VII

1.5K 227 28
                                    

Malam itu Sanji masih terbangun. Ia berbaring di atas kasurnya, menatap dinding dengan pandangan kosong. Beberapa menit yang lalu ia dengar mobil Zoro pergi keluar dari garasi, meninggalkannya sendirian.

Zoro akan menemui seseorang, lagi. Dan Sanji yakin ini bukan tentang pekerjaan. Mungkin seorang wanita? Atau pria selain dirinya?

Ia menghela napas.

Pikirannya berkabut sekarang, penuh akan pertanyaan. Apa hanya dia yang menganggap tadi pagi sebagai kencan? Apa hanya dia yang merasa berdebar tiap kali mereka berdekatan? Kenapa hanya dia yang merasa seperti ini? Kenapa dia malah menyukai pria itu?

Sanji tahu jawabannya. Itu karena Zoro berbeda. Pria itu menyambut amarahnya dengan baik. Ia malah ikut menemaninya, duduk bersamanya untuk menghiburnya. Orang lain akan menguncinya dalam kamar kosong tanpa barang apapun untuk dihancurkan lalu meninggalkannya,

Sendirian.

Mungkin Zoro baik pada semua orang. Mungkin dia sama sekali tidak spesial.

Sebuah perasaan baru kini menghampirinya. Rasa kecewa.

.
.

Zoro mendorong tubuh putih itu ke atas kasur. Tangannya menelusuri tiap lekuk tubuh gadis berambut toska, membayangkan Sanji yang berada di bawahnya. Ia tersentak.

Kenapa di saat seperti ini ia malah membayangkan Sanji? Kenapa bayang pria itu harus melintas di benaknya ketika ia sedang bermesraan dengan wanita lain?

Zoro merasa mual.

Ia berhenti menyentuh Hiyori dan berganti posisi menjadi duduk, mulai mengatur napas. Hiyori memandanginya, bingung. Tapi gadis itu tidak bertanya, tidak sebelum Zoro memutuskan untuk bicara lebih dulu.

Zoro menatap pantulannya di cermin yang bersebrangan dengan kasur. Ia kelihatan seperti monster.

Tangannya menyentuh rahang wajah, masih terpaku pada cerminan diri. Lalu ia melompat dari kasur dan memasang bajunya dengan cepat. "Mau kemana?" tanya Hiyori.

"Pulang," jawab Zoro singkat.

"Hei—!"

Zoro tidak mendengarkan kelanjutan dari seruan Hiyori. Ia mengambil kunci mobilnya dan bergegas keluar dari unit apartemen gadis itu.

Ketika sudah masuk ke dalam mobil, Zoro menyalakan mesin dan menginjak gas pergi meninggalkan area gedung apartemen.

Lampu-lampu jalanan yang memantulkan cahaya oranye hangat serta air laut dari pantai membuat Zoro terpikir akan rumah. Ia jadi teringat tempat kesukaan Sanji. Halaman belakang yang ia dekorasi dengan fairy lights oranye itu selalu menjadi favorit si pirang. Pria itu suka duduk di sana sendirian, memandangi lautan. Ia memukulkan tangannya ke klakson, mengeluarkan sumpah serapah. Semua hal yang ia lewati mengingatkannya pada si pirang.

Beberapa menit mengendarai, ia akhirnya tiba di depan rumah. Zoro memarkirkan mobilnya di garasi dan berlari masuk. Pelan kakinya menginjak tangga, secara bertahap ia menarik napas, memberanikan diri.

Ketika tiba di depan pintu kamar Sanji, ia dengar suara tangis dari dalam. Zoro membuka pintu, melihat kamar yang gelap.

Sebuah bantal kemudian melayang ke arahnya. "Pergi!" seru Sanji.

"Sanji?"

"Pergi! Tinggalin gue!"

Zoro segera menyalakan lampu. Ia lihat kasur Sanji sudah tidak beraturan, dengan bantal yang bertebaran dan selimut menghiasi karpet. Seprei biru dongker yang semula terpasang rapi juga sudah hampir lepas.

Paper MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang