolak tanpa bisa diredakan dengan cara lain. Sam yang sering melihat ini selalu berusaha untuk menasehatiku, terlebih ketika aku memilih untuk meninggalkan makananku. Sayangnya, kali ini Sam sama sekali tidak peduli.

Tingkat tidak pedulinya itu sudah menjelaskan kalau dia sebenarnya tidak ingin terlibat dalam masalahku. Jika aku ada masalah, tentunya dia juga akan terlibat. Dia hanya ingin mengurangi risiko tersebut dan melindungi dirinya sendiri, bukan karena peduli benar-benar kepadaku. Kakak macam apa yang memiliki hati beku seperti itu? Bahkan rasanya seperti aku tidak memiliki kakak sama sekali ... lebih tepatnya aku adalah anak pungut di dalam keluarga ini, karenanya semua membenciku.

Tidak lama setelah aku sampai di kamar, ponsel yang tertinggal kini berdering kencang, menandakan seseorang berusaha untuk menghubungiku. Dengan helaan napas, aku segera mengambil dan memperhatikan nama yang ada di sana. Itu tidak lain adalah Rachelle, bukan hal yang asing untuk melihatnya menelepon terlebih semenjak ujian semakin dekat. Dia terus berkata kalau tidak ingin aku tertinggal dan mencari gara-gara dengan ayah.

Pembicaraan kami di telepon berhasil membuatku sampai tertidur. Ketika aku membuka mata, aku masih berada di meja belajarku, dengan buku yang penuh dengan coretan dan beberapa coretan tidak jelas yang pasti aku berikan karena aku tertidur. Aku segera mengecek ponselku untuk melihatnya masih tersambung dengan yang lainnya. Meski begitu, tidak ada dari mereka berdua yang berbicara. Bisa saja Raquel dan Rachelle sudah tertidur atau mereka membiarkannya seperti itu karena fokus dengan tugas masing-masing. Mereka sudah berada di kelas akhir, tentunya harus belajar keras.

STYB 2: Survivors Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang