Sanji terus menerus menggeritkan giginya ketika mendengar Fullbody berbicara. Pria itu duduk di atas kursi hitamnya dengan dua tangan terlipat di atas meja, matanya memandang Sanji selagi ia membeberkan alasannya telah mengambil alih restoran.
Sanji menarik napas dalam, berusaha mengulang pelajaran yang ia dapat dari sang terapis jika ada sesuatu yang terjadi tidak sesuai keinginannya. Fullbody mengetuk jari berhiaskan cincinnya ke atas meja perlahan, meminta perhatian Sanji.
"Kelihatannya kau juga tidak bisa mengatur restoran itu dengan baik, jadi bukankah lebih bagus kalau aku saja yang melakukannya?"
Sanji menutup kedua matanya, membiarkan suara congkak itu mengotori telinganya. Jarinya terus mengusap cincin, mengingat Zoro setiap kali amarahnya ingin meledak. Untungnya ingatan tentang suaminya itu selalu membuat Sanji kembali waras.
Si pirang kembali membuka lembaran perjanjian, menatapnya lama, mencari celah walau tahu ia tidak akan menang. Ia menutup matanya lagi, memijat pelipis.
"Kau sudah menikah kan?" mendadak pria bertubuh jangkung itu bertanya.
Sanji menatapnya tajam, tidak menjawab. Fullbody mengibaskan tangannya. "Dengar, aku tahu kau tidak percaya padaku, aku juga membencimu kau tahu," ucapnya. "Tapi relakan saja restoran ini, kata bapak tua itu kau punya sedikit masalah keterikatan dengan restoran,"
Ia mengangkat sebelah alisnya. "Zeff?"
Fullbody mengangguk. "Dia bilang kau terlalu terikat, dia tidak mau melihatmu masih mengharapkan restoran ini dan memintamu keluar dari zona nyaman, cari sesuatu yang baru, telusuri lebih dalam hubungan dengan suamimu, ah aku tidak terlalu banyak mendengarkan ocehannya,"
"Dia bilang begitu?" Sanji terhenyak. Dia sendiri tidak menyadari kalau keterikatan dengan restoran itu membuatnya sulit membuka diri. Dulu, restoran itu adalah identitasnya, satu-satunya yang ia punya. Sekarang, setelah kehilangan kepemilikan atas restoran, Sanji merasa bahwa ia lebih dari sekedar pemilik rumah makan di balik hijaunya Parc de l'Orangerie.
"Vinsmoke, percayakan restoran ini padaku," sebelah tangannya menopang wajah, melihat Sanji dengan tenang.
.
.Zoro baru saja mengunjungi hotelnya yang berlokasi di luar kota ketika Sanji meneleponnya. Ia memarkirkan mobil di bawah naungan pohon, mengangkatnya.
"Hai, lagi apa?" Sanji bertanya.
"Kunjungan hotel, lo lagi ngapain?"
"Siap-siap tidur, di sana jam berapa?"
"Masih jam empat, lo?" Zoro bertanya, memandangi matahari yang hampir tenggelam di ufuk barat.
"Jam satu," terdengar kekehan lembut dari balik telepon.
Zoro tidak menjawab, tengah mendengarkan napas yang keluar teratur dari suaminya. Matanya menutup, kepala bersandar pada jok mobil. Entah bagaimana, suara deru napas Sanji mampu membuang semua rasa penatnya. Bahunya yang semula tegang kembali rileks.
"Gue udah mutusin..." Sanji mendadak bersuara.
"Hm?"
"Gue pengen bikin restoran baru,"
"Dimana?"
"Hm, belum kepikiran, kasih ide dong,"
Zoro tersenyum kecil. "Lo tau gue punya banyak tanah," ujarnya.
"Oohh, sugar daddy," Sanji tertawa.
"Yep, apapun buat lo,"
Zoro tidak menyangka kata-kata itu akan keluar juga dari mulutnya. Ia masih ingat bahwa dulu pernikahan terdengar mustahil untuknya, apalagi memberikan seluruh dirinya pada orang lain. Tapi kali ini ia berniat melakukan segalanya untuk Sanji.
.
.Ketika berjalan menyusuri Place Broglie, kakinya berhenti di depan Fontaine de Janus, mengistirahatkan diri di salah satu bangku. Ia memandangi air mancur berhiaskan pahatan dewa Romawi.
Angin menghempas beberapa sampah plastik di dekatnya. Ia mengernyitkan kening, tidak punya pilihan lain selain duduk di antara terpaan angin. Ia merogoh kantung, mengeluarkan satu kotak rokok yang dibelinya di sebuah toko. Sudah lama ia tidak mengisap rokok.
Jarinya menyalakan pemantik api, membakar ujung linting rokok. Seorang pria mendadak duduk di sampingnya. "Boleh aku minta apimu?"
Sanji menoleh, memberikan korek apinya. Ia kembali menatap air mancur, tidak memedulikan si asing yang menyalakan rokoknya. "Merci,"
Si pirang tidak berkata apapun. Ia menerima koreknya dan kembali menikmati cerutu. "Rambutmu unik," si asing kembali berbicara, berusaha membuka topik.
"Iya," Sanji menghela napas. Ia menoleh, hanya untuk mendapati pria itu tersenyum padanya.
"Vinsmoke Sanji?"
"...siapa?"
Pria itu berambut arang, gelap dan pekat. Terdapat tindik di telinganya. Kantung mata hitam menghias area bawah matanya, entah alami atau hanya polesan make-up. "Lupa? Gue Trafalgar Law," ia menyodorkan tangannya, berbicara dalam aksen British yang cukup kental.
Sanji menganga. Ia memandangi pria itu lagi, mencari jejak ingatan dari masa kecilnya. Kuning. Matanya masih sewarna batu amber. Hanya saja iris kuning itu tidak kelihatan sehangat dulu.
"Lo kemana aja?" dengan cepat Sanji bertanya.
"Tergantung, gue pindah ke Nottingham dan ngambil pendidikan dokter di Oxford, intinya gue ada di... UK?" ia mengangkat bahu, mengeluarkan asap dari bibirnya.
"Lama gak ketemu, lo berubah banget,"
"Dan lo masih sama,"
"Itu berarti jelek atau ganteng?" Sanji mengerutkan kening.
Law hanya melempar senyum penuh arti. "Gue liat lo udah ada cincin, tunangan?"
"Oh," Sanji melihat jarinya sendiri. "Nikah,"
"Ah," si rambut raven mengangguk-angguk. "Lo masih tinggal di sini?" Ia mengganti topik.
"Nggak, gue bareng suami di California, lo masih di UK?" Sanji balik bertanya.
"Oui," ia tersenyum. "Gue kerja di rumah sakit di London, kalau sakit dateng aja ke sana,"
"Gratis?"
"Enak aja,"
"Hahaha,"
Law menatap kejauhan, dadanya naik turun selagi menikmati angin. "Inget dulu gue pernah ngelamar lo pake rumput?"
Sanji terkekeh dan mengangguk. "Kok lo masih inget sih?" Sanji bertanya di sela isapan cerutu.
Law mengisap rokoknya, kakinya ia silangkan. "Gimana kalau gue bilang gue gak bisa ngelupain lo?"
Ia menatap Law, tidak memasang ekspresi terkejut. Kepalanya mengangguk pelan, melirik pahatan Janus di dalam kolam air mancur. "Hmm... gimana ya, gue ngomong santai sama lo kayak gini aja selalu kepikiran Zoro,"
Sanji tidak berbohong. Ia ingat Zoro di setiap kesempatan. Ketika Law memintanya mengunjungi London, ia berpikir untuk membawa Zoro ke sana. Ketika ia duduk bersantai di depan Fontaine de Janus, ia berpikir alangkah bagusnya jika Zoro duduk di sampingnya. Ia tidak sabar untuk pulang besok.
"Coba ceritain ke gue, suami lo orangnya kayak gimana?" Law kini menatapnya, tersenyum tulus.
Agak tersipu, Sanji mulai menceritakan awal mula pertemuan mereka.
.
.Jam 7 pagi, Zoro bersiap untuk melatih tubuh di gym. Satu jam sebelumnya ia mendapatkan pesan suara dari Sanji, mengatakan bahwa ia sudah bersiap pulang dan sudah berada di bandara.
Ketika melewati area ruang tengah, Zoro tergerak untuk menyalakan televisi sebentar, melihat berita pagi yang selalu ditonton Sanji. Tangannya menyentuh remot, matanya memandangi televisi.
Botol minumannya jatuh menggelinding ketika ia memandangi pemandangan pesawat meledak di udara. Pesawat itu hancur terbakar, mengeluarkan asap dan kemudian meledak menjadi berkeping-keping. Pesawat tujuan Strasbourg-Los Angeles.
~•-•~
.... surprise! (Aaaakk jangan lempar aku pake sandal!)
KAMU SEDANG MEMBACA
Paper Marriage
FanfictionPernikahan ini hanya dilakukan di atas kertas. Jangan pernah berharap akan terjadi cinta di dalamnya. . . a ZoSan fanfic By Oxodust OC from Eiichiro Oda