II

1.6K 225 23
                                    

Zoro tidak meminta izin padanya sebelum pergi menyalakan mobil di garasi dan meluncur ke jalanan dengan kecepatan sedang. Sanji sempat mengintip lewat sela jendela ketika pria itu menelepon seseorang. Pria yang kini berstatus suaminya itu kelihatan ingin menemui seseorang. Sanji mengangkat bahu. Dia tidak punya urusan dengan semua aktivitas Zoro.

Si pirang berjalan ke arah dapur, menatap lantai yang bersih akan pecahan kaca. Tangannya yang terbalut tidak bisa digunakan untuk memasak. Tapi ia tidak begitu lapar. Sanji menghela napas sebelum berjalan ke arah sofa dan menyalakan televisi, tidak menghiraukan peraturan yang dibuat si hijau lumut.

Pria itu gila disiplin atau apa? Masa televisi saja tidak boleh.

Sanji setidaknya sedikit terhibur dengan tontonan di televisi besar itu. Drama picisan bergenre romansa mampu membuatnya teralihkan dari segala masalah hari ini. Ia butuh istirahat, sangat membutuhkannya. Tapi sinetron yang diputar kelihatan menarik.

"Ayah, aku tidak mau menikah dengannya!"

"Putriku, dengarkan dulu ayahmu ini-"

"Aku akan keluar dari rumah ini kalau kalian memaksaku!"

Sanji tertawa pelan. Matanya sayu memandang cahaya dari televisi. Mungkin ia bisa kabur dari rumah Zoro. Tapi bagaimana dengan tempat tinggalnya? Dia harus kemana? Tidak ada yang mau menerimanya sementara rumah yang ia miliki di Strasbourg sudah pasti menjadi tujuan satu-satunya, keluarganya akan tahu dan menjemputnya secara paksa dari sana, meninggalkan ia tanpa pilihan.

Ia menguap dan mematikan televisi. Jalannya gontai menuju area kamar. Ia menutup pintu lalu menghempaskan diri ke atas kasur, menikmati tidur lelapnya.

.
.

"Nikah paksa? Gue pikir cuma ada di drama aja," gadis di sampingnya tertawa. Sebuah selimut menutupi tubuh bagian atasnya. Senyum dari wajah cantiknya mempesona dan bergairah.

Zoro menggeleng. "Harusnya gue nelpon lo aja pas itu ya," ia menghembuskan napas kencang. Dua tangannya diletakkan di belakang kepala, menopangnya selagi ia memandangi atap.

"Nomor gue selalu aktif kok, lo bisa telpon kapan aja," ia berkata. "Tunggu, lo berarti udah putus dari pacar lo pas itu kan?"

"Ah yang itu udah putus lama banget," ia menutup mata, teringat lagi pada pria yang menjadi mantan terakhirnya. Zoro masih ingat alasan pria itu meninggalkannya. Dengar-dengar dia menemukan seseorang yang lebih baik. Lagipula ia sudah bosan, jadi Zoro tidak menyimpan dendam sama sekali.

"Hmm, malem ini nginep di sini kan?" jemari lentik gadis itu mulai menelusuri torsonya, berjalan hingga menyentuh dada bidangnya.

Zoro masih belum yakin untuk menghabiskan malamnya seatap dengan si pirang. Jadi ia mengangguk. Gadis cantik itu mendekatkan wajahnya pada Zoro, melumat bibir si hijau dalam ciuman panjang. Zoro tidak keberatan. Ia membalasnya selagi sebelah tangannya meniti punggung si pemilik helai toska.

.
.

Pagi datang dan Sanji membuat kopi. Pagi ini ia ingin menikmati segelas kopi panas tanpa gula. Kepalanya berdenyut sejak malam, meninggalkannya mengerang kesakitan sendirian. Ia menyesap isi gelas kemudian membawanya keluar untuk menikmati pemandangan pagi di atas bukit yang mengarah pada laut.

Angin Malibu bertiup pelan, menggoyangkan pohon yang melindungi pekarangan rumah Roronoa. Untuk ukuran seorang milyuner, Zoro memilih desain rumah yang tidak begitu besar. Setidaknya Sanji menyebut rumah luas ini nyaman, bukan seperti mansion, hanya rumah tradisional biasa tapi berukuran lebih besar. Kolam renangnya pun tampak damai dan tertutup di balik pepohonan.

Ia meletakkan kopi di samping dan meregangkan tubuhnya. Tangannya masih terbalut perban menyebalkan. Sanji jadi tidak bisa melakukan apapun. Setelah melepas amarahnya kemarin, ia merasa jauh lebih lega. Apalagi dengan ketidakhadiran Zoro dalam rumah itu. Sanji harap Zoro pulang lebih siang.

Tapi tentu saja dunia ini tidak bekerja sesuai harapannya. Dapat ia dengar suara mobil dari kejauhan. Lalu pintu garasi terbuka dan mobil pun diparkirkan masuk.

Ia masih bertahan di depan kolam renang, berharap pemandangan pantai membuatnya lupa akan kehadiran si hijau. Tapi Zoro membuka pintu kaca ke halaman belakang dan memanggilnya.

"Woi, gue bawa sushi, ayo sarapan,"

"Nanti," ia membalas.

"Nanti keburu dingin,"

"Nanti," jawabnya lagi.

"Ntar gue abisin,"

"Iya, abisin aja,"

Tampaknya Zoro menyerah membuat percakapan dengan Sanji. Ia menghentakkan kakinya kembali masuk ke dalam rumah, meninggalkan Sanji sendirian di halaman belakang.

.
.

Matahari sudah hampir terbenam dan Zoro tidak melihat Sanji makan sedikit pun. Ia akui pagi tadi Sanji mampu membuat emosinya hampir meluap. Kalau saja ia tidak ingat Sanji butuh makan, Zoro berniat menetap di apartemen Hiyori, menghabiskan waktunya di sana. Tapi ia malah bangun dan mengendarai mobil kembali ke rumah, bahkan ia berhenti di sebuah toko sushi untuk membelikannya sarapan. Tapi apa yang dilakukan Sanji? Pria pirang itu bahkan tidak menyentuh makanannya sama sekali.

Sekarang Zoro khawatir. Sejak pagi perut si pirang hanya diisi kopi saja, tanpa makanan apapun. Ia tidak yakin Sanji memakan buahnya karena Zoro tahu persis berapa jumlah sisir pisang yang ada di dalam kulkas dan berapa buah apel yang berdiam di dalam mangkuk.

"Gue mau pesen pizza, lo mau yang mana?" Zoro mendekati Sanji yang bergulung dengan selimut di atas sofanya, tangannya sibuk menggulir layar, melihat postingan dengan wajah bosan.

"Keju, ekstra keju, pinggiran mozza," ia menjawab tanpa berpaling.

Begitu mendengarnya Zoro merasa jauh lebih lega. Setidaknya pria pirang ini mau makan. Ia mengangguk dan berjalan menuju island counter di dapur. Setelah memesan pizza ia berdiri untuk mengambil gelas, berniat meminum air dingin. Satu panggilan masuk dan Zoro mengangkatnya.

"Lo katanya mau dateng?" suara di seberang panggilan membuat Zoro terpaku.

Ia terlalu sibuk mengkhawatirkan Sanji sampai lupa sudah berjanji pada Hiyori untuk datang. "Ga jadi, batalin aja,"

"Kok gitu? Emang ada yang lebih penting daripada gue?"

"Tergantung... menurut gue sih penting,"

"Hm, yaudah, lain kali aja deh, bye Zoroo!" nadanya tetap terdengar ceria meskipun rencana keduanya dibatalkan secara sepihak. Zoro bersandar pada counter dan mengesampingkan ponselnya. Ia menarik napas dalam.

Pizza itu harus datang dalam keadaan sesempurna mungkin. Rasanya kesal kalau ia harus merelakan malamnya dengan Hiyori hanya untuk pizza dingin. Tentu ia merelakan gadis itu untuk dua kotak pizza hangat kan?

Tentu saja hanya karena pizza, bukan karena suami barunya itu.

Paper MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang