Satu

930 72 38
                                    

"Devanna! Dari mana kamu?!" suara keras Papi menyambutku yang baru saja masuk ke dalam rumah.

"Da-dari kampus. Kuliah, Pi," suaraku gelagapan.

"Papi tahu kamu tidak pergi ke kampus." Papi beralih dari majalah yang sedang dibacanya, lalu menatap dengan penuh intimidasi kepadaku.

"Pa-Papi tidak percaya kepadaku?" aku malah balik bertanya. Gestur tubuh ini juga sudah tidak bisa tenang, karena raut wajah Papi yang bisa dikatakan tidak baik-baik saja.

Papi seperti seorang atasan yang menginterogasi karyawannya karena ketahuan telah menyelewengkan dana perusahaan. Sungguh menyeramkan.

"Tidak usah berbohong lagi. Kamu tidak pandai melakukannya."

Aku menelan ludah dengan kasar. Bagaimana inii aku belum siap dengan reaksi dari papi.

"A-aku ...."

"Dona dan Doni sudah memberitahu Papi sejak awal."

A-APA?! Jadi mereka hanya pura-pura percaya padaku? Mereka hanya bertingkah seolah percaya dengan alibiku seminggu ini?

Mulutku benar-benar terbuka karena kaget. Aku tak percaya mereka telah menipuku habis-habisan.

"Tidak usah berlagak seperti korban."

Kututup mulut dan menelan air liur yang sempat menetes. "Aku syok, Pi."

"Apa kamu ingin menjadi gelandangan?"

Aku melotot tak percaya dengan ucapan papi selajutnya.

"Papiii, jangan bicara begituu," aku merengek.

"Papi tidak habis pikir dengan pikiranmu," papi menjeda, matanya memberi gestur agar aku mendekati sofa dan duduk di sana.

"Beberapa bulan yang lalu kamu merengek pada Papi agar masuk di jurusan seni rupa. Setelah disetujui kamu malah berlaku tak tanggung jawab seperti ini. Apa sebenarnya mau kamu, Devannaa?!"

"Aku kerja, Pii," cicitku mencari pembelaan. "Itu sesuatu yang positif."
Aku hanya mencoba untuk melakukan pekerjaan, bukan melakukan hal negatif.

"Kamu membolos, Devanna! Apa yang positif di saat kamu mengabaikan tugasmu sebagai seorang pelajar?!" Papi berkata dengan nada tinggi.

Sontak aku kaget mendengarnya. Bola mata itu bahkan seakan mau keluar dari tempatnya. Seram.

Aditya Agung, nama seorang lelaki yang sekarang tepat berada di hadapanku. Aku memanggilnya Papi. Beliau orang yang penyayang namun tegas di saat yang tepat.

"Apa yang Taufan katakan padamu?"

Apa? Kenapa Taufan?! "Taufan tidak bersalah, Pi. Ini murni keinginanku."

"Kamu bolos karena dia."

Ya, aku akui Taufan memanglah faktor terbesar aku melakukan ini. Tapi dia tidak pernah memintaku untuk ikut bekerja bersamanya.

Dia malah seringkali memperingatiku agar lebih fokus belajar. Tapi mana bisa fokus jika yang kuingat hanyalah Taufan seorang.

"Kamu bekerja hanya ingin mengikuti ke mana pun Taufan pergi."

Jleb! Perkataan papi tepat mengenai sasaran.

"Jika dia tidak jadi kuliah ya sudah itu pilihannya. Tidak perlu kamu ikuti sampai seperti itu."

"Aku ...," aku berusaha membalasnya, tapi tak ada kata apapun yang berhasil kutemukan.

"Sudahlah, Papi tak mau mendengar alasanmu lagi," tangannya mengibas seolah jengah. "Sudah cukup Papi memberimu toleransi."

Aku harus memikirkan alasan lain. Aku harus bisa membujuknya. Iya, aku harus merengek dan memelas pada papi.

Seperti biasa, papi pasti akan luluh.

"Papi hanya memberimu dua pilihan."

Apa? Kenapa langsung diultimatum seperti ini?

Aku bahkan belum mengeluarkan jurusku yang teramat jitu.

"Yang pertama, kamu menikah dengan rekan kerja Papi dan masih meneruskan kuliahmu di jurusan seni rupa. Atau yang kedua, kamu kuliah di jurusan pilihan Papi dan meneruskan kehidupanmu sebagai seorang perempuan lajang," perkataan Papi serius. Tanpa ada nada bercanda sama sekali.

***
Cimengger, 24 Agustus 2024
Putri Kemala Devi Yusman

Suami Pilihan PapiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang