Sebelas

263 35 10
                                    

"Cepat juga larimu."

Tidak tahu saja dia, aku ini atlet lari. Kecil-kecil begini lariku memang secepat kilat.

Tapi kekuatan tubuhku memang payah. Tak bisa jika harus lari jauh begitu.

"Lepas," aku memberontak tentu saja.

"Tidak akan. Kamu inii ... dasar," Giondy sepertinya kehabisan kata-kata.

Giondy membalikkan tubuhku hingga menjadi berhadapan dengannya.

"Nakal," ucapnya setelah beberapa saat terdiam dan hanya menatapku.

"Aww!"

"Aku tidak menyentuhmu," elaknya.

Ya memang. Tapi tadi dia bergerak seolah-olah akan menyentil dahiku.

Aku memang hiperbola. Biar saja, biar dia jengah sekalian.

Cup.

"Kurang ajar!" kupukul bibirnya.

Dia baru saja bergerak seolah-olah menciumku. Dasar tua! Lancang! Kurang ajar!

Giondy tertawa terbahak-bahak dengan reaksiku. Dipikirnya aku hiburan kali.

"Jangan berulah lagi, aku capek." Giondy mengangkat tubuhku dan mulai berjalan.

Dia kira dia saja yang capek?! Aku juga capek asal tahu saja!

Lagipula kamu yang awalnya membuat ulah!

Aku tak punya tenaga untuk memberontak kali ini. Tenagaku benar-benar sudah di ambang limit.

Dibopong dengan pemandangan rahang tegas Giondy membuatku berpikir yang tidak-tidak. Tentu saja bukan suatu hal mesum!

Aku berpikir untuk menyentil jakunnya yang terlihat bergerak itu. Sungguh, geregetan melihatnya!

Tapi jangan. Aku saja dulu pernah dikerjai seperti itu, sungguh ... rasanya tak tertahan!

Kali ini aku hanya bisa pasrah saja dipegang-pegang oleh si Gion seperti ini. Sembari sesekali melihat ke sana kemari untuk memantau situasi.

Sampai akhirnya kami tiba di tempat mobil Giondy terparkir. Aku melihat kebun yang ada di sepanjang jalan setapak menuju belakang rumah Taufan.

Tempat di mana tadi ada si putih-putih yang menakutiku.

"Kamu bohong!"

"Apa?" Giondy memelankan langkahnya semakin mendekati mobil.

"Itu bukan hantu! Itu baju!"

Ternyata yang sedari tadi ku kira hantu hanyalah buah-buah di atas pohon yang dibungkus menggunakan baju.

Kenapa jugaa si pemilik pohon malah membungkusnya pakai baju putih-putih begitu?!

Setelah kulihat-lihat, tak satu-dua benda putih menggantung di atas sana. Sepertinya hampir sepanjang jalan mulai dari belakang rumah Taufan si putih melambai-lambai itu ada.

Sial! Aku tertipu dua kali!

"Kamu sendiri yang menyangka itu kunti."

Kenapa malah diperjelas!?

"Aku hanya merealisasikan ucapanmu."

"Kamu kan bisa memberitahuku jika aku salah!" aku sewot jelas saja.

Aku didudukan di kursi samping kemudi. Kali ini dia tak mau lengah, dia sendiri yang memasangkan seatbelt dengan benar.

"Aku suka kamu ketakutan."

Sial, dia memang kurang ajar! Dia tipe yang senang mengerjaiku.

"Jika kamu takut, kamu akan berlindung kepadaku,"Giondy tersenyum di akhir kalimatnya sambil mencolek hidungku yang minimalis.

Huh! Resek!

Aku memalingkan wajah dari hadapannya.

Lagi-lagi dia malah terkekeh. Senang sekali jika aku kesal!

Setelah menutup pintu, Giondy dengan cepat memutari kap mobil, lalu masuk ke area mengemudi.

"Kamu membodohiku!"

Kupukul-pukul tubuhnya dengan keras.

Kurang ajar! Bisa-bisanya dia mengelabuiku!

"Kamu yang salah sangka, kamu yang panik. Kenapa malah menyalahkanku?" Giondy mengejek sembari menghidupkan mesin mobil. Pukulanku tak berpengaruh sama sekali padanya.

Dia benar. Setelah dipikir-pikir memang salahku juga percaya begitu saja.

Saat di atas benteng rumah Taufan awal mula aku salah mengira. Sepertinya karena aku sudah panik duluan. Aku jadi tak bisa berpikir jernih dan tak melihat dengan jelas.

***
Bojong, 22 September 2024
Putri Kemala Devi Yusman

Suami Pilihan PapiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang