"Argghh!!" teriakan Taufan mengalihkan perhatianku. Lalu terdengar suara gedebuk yang keras pertanda beban berat jatuh ke bawah sana.
Awws! Itu pasti sakit. Taufan dan Doni jatuh bertindihan. Mereka meringis kesakitan begitu kompak.
"Don, kamu baik-baik saja?" pertanyaan Dona yang tidak berguna membuatku ingin memakinya. Sudah tahu si adik kesakitan, dia malah bertanya begitu.
"Devanna, turun!" Giondy bersuara lagi. "Sedang apa kamu di situ? Turun!"
Belum apa-apa dia sudah berani memerintahku. Dasar lelaki tua!
"Sudah tahu aku mau kabur. Kamu kenapa di sana?! Pergi sana!" aku tentu saja tega mengusir lelaki tersebut.
"Devanna, jangan ke sana! Kembali ke sini saja!" Taufan sudah bangkit dari terjengkangnya. Dia berusaha melepaskan diri dari Doni yang masih saja menempeli.
"Kamu diam saja, jangan menganggu mereka!" Doni berupaya menimpali.
"Jauhkan tanganmu dariku! Kurang ajar!" Taufan memberontak tak terima.
"Tau-"
A-astagfirullah. Astagfirullah! Aku, a-aku benar-benar merasa tak bisa bergerak. Jangankan itu, berbicara pun aku rasanya sulit.
Tenggorokanku tercekat kala melihat sekilas ada yang berwarna putih di seberang sana.
Astagfirullah. I-itu ... apa itu benar-benar hantu?!!
"Dev, kenapa?" Dona bertanya dari bawah sana.
Aku tak bisa menjawab. Bibirku terlalu kaku.
"Devana, kamu kenapa? Ada apa?" Taufan bertanya dengan khawatir.
Lailahailallah! Sekelebat putih itu terlihat lagi oleh sudut mataku. Kali ini lebih jelas.
Astagfirullah. Lailahailallah. Aku takut, aku takuutt.
Ya Allah, ampunilah dosa-dosa hamba. Mataku memejam refleks karena takut.
"Devanna, sudahlah, turun saja ke sini," suara Giondy berhasil menginterupsiku. Dia berusaha membujuk dengan lembut.
"Aku, a-" aku takuut, Ya Allah ....
"Devanna, ayo ke sini saja. Aku akan menangkapmu," Taufan ikut membujukku. Tapi bisa kulihat bahwa Doni masih saja menghalangi pergerakannya.
"Do-Don, aku ke sana saja. Kamu bisa menangkapku, bukan?"
"Tidak," Dona menggeleng, "aku tidak bisa dan tidak mau," dia memundurkan tubuhnya beberapa langkah.
Dasar kurang ajar! Dia sengaja sekali membuatku marah.
"Donnaaa!" aku menggeram kesal.
Suara tidak mengenakan dan semilir angin yang aneh membuatku merinding ngeri. Ya Allah, apa si putih-putih itu melihat ke arah sini?!
"Devanna," Giondy kembali memanggilku, "turun, Sayang. Ayo ke sini. Aku akan menangkapmu."
Si Giondy kurang ajar! Belum apa-apa dia sudah memanggilku sayang. Enak saja!
Aku melihat ke arah Taufan. Dia masih saja beradu mulut dengan Doni. Beralih ke samping mereka, Dona tidak dapat diharapkan sama sekali.
"Ayo ke sini, Sayang, turunlah," Giondy masih membujukku. Dia sudah siap merentangkan tangan di bawah sana.
Aku terpaksa menerima bantuannya kali ini. Tak bisa jika harus berlama-lama di atas sini.
Sekelebat putih itu juga terasa semakin mendekat ke arahku.
Ya Allah, apakah aku sedang berhalusinasi? Atau makhkuk itu memang sedang menampakkan wujudnya?
"Devanna, cepat lompat. Tenang saja, aku akan menangkapmu," Giondy kembali membujukku.
"Hanya kali ini saja. Jangan macam-macam, apalagi mencari kesempatan!" aku sedikit mengancamnya.
"Tidak akan, turunlah."
"Awas saja!" gerutuku. Sebelah kaki kupindahkan ke sisi yang satunya. Jadi kini tubuhku menghadap sepenuhnya ke tempat Giondy berada.
"A-aku ... takuutt," rengekku ragu.
"Tidak apa-apa, ada aku. Lompatlah, Sayang."
Aku meneguk ludah susah payah. Di atas sini si putih yang membuatku takut. Di bawah sana juga tak lebih baik.
***
Ciamis, 20 September 2024
Putri Kemala Devi Yusman
KAMU SEDANG MEMBACA
Suami Pilihan Papi
Romance"Aku tahu kamu tidak menyukai kehamilan ini. Kamu bahkan membenci Ayah dari si bayi." "Aku mohon, aku tak peduli kamu mau membenciku seperti apa. Tapi jangan lampiaskan rasa benci itu pada bayi kita," Giondy berucap lirih. "Dia hanya malaikat mungi...