I

2.9K 271 18
                                    

"Lo ga usah masuk kamar gue dan jangan berani-berani pegang pintu kamar ini, lo cuma boleh masuk kalo gue bilang boleh, ngerti?" Zoro berdiri, menatap Sanji intens. Tinggi keduanya hampir sama hingga dua mata mereka mampu bertatapan.

"Mimpi apa lo semalem, gue juga nggak sudi nginjak lantai rumah lo ini kalau bukan gegara bapak lo," Sanji menggeram. "Dan inget, peraturan yang lo buat juga berlaku buat kamar gue,"

"Kalo bukan gegara ortu lo juga gue mau lempar lo keluar rumah ini," ia membalas.

Sanji menyilangkan kedua tangannya, melipatnya di depan dada dan melempar muka. Pernikahan paksa ini terjadi seminggu yang lalu. Pria berdarah Prancis itu sempat memberontak ketika tahu dia dijodohkan dengan si blasteran Jepang. Ia bahkan sampai memesan tiket kembali ke Strasbourg, ingin melarikan diri. Si hijau di depannya juga tidak jauh berbeda. Pria itu buru-buru menghubungi koleganya di Manhattan, memohon untuk dibolehkan menginap di sana. Tapi pada akhirnya Sanji terpaksa menetap di kediaman Roronoa setelah perdebatan panjang dan melelahkan dengan kedua orangtuanya.

"Pergi sana, latih otot lo atau apapun itu, gue ga mau liat muka lo," ia mengibaskan tangannya dan berjalan menuju sofa. Kedua kakinya ditekuk dan punggungnya bersandar senyaman mungkin pada sofa. Yang bisa ia lakukan untuk sekarang hanyalah membuat dirinya nyaman.

Tangan Zoro merampas remot televisi di atas meja dan mematikan tontonan Sanji dengan cepat. "Dan jangan nonton TV gue," ia bersuara sebelum melangkah pergi.

Sanji menganga. Wajahnya memerah sebelum akhirnya ia menjerit, mengeluarkan semua rasa kesalnya yang ia pendam sejak awal. Ia jauh-jauh datang dari Strasbourg, menikah dengan pria yang tidak ia kenal, tinggal di rumah besarnya, hanya untuk mendapat perlakuan seperti ini?! Tangannya meraih bantal dan melemparkannya ke vas bunga keramik di samping televisi. "SIALAN LO RORONOA ZORO!"

.
.

Zoro tidak tahu harus berharap seperti apa. Ia memang keterlaluan. Setidaknya sebagai tuan rumah yang bisa ia lakukan hanyalah membuat Sanji nyaman dengan lingkungan sekitarnya. Kakinya melangkah cepat menuju ruang gym di basement.

Mendadak ia dengar suara barang pecah dari lantai atas. Hanya ada Sanji di sana. Zoro menghela napas. Pria itu pasti tengah merusak barangnya. Sedikit pula ia dengar samar jeritan frustrasi dari si pirang. Tangannya meraih earphone dan menyumbat kedua telinganya dengan musik.

Ia berdiri di depan cermin, memulai semacam adegan striptease tidak menarik dengan melepaskan ritsleting jaket. Otot yang ia latih bertahun-tahun menyembul dari balik jaketnya, tampak bersinar keemasan di bawah cahaya lampu. Hanya mengenakan celana training pendek, ia memulai aktivitasnya dengan pull-down.

Teringat lagi hari dimana ia melihat Sanji dipaksa berdiri di sampingnya dengan rambut pirang yang berantakan setelah pria itu berlari jauh. Helainya terlempar tidak beraturan dan napasnya pun tersengal. Ia dalam balutan kemeja putih sementara Sanji dalam kemeja hitam bergaris. Mereka sama sekali tidak menduga hari itu akan menjadi pernikahan mereka. Pakaian yang mereka kenakan juga tidak formal.

Dua bahu Sanji tampak maju, posturnya membungkuk malas. Bibir merahnya menekuk begitu mendengarkan ayahnya memberi sambutan. Tidak banyak yang tersenyum dalam acara itu, mengingat semuanya dilaksanakan atas dasar kepentingan keluarga seperti tanah, properti, dan harta kekayaan.

Zoro ingat ia bisa mendengar seruan Sanji sebelum acara dimulai. Pria itu berteriak tentang alasan mengapa takdir begitu membencinya. Kenapa sejak kecil hanya ia yang dibedakan. Kenapa bukan saudara-saudaranya yang menjadi tumbal pernikahan. Kenapa hanya dia yang harus menderita. Zoro hanya mampu mendengarnya dalam diam, kepalanya kosong, hanya terisi oleh permohonan Sanji untuk membatalkan pernikahan.

.
.

Sanji memperhatikan hasil karyanya. Dapur Zoro penuh gelas pecah. Sanji memiliki masalah pengendalian emosi sejak ia masih kecil. Ia memanggil dirinya sendiri gremlin. Sudah banyak orang yang menjadi korban gigitannya, jeritannya, belum lagi barang-barang tidak bersalah yang rusak setelah ia banting. Sanji meletakkan tangannya ke rambut, mengacaknya sebentar sebelum berjongkok dan memungut serpihan kaca dengan tangan kosong.

Bagian tajam dari gelas kaca mulai melukai permukaan kulitnya tapi ia tidak peduli lagi. Hidupnya sudah berakhir. Sedikit luka sudah bukan masalah besar untuknya. Ia meletakkan kaca dalam kantung plastik. Didengarnya langkah kaki dari tangga basement.

"Lo mecahin vas gue?" Zoro bertanya. Suaranya dalam dan menggerutu. "Gue ga peduli lo mecahin apa, tapi diberesin dong," jalannya semakin mendekat.

Sanji masih tidak berpaling. Berdarah-darah tangannya memunguti serpihan kaca. Selanjutnya dapat ia rasakan tangan Zoro menarik pergelangan tangannya cepat, mengamati darah segar yang mengaliri tangan si pirang. Mata tembaga menatapnya khawatir dan ia hanya mampu membalas tatapan si hijau dengan tawa getir.

"Gue bakal ganti gelas lo, tenang aja," ia berkata di sela tawanya, kembali menarik tangan dari genggaman yang menguat dan memunguti sampah kaca.

"Bukan masalah gelasnya! Tangan lo luka!"

Gertakan itu membuat Sanji seketika membisu. Ia berhenti bergerak untuk mengangguk kecil. "Gue juga nggak buta,"

Zoro mengambil ponsel dan langsung membuat panggilan darurat. Sanji memandanginya dengan sebelah mata, tidak melakukan apapun.

Usai mendengarkan panggilan singkat itu, Sanji mendapati Zoro berdiri, pergi mengambil vacuum dan mulai membereskan pecahan kaca dengan teliti. "Sori," ucap Sanji.

"Hm, duduk aja di sofa, nanti bakal ada yang dateng buat bantuin," Zoro tidak memandangnya, hanya fokus membersihkan pecahan kaca di lantai rumahnya.

.
.

Zoro nggak bisa marah begitu melihat Sanji. Dia harusnya marah. Gelas-gelas wine mahal koleksinya hancur berantakan. Vas kesayangannya pun juga jadi korban amarah si pirang.

Pandangan Zoro kemudian jatuh pada si pirang. Sanji duduk di depan kolam renang dengan dua tangan terbalut perban. Sesaat yang lalu beberapa tim medis datang untuk mengeluarkan serpihan dari kulitnya lalu membersihkan lukanya. Sekarang rumah itu sepi. Angin sepoi nampak membelai surai pirangnya lembut.

Ia menghembuskan napas dan berlalu. Zoro butuh pengalihan. Dia butuh seseorang untuk mengalihkan pikirannya dari Sanji. Hari ini semuanya terasa begitu berat. Ini kali pertama mereka tinggal bersama dan sudah terjadi masalah. Lalu keluarga mereka mengharapkan keduanya untuk mempertahankan pernikahan?

Zoro bahkan tidak pernah mempertimbangkan pernikahan. Tidak pernah. Ia hidup seperti pria single pada umumnya, mencari seseorang untuk mengisi kesepiannya lalu berganti pasangan ketika ia merasa bosan. Ia tidak pernah berpikir suatu saat nanti akan berhenti dan menghabiskan seumur hidupnya hanya dengan satu orang. Seumur hidup itu terlalu lama.

Zoro membuka ponselnya, mengirimi pesan singkat pada seorang wanita yang pernah menawarkan diri untuk menjadi teman malamnya.

~•-•~

Yahoo~! Halo haloo~ aku kan aslinya kepikiran ide tentang vampir gitu, tp bolak-balik ganti plot, intinya aku susah konsisten, jadi tolong nikmati ini dulu untuk sementara 〜(꒪꒳꒪)〜

Paper MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang