IX

1.3K 209 29
                                    

Sanji duduk di halaman belakang dengan ponsel di tangannya. Matanya masih pula menikmati pemandangan laut Malibu dari sela rumah milik Zoro.

Sekarang ia tengah menunggu kepulangan pria itu. Zoro menjanjikan beberapa buku resep dan bahan makanan baru untuknya. Ia sudah menelepon Zoro tiga jam yang lalu, meminta semua bahan yang dibutuhkan selagi si hijau berkeliling supermarket. Video call berlangsung lama dengan tawa Sanji yang melihat si hijau kebingungan, tangannya menyentuh zucchini dan mentimun bertanya mana yang zucchini dan mana yang mentimun.

Mendadak ponselnya berdering. Ada panggilan masuk dari Zoro. "Halo?" ia bersuara, berharap Zoro tidak tersesat hingga harus meneleponnya.

"Selamat sore, kami dari kepolisian, nomor anda terdaftar dalam kontak darurat Roronoa Zoro," suara asing itu berbicara.

Sanji merasakan jantungnya berhenti berdetak untuk sesaat. "...iya?"

"Saudara Roronoa mengalami kecelakaan dan sedang dirawat di rumah sakit..."

Tubuhnya bergerak secara spontan. Kakinya berlari masuk ke dalam rumah. Tangannya bergetar begitu mencari kunci mobil. Panik seketika merambat, membuat pikirannya tak lagi jernih. Setelah mendapatkan kunci dan dompet, ia langsung menuju garasi dengan sandal rumahnya dan menyalakan mobil, tidak memedulikan pakaian yang dikenakannya. Ia menggeretakkan gigi ketika menginjak gas, meninggalkan rumah yang kosong dan sepi.

Sanji semakin dibuat kalut ketika melihat sisa mobil kecelakaan di tengah jalan. Dari sudut matanya dapat ia lihat bagaimana mobil SUV kepemilikan Zoro hancur terhimpit dua kendaraan lain. Waktu bergerak begitu lambat dan jarak menuju rumah sakit terasa begitu jauh.

Ketika sudah sampai di depan rumah sakit, ia langsung berlari di koridor, tidak menghiraukan tiap pandangan yang tertuju padanya. Rumah sakit itu ramai, Sanji hampir menabrak seseorang berulang kali. Ketika larinya melambat, Sanji bisa melihat dua polisi sudah sudah menunggu kedatangannya di depan pintu.

"Mana Zoro?" ia bertanya cepat.

Dua polisi tersebut saling bertatapan sebelum mengangguk pelan dan menuntun Sanji masuk. "Dia sedang dalam keadaan koma, sebuah mobil menabraknya dari belakang dan mobil suami anda menabrak truk di depannya, sebuah keajaiban dia mampu bertahan,"

Sanji menatap kasur dengan mata kosong. Polisi tersebut mengelus pundaknya pelan, menyalurkan bentuk simpati. Ia memberikan sebuah ponsel dengan kaca yang retak. Tertera nama Sanji di sana, dengan tambahan 'husband' di sampingnya. Hanya namanya yang terdaftar di dalam kontak darurat.

Dadanya terasa sesak, sungguh ia bahkan tidak mampu bernapas. Lalu sedetik kemudian Sanji pecah. Isak tangisnya mengisi seluruh sudut ruangan, tangannya memeluk erat ponsel milik Zoro.

.
.

Hari berlalu begitu saja dengan orang yang datang dan pergi. Sanji masih berada di sisi Zoro sejak hari pertama. Kali ini ia duduk di samping si hijau, menunggu kehadiran pengunjung lain yang ingin melihat keadaan Zoro.

Pintu mendadak diketuk pelan. Sanji menoleh, melihat wajah Viola yang muncul dari sela pintu. Gadis itu membuka pintu lebih lebar lagi sebelum masuk. Suara jejak hak sepatunya bergema dalam ruang kamar. Sanji berdiri dan menatap gadis itu lama.

Lalu Viola membuka kedua tangannya, mempersilahkan Sanji memeluknya. Si pirang lantas melingkarkan kedua tangannya di tubuh gadis itu. Tangan Viola mengelus rambutnya, menenangkannya.

Semua orang datang untuk Zoro. Semuanya datang untuk memeriksa keadaan suaminya. Namun tidak ada satu pun yang bertanya tentangnya atau bersimpati kepadanya. Semua menganggap Sanji tidak peduli dengan Zoro, mengingat pernikahan mereka hanya terjadi di atas kertas.

Tapi Viola datang untuknya.

"Lihat matamu," ucapnya dengan dua tangan menangkup pipi si pirang.

"Banyak orang datang, belum sempat tidur," Sanji sedikit menguap. Ia melepas pelukannya dan kembali duduk di samping Zoro.

"Pasti capek ya," ia meraih tasnya, mulai mencari-cari sesuatu. "Aku bawa makan," lalu mengeluarkan dua kantung burger.

"Makasih," Sanji tersenyum, air matanya menetes.

.
.

Beberapa hari kemudian keluarganya datang. Sanji berdiri, membiarkan istri baru ayahnya menatap tubuh yang terbaring di atas kasur dengan iba. Namun ayahnya menatapnya dingin, seperti biasa. Sanji tidak berkata apa-apa, tidak mampu lebih tepatnya.

"Dia tidak mungkin selamat," ayahnya berbicara dalam bahasa Prancis. "Ini sudah masuk minggu kedua dan Zoro belum bangun,"

"Aku akan menunggunya sampai bangun,"

"Ceraikan saja dia, kita bisa mengurus lahan dan properti sendiri, terlalu lama menunggu Zoro sadar,"

Sanji menarik napas dalam. Emosinya sudah hampir meledak. Tapi ia tetap terdiam, menunggu dengan sabar. Napasnya dalam dan stabil, sesuai dengan yang diajarkan.

Judge mendengus. "Kalau dia masih tidak sadar dua minggu kedepan kau harus meminta pihak rumah sakit untuk mencabut semua alat bantunya, semua harta dan propertinya akan jatuh ke tanganmu,"

Sanji ingin berteriak. Ingin menjerit. Ingin mengatakan bahwa ia tidak peduli dengan semua kekayaan itu. Yang penting baginya saat ini hanyalah memastikan keselamatan Zoro.

Berani-beraninya mereka memaksanya untuk menikah lalu memintanya bercerai begitu saja. Selama ini ia memang tidak lebih dari sebuah alat bagi ayahnya.

"Keluar," Sanji mendapati dirinya berkata. Suaranya rendah dan agresif.

"Anak bodoh! Aku berkata seperti ini juga demi kamu—"

"Keluar!" gertaknya.

"Kurang ajar! Anak tidak tahu terima kasih!" sebuah tamparan mendarat di pipinya. Sanji tidak tahu kapan tepatnya ia melihat merah. Sebuah tinju melayang ke arah ayahnya. Lalu ia kehilangan kendali.

.
.

Istri baru ayahnya membantu mereka berdua keluar dari kantor polisi. Wanita itu berdiri dengan anggun, wajahnya yang dipoles make-up membuatnya bertahun-tahun lebih muda dari umur aslinya. "Maafkan ayahmu, Sanji... Aku minta maaf," ia bersuara.

Sanji mengusap ujung bibirnya yang robek, menatap Judge yang tidak jauh lebih baik darinya. Ia mengacak rambutnya sendiri dan mengeluarkan satu teriakan terakhir sebelum menarik napas dalam, berusaha sekuat mungkin untuk tidak menangis.

"Jangan hubungi aku lagi," tegasnya.

"Bagaimana bisa kau berkata seperti itu pada ayahmu sendiri?!" Judge memandangnya geram.

"Apa kau pernah sekali saja menganggapku sebagai anakmu dan bukan alat?!" Ia berseru. "Selama ini aku selalu menuruti permintaan egoismu, aku melakukan apapun, kulakukan semua keinginanmu, tapi dari segalanya tidak ada satupun yang patut dibanggakan di matamu,"

"Satu-satunya permintaanmu yang tidak pernah kusesali adalah pernikahan ini, terima kasih telah memaksaku menikah dengan Roronoa Zoro."

~•-•~

Yang berhasil nebak chapter ini dapet permen, nih 🍬🍭🍬🍭🍬

Paper MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang