Lima

316 50 34
                                    

Selepas membayar ongkos dan mengembalikan helm, aku mengamati pagar rumah yang ternyata sudah digembok.

Jam sebelas, waktu yang tertera di smartphone membuatku sadar jika hari memang sudah larut.

Taufan hanya tinggal berdua dengan ibunya, Sandra. Si bapak yang tidak bertanggung jawab pergi entah ke mana.

Tanpa susah payah, aku panjat gerbang yang tingginya tidak seberapa.

"Lebih baik aku langsung ke kamarnya." Jika tidak salah ... jendela kamar Taufan yang satunya masih rusak.

"Tau! Tau!" panggilanku pelan karena tak mau terdengar oleh tetangga.

Tidak ada sahutan dari dalam, hening sekali.

Taufan sepertinya benar-benar sudah tertidur. Tumben tidak begadang.

Aku berusaha membuka jendela di satu sisi.

"Masih rusak," aku menjerit girang.

Tapi apakah ini tidak berbahaya? Bagaimana jika yang berusaha masuk adalah orang jahat?!

Aku saja yang tidak punya keahlian bisa dengan mudah mengendap sampai ke sini. Taufan harus diingatkan untuk memperbaiki jendela.

"Tau!" aku masih memanggilnya dengan suara tertahan.

"Ish, dasar kerbau!" Aku menaiki jendela tanpa usaha keras, lalu melompat masuk ke dalam kamar.

"Taufan!" aku menghampiri ranjang. "Taufan, bangun! Ini aku, Devanna!" kugoyangkan bahunya.

"Emm," Taufan menggeliat. Seharusnya tidak susah membangunkan makhluk satu ini.

"Tau!" kugoyangkan lagi bahunya.

"Emm, lima menit lagi," gumamnya tak jelas.

"Aku butuh kamu sekarang, bukannya nanti. Ish!" aku pukul bahu tersebut. "Bangun, ihh! Taufaannn!!" bahunya kugoyang-goyang dengan keras.

Taufan sepertinya malah kembali masuk ke alam mimpi. Sampai-sampai dia bisa mendengkur seperti itu.

Oke, tidak ada pilihan lain, maafkan aku jika harus mengambil jalan ini.

Kutarik napas dalam-dalam, mendekatkan diri di telinganya, lalu memanggil nama dia keras-keras, "Taufaaannn!!!"

Suara setara delapan oktaf seakan menggema di kamar ini. Dan syukurnya caraku berhasil.

Taufan terperanjat. Dia menoleh ke sana kemari karena kaget tak menentu.

"Lailahailallah ... keterlaluan kamu, Dev," dia bergumam frustrasi setelah sadar dari kekagetannya. Bisa kulihat tangan itu mengusap wajah dengan kasar.

"Ya kamuu, susah sekali dibangunkan," sewotku tak mau disalahkan.

"Apa yang kamu lakukan di sini?" Taufan mengambik HP di atas nakas, "ini masih ... Astagfirullah, jam sebelas Devaaa," tatapan tajamnya terhunus ke arahku.

"Hari bahkan belum berganti, tapi kamu sudah mengusik ketenanganku," gerutunya kesal.

"Jangan marah dulu. Ini ... aku mau minta tolong," aku langsung menyampaikan niat.

"Minta tolong? Memangnya kemana dua bodyguard-mu ituu?" Taufan bangkit dari kasur. "Tak mungkin mereka membiarkan nonanya berkeliaran jam segini." Dia membuka jendela, lalu melihat keadaan di luar sana.

"Kamu benar-benar sendiri ke sini?" tanyanya tak percaya.

"Iya, aku kabur dari rumah."

"A-apa?!" Taufan menoleh padaku secepat kilat.

"Devanna, jangan macam-macam," dia melotot, "hidupmu tak ada masalah, jadi jangan coba-coba untuk membuat masalahmu sendiri."

"Tapi-"

"Jangan membuat masalah dengan Papimu, Devanna."

Kenapa? Kenapa Taufan selalu membela papi? Padahal jelas-jelas papi tak pernah suka kepadanya.

"Tapi aku mau dijodohkan!" aku menjerit kesal. "Aku mau dijodohkan, Taufaann!"

Taufan bergeming selama beberapa saat.

"Aku juga tidak boleh berdekatan lagi denganmu," lanjutku.

"Ini pasti karena kamu tidak benar kuliahnya."

Seriously? Dia malah membahas itu?!

"Kamu berbohong selama beberapa hari ini. Kamu bilang memang tidak ada kelas, lain hari kamu bilang sudah selesai kelas. Kenyataannya kamu tak pernah pergi sama sekali."

***
Cimengger, 19 September 2024
Putri Kemala Devi Yusman

Suami Pilihan PapiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang