b. anugerah terindah yang pernah kumiliki.

5.6K 744 97
                                    

2011

Raihan Aditya Ramadhan:
IPA: 100
MTK: 100
Penjas: 100
TIK: 85
IPS: 85
Bahasa Indonesia: 85
Bahasa Inggris: 35

Kamilia Anindira Rainisa:
Bahasa Inggris: 100
Bahasa Indonesia: 100
IPS: 100
TIK: 85
IPA: 85
MTK: 80
Penjas: 30

***

KESAAAAAL.

Itu yang Indira ingin jeritkan di hatinya!

Akibat kekurangan pemain, Indira terpaksa ditunjuk bergabung dengan tim basket perempuan 7B untuk Porseni*. Tahu apa yang menyebalkan? Ia harus bermain di tengah siang bolong.

Indira berlari malas-malasan di tengah lapangan. Mulut mengerucut manyun karena malas sekali harus mengejar bola yang tak ada penting-pentingnya itu. Ia benci rebutan, kompetisi, lomba, atau apapun itu yang membuang energinya saja. Olahraga yang Indira sukai adalah permainan bola kecil seperti badminton dan kasti, sesuatu yang mengharuskan 'bergiliran' dalam bermain, alih-alih berebut. Lagipula kenapa mereka harus rebutan? Lebih baik ia minum teh Ari di kantin dengan damai.

Kontras dengannya, Tita sangat semangat berlari mengejar bola yang kini ada di tangan anggota tim 7A yang memang jago olahraga, Indy. Tita secara brutal merebut bola dari Indy bersama anggota 7B lain, setelah itu berebut kembali untuk melakukan dribble melawan anggota 7B-nya sendiri.

Intinya, aturan main sudah musnah jika perempuan yang bermain. Asal tangan ikut menepuk bola—atau menendang bola dalam sepak bola—maka permainan terus jalan. Ke mana bola itu pergi, semuanya dengan heboh dan bergerombol akan berebut untuk menepuk bola bahkan melawan anggota timnya sendiri. Salah satu misteri jika perempuan bermain basket dan sepak bola.

PRIIIITT...

Kak Wido, anggota OSIS yang menjadi wasit, meniup peluit saat ring 7B kebobolan. Anak-anak kelas 7A bersorak senang. Anak-anak kelas 7B biasa saja, tak sedih atau apapun karena mereka tahu yang bermain adalah orang payah.

***

"WOY, DIEM, BEGE! SSTT!!!"

Raihan, Martin, Gara, dan Abidzar membatu di kolong meja. Lampu kelas mati. Kartu UNO dibiarkan berserakan di lantai lantaran derapan sepatu terdengar di koridor. Dua detik kemudian, pintu kelas dibuka secara tiba-tiba, menampilkan anak lelaki kelas delapan dengan rompi dan topi OSIS.

Untuk beberapa saat, persembunyian mereka seolah aman, hingga semuanya buyar ketika...

"ANJRIT, LO KENTUT YA, JAR?!"

Raihan berseru heboh, menutup hidungnya.

"Bukan gue! Gara!" Abidzar menyahut tak terima.

"Apaan, sih?! Enggak!"

"Martin, anjiiiir!"

"HEI."

Kepala anak OSIS muncul di kolong meja, membuat mereka berempat memekik.

"Enggak ada yang di kelas! Semuanya keluar!"

Mereka berempat mendesah bersamaan, merapikan kartu UNO penuh berat hati. Merusak suasana saja. Anak OSIS biasa melakukan sweeping ke setiap kelas untuk memastikan semua murid turun ke lapangan dan menonton Porseni—yang membosankan. Pintu gerbang dijaga OSIS, jalan ke kantin dijaga OSIS, tangga dijaga OSIS, semua di-sweeping kecuali anak-anak yang sedang remedial—hell, bukankah ini pelanggaran HAM?—oleh karena itu, mereka bersembunyi di kolong meja untuk bermain UNO.

"Ayo, keluar! Keluar!"

"Iya, Kaak..."

Mereka berempat segera berhambur keluar. Martin mengemper dekat anak kelas 7D di koridor, disusul oleh Raihan, Abidzar, dan Gara.

Rest AreaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang