Zoro berusaha menghubungi nomor Sanji tapi tidak kunjung terhubung, tidak ada yang mengangkat dan tidak ada sambungan. Jantungnya berdetak kencang sementara tangannya bergetar, berharap semua hanyalah mimpi buruknya. Namun suara reporter masih jelas terdengar dari televisi, membawakan berita terkini.
Tanpa ia sadari air matanya menetes. Ia menutup mulut, menahan isakan yang mendesak keluar. Ponsel masih menempel pada telinganya, harapannya belum juga musnah.
Detak jarum jam dinding terdengar kencang dalam rumah yang begitu sepi. Zoro memandang sekitar, kakinya berjalan menuju sofa, terduduk lemas. Berbagai saluran televisi masih mengabarkan pesawat yang meledak tidak lama setelah terbang.
Ia terdiam, pandangannya kosong. Daftar penumpang kecelakaan belum keluar di media, dia masih bisa berharap. Atau mungkin semuanya memang hanya mimpi buruk.
Ia berbaring di atas sofa, mengingat tempat kesukaan Sanji. Selimut yang ia belikan untuk menemani si pirang menonton di sofa mulai ia kenakan. Kelopaknya menutup di antara buram air mata, berharap ketika ia bangun Sanji sudah memeluknya lagi.
.
.Sanji memandangi langit dari kaca bandara, terkejut begitu mendengar berita tentang kecelakaan pesawat. Sesaat sebelum pesawat terbang, ponselnya tidak sengaja ketumpahan kopi panas. Dia terlalu sibuk mengurusi ponselnya sampai-sampai lupa dengan jadwal penerbangan.
Sekarang ia terjebak di bandara dengan ponsel rusak dan kopi kosong. Seharusnya ia tidak membeli kopi di sore hari begini. Lagi-lagi matanya melihat ke arah langit, bulu kuduknya berdiri. Andai ia benar-benar memasuki pesawat itu dan terbang sesuai jadwal.
Dia tidak boleh berdiri begitu saja. Ia berbalik, ingin mencari cara memesan tiket lagi. Sanji berjalan cepat, ingin menuju counter maskapai penerbangan. Tapi langkahnya terhenti begitu melihat Law berdiri dengan napas menderu. Keringat bercucuran dari keningnya, matanya memandang Sanji tak percaya.
"Lo... ngapain di sini?" Sanji bertanya.
"...gue liat beritanya," suara rendahnya menjawab di sela napas yang tidak teratur.
Sanji menatap kumpulan orang yang berjalan di sekitar mereka. "Gue harus pulang, Zoro pasti khawatir," ia menunduk. "Hape gue juga rusak," ia menunjukkan ponselnya.
"Lo harus banget pulang sekarang?" Law bertanya, nadanya frustrasi.
"Iya,"
"Kenapa?"
"Soalnya Zoro khawatir..."
"Gue juga khawatir, gue peduli sama lo," Law menyentuh tangannya pelan namun Sanji dengan cepat menepis. "Sanji," ucapnya.
"Kalau lo emang beneran peduli, lo harusnya bantuin gue pulang," ujarnya penat. Ia menghela napas, berjalan cepat melewati Law yang masih tertegun.
.
.Zoro membuka mata, mendapati cahaya terang memasuki matanya. Ah, ia ingat. Pagi tadi dia bersiap melatih tubuh di gym. Lalu apa yang terjadi selanjutnya? Zoro ingat dia menonton televisi sebentar, lalu tertidur.
Hari ini Sanji pulang. Zoro berdiri, memungut botol minumnya di lantai dan membawanya ke meja marmer. Ia meregangkan tubuh, menguap lebar. Dia harus membuat sesuatu untuk menyambut kepulangan si pirang.
Zoro membuka kulkas, menemukan beberapa butir telur. Ia mengambil dua telur dan satu bungkus smoke beef. Zoro memecahkan telur ke dalam mangkuk kemudian memasukkan garam, lada, dan kaldu jamur sebagai bumbu. Lalu ia menyalakan kompor dan menumis bawang putih cincang dan potongan daging asap. Zoro memasukkan telur ke dalam wajan penggorengan dan mulai memasak.
Ia berhenti setelah menuangkan saus di atasnya. Sebelah matanya kini memandangi piring. Ia menggapai mata kirinya dan menyentuhnya pelan, merasakan goresan yang selalu mengingatkannya pada kecelakaan mobil.
Kecelakaan...
Pandangannya kosong. Iya, Sanji kecelakaan. Pesawat yang ditumpanginya meledak. Benar juga, harusnya ia sekarang duduk di sofa, menangisi kepergian suaminya, bukan malah membuat makanan untuk menyambut kepulangan si pirang.
Sanji sudah tiada.
Ia berjongkok, tungkai kakinya lemas, tidak mampu menahan berat tubuhnya lagi. Air matanya yang semula menggenang kembali tumpah. Sanji benar-benar sudah tiada.
.
.Sanji merogoh kunci di dalam tas kecilnya. Ia sampai di Los Angeles setengah jam yang lalu. Untunglah malam itu jalanan lumayan sepi, mungkin karena sudah hampir tengah malam. Ia membuka pintu, buru-buru menyeret kopernya masuk.
Sanji tidak melihat keberadaan Zoro di sana. Hanya ada sepiring nasi putih dingin dengan telur bersaus di atas meja makan. Ia melangkahkan kaki di tangga, mendekatkan diri pada daun pintu kamar si hijau.
Ia membuka pintu, mendapati kamar pria itu gelap. Pelan, kakinya melangkah mendekat. Zoro nampak tertidur pulas di atas kasur. Dari cahaya yang masuk lewat koridor, Sanji mampu melihat mata sembab dan hidung merah.
Tangan Sanji terulur untuk mengelus rambut hijaunya. "Zoro..." Ia berbisik.
Kelopak mata Zoro yang semula tertutup perlahan terbuka. Sanji menatapnya, masih menjalankan jemarinya di antara surai hijau suaminya. "Sanji...? Lo pulang?" Zoro menggenggam pergelangan tangannya, kedua matanya melebar terkejut.
"Iya," Sanji mengangguk.
"Lo— gue pikir lo kecelakaan— Sanji... Sanji...." tangisnya kembali keluar dan dua tangannya langsung memeluk si pirang. Di antara kegelapan itu Sanji hanya bisa mendengarkan isak tangis Zoro, isak tangis dari pria yang selalu menjaga emosinya, yang selalu penuh pembawaan diri.
"Pas gue liat pesawat lo meledak, gue gatau harus ngapain, gue gabisa jemput lo, gabisa dateng ke tempat lo, gabisa ngehubungin lo,"
Sesak, ia merasa dadanya sesak ketika melihat Zoro di sana, hancur dengan bayang akan kehilangan dirinya.
Sanji mengelus punggung Zoro berulang kali. Ia membiarkan si hijau menangis di bahunya. Tangan Zoro menyentuhnya di berbagai tempat, ingin merasakan lagi kehangatan yang ia kira hilang. "Sanji, gue sayang banget sama lo," ia menarik napas dalam, menghirup aroma yang menguar dari tubuhnya.
~•-•~
Siapa yang lega? Angkat tangan 🙋
KAMU SEDANG MEMBACA
Paper Marriage
FanfictionPernikahan ini hanya dilakukan di atas kertas. Jangan pernah berharap akan terjadi cinta di dalamnya. . . a ZoSan fanfic By Oxodust OC from Eiichiro Oda