"Mbak Indira, itu di bawah ada Mas Raihan!"
Indira menengok sebentar ke pintu kamarnya yang diketuk oleh asisten rumah tangga. Ia menyemprotkan parfum untuk terakhir kali. Setelah dirasa rapi, Indira meraih sling bag dan keluar dari kamar.
Raihan, seperti setiap malam minggu, tengah mengobrol dengan ayah Indira di ruang tengah sembari menunggunya. Biasanya yang mereka bicarakan tak jauh-jauh dari pertandingan bola. Apalagi jika sedang musim AFF, alih-alih bermalamminggu berdua, Raihan justru menghabiskan malam minggu dengan ayah Indira di depan TV sambil berteriak-teriak heboh, mencaci maki pemain yang offside, dan bersorak gembira saat gol.
"Nah, tuh, Indira." Ayah Indira menyahut di tengah obrolan.
Raihan menengok, melihat pacar 11 tahunnya menuruni tangga. Lelaki itu melemparkan senyum kepadanya.
"Sekali-kali kegiatannya yang bermanfaat, jangan ngemal terus," pesan ayah Indira. "Mancing atau olahraga. Biar sehat. Indira makin ngembang ke samping, tuh."
"Papa, enak aja." Indira menyahut tak terima, sudah berdiri di hadapan mereka.
"Yaudah, Om, kita pamit dulu." Raihan mencium tangan ayah Indira sopan. "Kayak biasa-nggak lebih dari jam sembilan, jangan jalan dulu sampai Indira masuk, kabarin Indira kalo udah sampai rumah. Hehe."
"Iya. Kalau sampai lewat dari jam sembilan, kamu bawa nginap aja di rumah sana. Nggak bakal kita bukain pintu untuk Indira."
"Yah, itu mah enak di saya dong, Om." Raihan tertawa.
Indira turut berpamitan kepada ayahnya, lalu bergandengan tangan dengan Raihan menuju HR-V hitam yang terparkir di depan rumah.
"Mau, Ra?"
"Apa?"
"Sekali-kali kita ngapelnya olahraga? Nggak jalan, makan, jalan, makan mulu?" Raihan menekan kunci mobilnya.
"Kamu yang olahraga, aku siapin makanan aja di pinggir."
Raihan terbahak dan menggeleng pelan. "Ra, Ra. Ada-ada aja kamu."
Lelaki itu menepuk pelan kepala Indira dan berlari kecil menuju kursi pengemudi.
***
"Papa gimana, Yan?" Indira memindahkan kuning telur dari mangkok Raihan ke mangkoknya. "Masih marah?"
"Masih nggak mau ngomong." Raihan memisahkan sayur mayur dari mangkok Indira
"Tapi Mama dukung, kan?"
"Entah. Mungkin terpaksa."
Ibu Raihan tak semurka ayahnya, tetapi Raihan menyadari gurat tak puas saat ia mengatakan bahwa ia diterima bekerja di bank. Tentu saja itu bukan yang diekspektasikan kedua orang tuanya-bahkan dirinya sendiri. Tetapi setidaknya, ibunya masih menahan diri lantaran ayahnya sudah mewakilkan amarahnya.
Setelah mangkok satu sama lain bersih dari makanan yang tak mereka sukai, Indira dan Raihan menukar mangkok mereka kembali. Pandangan Indira turun saat menangkap Raihan menggaruk-garuk pergelangan tangannya. Penyakit kampung Raihan datang lagi saat stres.
"Yang sabar ya, Yan. Kadang kita nggak bisa nyenangin semua orang, bahkan muasin diri kita sendiri." Indira mengeluarkan bedak Caladine yang selalu siap sedia di tasnya. "Kamu sendiri gimana? Udah mulai senang ngejalaninnya?"
Di luar keresahan-keresahannya, Raihan sejujurnya senang mendapat teman baru sesama trainee bank. Mereka semua menyenangkan dan enak untuk diajak kerja sama mengerjakan project.
"Senang," jawab Raihan asal.
"Indira?"
Panggilan nama Indira membuat mereka berdua menengok. Seorang wanita berambut sebahu dengan kacamata hitam di kepala berjalan menghampiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rest Area
Roman d'amourBanyak yang bilang, hubungan membutuhkan kedewasaan agar bertahan lama. Namun, bagaimana jika hubungan 11 tahun menjadi goyah karena keduanya menjadi orang dewasa? Raihan dan Indira selalu dikenal sebagai 'pasutri' sejak SMP. Makan di kantin berdua...