"Aku mau turun!" aku berteriak keras di samping telinganya.
Giondy meringis, refleks menjauhkan kepalanya. "Pelan-pelan, aku tidak tuli."
"Kamu tuli, dari tadi aku bicara tidak didengar!" sewotku. "Aku mau turun, turun, turuuunn!" kembali kugerak-gerakkan tubuh ini.
Dia seharusnya menyerah saja sedari tadi. Tapi walaupun pahanya beberapa kali kena tendanganku dia tak juga mau berhenti.
"Turun! Tu-"
"Sebentar lagi," selanya.
Sebentar lagi gundulmu! Lorong belakang rumah Taufan tak pernah sepanjang ini jika di siang hari.
"Tolong! Tolong!" aku berteriak keras-keras, kembali menjalankan aksiku.
Aku berharap dia muak dan lama-lama ilfeel kepadaku.
"Tol-"
"Berisik, nanti ada yang datang!" Giondy menggertak.
"Sengaja. Memang itu tujuanku."
"Yang datang bukan manusia. Jam segini mereka sudah tidur," entah mengapa si tua ini memelankan suaranya.
"Jangan bercanda! Kamu kira aku anak kecil?!" Dia pikir aku akan percaya dengan bualannya?!
"Di belakang-"
"Ada apa?" aku bersiap menengok.
"Jangan menengok!" larangan Giondy secara refleks kuikuti.
"Yang tadi putih-putih," dia kembali berbicara pelan, "sepertinya dia memang tertarik padamu."
"Jangan membual!" Aku tak akan kena tipuannya.
Segera kutengok ke belakang untuk mencari tahu kebenaran.
Tidak ada apa-apa. Sial! Aku kena tipu awalnya.
"Kanan ... atas," bisik Giondy memberi arah.
Aku menurutinya. Lebih ke kanan, lalu sedikit ke atas.
Astagfirullah.
Benar, ada!
Apa si putih-putih itu memang penasaran padaku?!
Pelan-pelan aku kembali memposisikan kepala ke arah depan.
"Ada?" Giondy mengejek.
"Berisik!" aku kesal. Dia sepertinya senang sekali berhasil membuatku takut.
"Cepat!"
"Apa?" tanyanya pura-pura tak mengerti.
"Jalannya cepat!" sudah tahu ada yang tidak beres di belakang sana, dia malah memelankan laju kakinya.
Sengaja sekali agar aku semakin mengeratkan pegangan.
Dia ini memang sengaja ingin mengambil kesempatan di dalam kesempitan.
"Cepat, ih!"
"Sabar," tenang sekali dia berucap.
Aku sudah deg-degan tak karuan. Perasaan tenang yang tadi menghampiri, kini menguap entah ke mana.
Setelah beberapa menit, kami akhirnya sampai di ujung lorong, tempat di mana mobil Giondy diparkirkan.
Mobil besar ini menghalangi hampir seluruh jalan. Untung saja ini malam hari, jadi tak ada yang akan terganggu.
Giondy menurunkanku setelah membuka pintu samping kemudi. Lalu memindahkan tas di punggung ke belakang kursi.
"Pakai seatbelt-nya."
"Aku bisa sendiri!" Sebelum Giondy melakukannya, sudah kurebut terlebih dulu benda tersebut.
"Aku bisaa. Sudah, cepat kamu masuk."
Kesal sekali! Si Gion malah menungguiku yang sedang memasukkan pengaitnya. Apa dia tidak percaya?
Syukurnya dia segera menutup pintu dan berjalan memutari kap mobil.
Aku tertawa dalam hati. Dia pikir bisa dengan mudah menangkapku? Oh, tentu tidak!
Pengait yang belum benar terpasang kucopot dengan segera. Sebelum Giondy berhasil meraih pintu, aku buka pintu yang baru saja ditutupnya.
Tanpa banyak berpikir aku keluar dari dalam mobil dan berlari secepat mungkin menjauhi benda besar tersebut.
"Devaa!" teriakan Giondy berhasil memacuku untuk semakin cepat berlari.
Adduwh, aku takut sekali sebenarnya. Si Giondy terlihat seperti akan memakan manusia hidup-hidup.
"Deva, berhenti!"
"Tidak akan." Aku berbelok di pertigaan. Berharap Giondy terkelabui.
Sialnya dia dengan cepat sudah berada di belakangku.
Aku bisa-bisa kehabisan napas jika terus seperti ini. Kaki mungilku juga sudah lelah, dia di ambang batas kemampuannya.
"Akhirnya," Giondy menangkap tubuhku yang sudah akan ambruk.
***
Ottista, 22 September 2024
Putri Kemala Devi Yusman
KAMU SEDANG MEMBACA
Suami Pilihan Papi
Romance"Aku tahu kamu tidak menyukai kehamilan ini. Kamu bahkan membenci Ayah dari si bayi." "Aku mohon, aku tak peduli kamu mau membenciku seperti apa. Tapi jangan lampiaskan rasa benci itu pada bayi kita," Giondy berucap lirih. "Dia hanya malaikat mungi...