04. Masa Lalu

135 24 2
                                    

Mesin pencetak terdengar bising, sementara sang pemilik sibuk melamun, entah sedang memikirkan apa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mesin pencetak terdengar bising, sementara sang pemilik sibuk melamun, entah sedang memikirkan apa. Selesai melamun, gadis bermata cantik tersebut mengambil hasil cetak kartu peserta. Tersenyum simpul bagaimana ia memenuhi syarat mengikuti audisi impiannya.

Hatinya kembali dipenuhi rasa khawatir. Melakukan hal yang ia suka seperti melakukan dosa besar dan pengkhianatan. Andai Jihan punya orang tua penuh dukungan, pasti tidak akan begini. Tidak, lebih tepatnya ayah.

Jari lentiknya membuka ponsel. Mencari nama kontak. Haruskah ia memberitahu tentang kabar ini kepada mereka bertiga? Bagaimana pun mereka sudah membantu Jihan kemarin.

Jihan langsung mematikan ponselnya. Pintu terketuk, Jihan refleks menyembunyikan kartu peserta tersebut ke belakang punggung. "Kenapa, Ma?" tanya Jihan canggung.

Naluri seorang ibu memang kuat. Beliau merasa ada yang disembunyikan putrinya. Sudut bibirnya terangkat, tersenyum hangat sambil menghampiri Jihan. "Ada yang kamu sembunyikan? Apa itu?"

"Enggak ada, Ma. Ini cuma kertas ulangan aku aja. Nilainya jelek." ucap Jihan.

Mama terlihat kecewa Jihan masih berbohong. "Jujur aja sama Mama. Apa yang kamu sembunyikan? Mama bisa jaga rahasia kok."

Jihan akhirnya luluh, lalu menunjukkan kartu peserta miliknya. "Aku ikut audisi modeling minggu depan."

Mama terlihat belum merespons apa-apa. Beliau hanya mengamati kartu peserta dengan nama putrinya. Namun, senyum itu belum juga pudar. "Kamu yakin ingin masuk dunia model?" tanya Mama memastikan.

"Maaf, Ma. Aku cuma ikut audisinya dan belum tentu lolos kok." jihan panik, takut mama tidak merestui juga.

"Mama tanya, kamu serius mau masuk dunia modeling? Jawab yang jujur," tanya mama sekali lagi.

Jihan mengangguk pelan. "Maaf, Ma."

Bukannya marah Jihan tidak terbuka dengan impiannya, beliau malah merasa terluka karena keegoisan suaminya anak-anak harus melakukan hal yang tidak mereka ingin. Aurene dan Jihan memiliki impian bertolak belakang dengan keinginan suaminya. Mereka sudah tertekan sejak kecil karena dituntut sempurna.

Dan hal tersebut membuatnya merasa gagal sebagai seorang ibu. Dia tidak bisa membela dengan baik ketika suami memperlakukan anak-anak seperti sapi perah. "Bahkan hanya karena melakukan hal yang kamu suka, kamu harus minta maaf." lirihnya.

Mama meraih tangan Jihan, menggenggam erat sambil mengusapnya. "Melakukan hal yang disukai bukanlah perbuatan dosa. Selagi itu tidak merugikan orang lain. Kamu hanya seorang anak yang tengah memperjuangkan apa yang seharusnya, dan kamu gak perlu minta maaf soal itu."

Pertahanan Jihan runtuh begitu saja. Ia terisak pilu dalam dekapan hangat sang ibunda, mengadu dalam bisu bahwa dia tengah terluka parah hingga tidak tahu cara menyembuhkannya. Setiap hari ia selalu bertahan namun, rasanya tetap sakit bahkan semakin sesak. Jihan bertahan tanpa alasan, tetapi melihat mama mendukung, Jihan jadi memiliki alasan.

BUNGSU: Growing Up [dreams, aespa]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang