XI

1.3K 188 20
                                    

Sanji duduk di kursi samping pengemudi. Matanya memandangi jalanan, mengingat ulang betapa hancur dirinya beberapa bulan yang lalu ketika melihat mobil Zoro dengan garis polisi mengelilinginya. Garis kuning itu bersinar terang di antara hamparan lembayung matahari terbenam. Seakan mengatakan siapapun yang mengendarainya telah mati, telah terkubur.

Musik dari radio sama sekali tidak membantu perasaan emosional yang melingkarinya. Ia menarik napas dalam, sedikit mengusap sudut mata yang berair. "Kenapa?" Zoro mendadak bertanya.

Sanji menggeleng. "Cuma keinget pas itu," ia berkata pelan.

Mobil kembali hening oleh suaranya dan Zoro, hanya terisi lantunan musik. Ketika mobil berhenti di depan lampu merah, Zoro meraih tangan Sanji dan menggenggamnya. Sanji menoleh, menunggu Zoro mengatakan sesuatu. Tapi pria berambut hijau itu tidak kunjung mengatakan apapun dan hanya menggenggam tangannya, mata berfokus pada jalanan di depan.

Ketika lampu merah berganti menjadi hijau, genggamannya melemah dan lepas. "Hangat nggak?" tanyanya saat mengendarai mobil.

"Hah?"

"Tangan gue,"

Sanji mengangguk, masih belum tahu kemana arah pembicaraan ini.

"Tandanya gue masih hidup," ucapnya.

Dan seketika Sanji terkesiap. Ia menatap Zoro yang raut wajahnya tidak mampu ia baca. Selama ini ia menyimpan kesulitannya sendiri, menorehkan luka dan trauma. Ia merelakan hubungan dengan keluarganya meskipun keselamatan Zoro masih belum pasti. Ia bahkan tidak tahu apa Zoro akan membuka mata dengan luka yang sebegitu parah. Sanji menunduk, menyembunyikan wajahnya di atas lutut.

"Jangan nangis," suara Zoro terdengar lembut tapi juga bergetar. Sebelah tangannya mengelus punggung Sanji.

Sanji menangis lebih keras ketika mendengarnya.

.
.

Zoro membuka pintu mobil untuk Sanji meskipun pria itu menolak. Ia memberikan tangannya, melempar senyum kecil. "Mau gandengan?" Ia bertanya. Sanji mengaitkan jarinya dengan milik Zoro sebelum berjalan bersama.

"Lo bisa pesen meja di sini?" pria pirang itu masih terkesan, menatap setiap sudut restoran yang ramai. Pramusaji yang melayani mereka membawa keduanya duduk di sebuah meja di samping jendela.

Zoro melepaskan jas dari bahunya dan mengeluarkan kotak beludru, menyembunyikannya dalam kepalan tangan sebelum menitipkannya pada pramusaji. Sanji sendiri sudah mulai membuka buku menu, melihat-lihat isinya dengan antusias.

Setelah membiarkan Sanji mengambil alih menu makan malam mereka, kini hanya tinggal ia dan si pirang di meja itu. Sanji masih menolehkan kepalanya ke sekitar, senyum menempel di wajah putihnya.

"Lo suka tempatnya?" Zoro bertanya.

Sanji mengangguk cepat. "Kalau makanannya sih belum tau ya," ia menghirup dalam-dalam aroma laut yang menabrak karang di pinggir pantai.

"Sanji," setengah ragu ia memanggil. "Gue mau ngomong hal penting sama lo,"

Sanji termangu. "Jangan bilang lo ngerusak panci gue," matanya melebar.

Zoro memutar bola mata dan menghembuskan napas. "Bukan,"

Sanji memandanginya penasaran, mungkin sedikit was-was malah. "Apa?"

Zoro menatapnya lama. Ia tidak mengira akan sesulit ini. Semuanya terasa mudah ketika ia mengatur acara makan malam di kepala. Tapi di saat ia harus berhadapan langsung dengan Sanji, tenggorokannya malah terasa kering. Ia tidak tahu harus memulai seperti apa.

"Lo tau kita nikah cuma karena terpaksa kan," Zoro memulai kalimatnya. "...belakangan ini gue mikir... gue nggak pernah keberatan nikah sama lo,"

Sanji mengangguk dan meminum wine di atas meja. Sebuah senyum tersungging di wajah pucatnya dengan helai kuning hangat yang membingkai apik rupa sang Vinsmoke.

"Jadi..." Ia berbicara lagi namun malah termenung kemudian. Iris biru si pirang menunggunya dengan sabar. Zoro mendapatkan keberanian setelah memandangi biru safir. Ia menarik napas dan melanjutkan, "Apa kita punya kesempatan buat ngulang ini dari awal?"

Tangannya membuka kotak beludru, menampilkan cincin yang seharusnya mereka kenakan.

.
.

Sanji terkesiap. Ia tidak bersuara untuk beberapa saat, membiarkan Zoro menarik pelan tangannya dan memasangkan cincin di jari manisnya. Ia menatapnya untuk sepersekian detik sebelum menutup seluruh wajahnya dengan telapak tangan.

"...hng..." ia mengeluarkan suara kecil. Dari balik jemari ia menatap si hijau yang tersenyum lembut padanya. Rona merah yang menghiasi wajahnya semakin terasa, semakin panas.

"Bagus?" Zoro bertanya.

Sanji mengangguk. Ia menggigit bibir bawahnya dan mengambil kotak dari tangan Zoro. Pelan, ia mengeluarkan cincin lainnya dan berganti memasangkannya pada jari manis sang Roronoa.

Ia memperhatikan kemilau dari cincin putih yang melekat di jari berkulit tan, bersinar hangat di bawah lampu gantung. Indah. Sanji tidak pernah menyadari rasa bahagia dari pasangan yang mengenakan cincin pernikahan.

Dulu ia mengira cincin hanyalah bentuk keformalan semata, tidak lebih dari atribut. Bahkan dengan cincin yang menempel di tangan, masih pula terjadi pengkhianatan, seperti yang sudah dilakukan ayahnya. Sanji tidak dapat menangkap esensi dari mengenakan cincin jika akhirnya mereka akan terpisah.

Tapi kali ini dia mengerti. Cincin yang ia kenakan memiliki pesan yang jauh lebih dalam. Cincin itu sebuah janji yang tak terucap, sebuah sumpah untuk mengikat dua jiwa menjadi satu, sebuah simbol kepemilikan dari penyatuan, sebuah bukti bisu cerita mereka.

"Kita selalu punya kesempatan," Sanji akhirnya menjawab. "Selalu ada, karena gue selalu di sini."

~•-•~

Aku udah bisa bikin endingnya, tapi masih ada beberapa chapter sebelum ending. Aku harap kalian bertahan sampe akhir walau ceritanya agak bikin bosen ya, hehe ( ◜‿◝ )♡

Paper MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang