Tiga

375 51 32
                                    

Tentu saja aku pun mengingat pertemuan kedua kami, bukan pula suatu hal yang menyenangkan.

"Kamu lagi?!" aku melotot kaget tatkala sadar siapa yang duduk di sebelahku.

Jika saja tidak dipaksa papi, aku mana mau menghadiri jamuan bisnis seperti ini. Apalagi saat tahu ada orang tersebut ikut serta.

Giondy hanya merespon dengan santai keterkejutanku. Dia bahkan tak mau repot-repot membuka mulut.

Beberapa menit berlalu, suasana membosankan di meja ini terus berlangsung.

Papi sibuk berbicara tentang bisnis dengan rekan-rekannya, sedangkan aku hanya bisa terdiam karena tak mengerti sama sekali.

Aku sudah kenyang menyantap makanan dan dessert-dessert lembut yang disajikan. Tidak ada lagi kegiatan yang bisa kulakukan untuk menyibukkan diri.

"Devanna, bagaimana?"

"A-apa ... Om?" aku gelagapan karena tiba-tiba diajak bicara.

"Kamu terlihat serasi dengan Giondy. Bagaimana jika kalian menikah saja?"

Apa? Kenapa pembahasannya jadi seperti ini?!

Aku melihat lelaki di sampingku yang hanya diam saja. Dia hanya tersenyum tipis sebagai tanggapan. Sungguh menyebalkan!

"Kamu ini bicara apa?" syukurnya papi menyelamatkanku. Tapi kenapa disertai kekehan? Seolah pembahasan ini bukanlah suatu hal yang besar.

"Devanna masih muda, biarkan dia menyelesaikan sekolah terlebih dahulu," perkataan papi setelahnya tidak membuatku tenang sama sekali.

Apa ini maksudnya?

Lalu berlanjutlah pembahasan yang menurutku tidak patut dibicarakan sama sekali. Ini pertemuan bisnis, akan lebih wajar jika mereka membahas masalah seputar bisnis saja.

"Tidak usah dipikirkan, mereka hanya bercanda," Giondy berbicara pelan di sebelahku.

Aku melotot galak padanya. Apa hal seperti ini pantas untuk dijadikan bahan candaan?!

Aku saja risih berada di sini, dia malah terlihat santai-santai saja.

Aku menggeleng. Ternyata aku baru sadar bahwa rencana tentang perjodohanku dengan Giondy sudah dibicarakan jauh-jauh hari. Bahkan saat itu aku baru saja kelas satu SMA.

Di pertemuan itu ... mereka sengaja membuat aku dan Giondy duduk bersebelahan agar kami menjadi lebih dekat.

Jika tidak salah ingat, saat itu tidak ada anak muda yang ikut bergabung. Hanya ada aku dan Giondy saja. Yang lainnya membawa istri atau asisten pribadi mereka.

Haishh, harusnya aku sadar, saat itu ... pertemuan itu ... memang sengaja diadakan untuk membahas tentang perjodohan aku dengan Giondy.

Pertemuan bisnis hanyalah kedok agar aku mau ikut ke acara tersebut.

Papi benar-benar licik. Aku tidak menyangka Papi tega kepadaku.

Baiklah, kalau begitu aku harus lebih cerdas. Aku tidak mau bertemu dengan Giondy, apalagi sampai melakukan pernikahan dengannya!

"Aku harus kabur. Iya, aku harus benar-benar kabur dari sini!"

Bergegas turun dari ranjang, ku ambil ransel besar yang ada di atas lemari. Yang terpenting sertifikat kelulusan dari jenjang kanak-kanak sampai menengah atas.

"Baju ... dalaman ...."

Aku melihat sekeliling, melihat-lihat hal penting apa lagi yang harus dibawa.

"Oh, iya, laptop!" benda persegi ini bisa berguna, jika terdesak aku bisa menjualnya.

"Dompet sudah di dalam ...," sudahlah, tidak ada lagi yang penting.

Lagi pula aku itu mau kabur, bukannya pindahan rumah!

Tak perlu berlama-lama, aku keluar dari kamar dengan hati-hati.

Tidak perlu mengendap-endap, natural saja. Tapi mataku melihat dengan seksama keadaan di sekitar.

Papi ... biasanya jam segini sudah berada di dalam kamar.

"Astagfirullah! Masih ada di sana," aku memgkerut ke balik dinding. Untung saja aku tidak refleks berteriak.

***
Cijeungjing, 19 September 2024
Putri Kemala Devi Yusman

Suami Pilihan PapiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang