Empat

316 54 22
                                    

Apa masih ada?

Aku mengintip dari balik tembok.

"Astagfirullah, ternyata berjalan ke arah sinii," buru-buru aku berlari masuk kembali ke dalam kamar.

Pintu sengaja tidak kututup rapat agar langkah kaki papi terdengar.

Sudah amaaan.

Kuintip papi yang sedang bertelepon melangkah ke dalam kamarnya.

Aku melangkah cepat keluar dari kamar, menuruni tangga, melewati ruang santai, lalu bertemu Dona-Doni.

Astagfirullah, untung saja aku masih sempat bersembunyi.

"Deva sudah sampai rumah?"

"Sudah, tadi Pak Adit juga sudah menegurnya."

Bisa-bisanya mereka membicarakan aku! Huhh!! Aku sebal, tapi tak bisa berbuat apa-apa!

Setelah mereka lewat, yang entah masih membicarakanku atau tidak, aku keluar dari persembunyian.

"Aduh!" kepalaku terantuk meja.

Ini gara-gara si Dona-Doni! Jika mereka tidak ada, aku pasti tidak harus bersembunyi di sana!

Aku masih menggerutu kesal seraya keluar dari dalam rumah.

"Lailahailallah," aku spontan menunduk, "kenapa mobil Giondy sudah sampai di sini?!"

Dengan langkah pelan tapi pasti, aku menyembunyikan diri di balik pot besar.

Aku memang tidak mengetahui mobil Giondy, tapi itu juga bukanlah mobil salah satu saudaraku. Besar kemungkinan itu memanglah mobil miliknya.

Aku menggeser tubuhku seiring dengan melambatnya mobil tersebut. Lalu berhenti tepat di depan teras.

Tubuh kecilku tersembunyi di balik pilar besar yang menjulang tinggi.

Lebih baik aku berjongkok sambil terus mengintip.

Dan benar saja yang keluar dari dalam sana adalah Giondy. Dia masih memakai pakaian kerja lengkap.

Setelah membiarkan lelaki itu masuk, aku melompat dari teras yang cukup tinggi. Memutari mobil hitam besarnya yang memenuhi halaman.

"Dasar!" aku masih sempat-sempatnya menendang ban mobil si kurang ajar. Setelah itu berlari kencang ke arah gerbang.

Pak Andi, bagian keamanan, sedang ngantuk-ngantuknya jam segini. Dia menyeruput kopi hitam pekat dari dalam gelas besar.

Tanpa susah payah kulewati dengan merunduk pos jaga tersebut.

"Syukurlah, aku bisa keluar dari sana," aku bisa bernapas lega sekarang.

Seharusnya ojek online yang kupesan sudah sampai di sekitar sini. Tapi di mana?

"Pak, di mana?" kukirim pesan di aplikasi hijau.

Sebuah motor terlihat oleh netraku di seberang sana. Lampunya berkedip-kedip memberiku isyarat.

Ternyata si bapak ingat juga apa yang kuwanti-wanti. Selain tidak boleh berhenti di depan gerbang, aku juga memintanya untuk memberi kode agar tidak berisik.

"Yuk, Pak!" aku naik ke atas motor dengan kecepatan kilat.

"Helmnya, Neng," si bapak menyerahkan helm khusus penumpang. Untung diingatkan, hampir saja lupa.

Setelah terpakai, aku memintanya untuk cepat-cepat keluar dari area komplek.

"Mau ke mana, Neng?"

Lah, si bapak ini kocak. Dia itu ojek online, bukannya ojek konvensional.

"Jalan Gagak Bergeming, Pak. Bukannya sudah ada alamat di aplikasi?" tekanku sedikit jengkel.

"Petanya terkadang tidak sinkron, Neng. Bapak minta tolong tunjukkan saja ya jalannya."

Baiklah, mau tak mau aku harus mengarahkan jalan yang benar agar cepat sampai ke rumah Taufan.

Taufan Hartono merupakan teman baikku sejak duduk di bangku sekolah menengah atas. Hanya dia satu-satunya lelaki yang bisa dekat denganku.

Aku bukan tipe perempuan yang bisa dengan mudah dekat dengan seorang lelaki. Tapi Taufan bisa membuat aku nyaman berada di dekatnya.

Beberapa menit kutempuh sampai akhirnya tiba di rumah Taufan.

***
Ciamis, 19 September 2024
Putri Kemala Devi Yusman

Suami Pilihan PapiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang