VIII

1.5K 215 9
                                    

Hari berlalu semenjak kejadian dimana Zoro menyatakan keinginannya untuk mencoba membuat pernikahan mereka berhasil. Ia ingin serius dengan Sanji. Mengingatnya saja membuat si pirang kembali memerah.

Mereka juga sudah mendatangi psikolog yang kebetulan merupakan kenalan dari teman Zoro. Sanji merasa lega begitu mencurahkan semua cerita yang dulu dipendamnya, yang dikunci rapat dalam sebuah kotak yang tersembunyi jauh di kepalanya.

Lalu ia mendapatkan tips mengenai cara menyalurkan amarahnya seperti berolahraga. Selain itu mereka coba mencari tahu alasan Sanji meledak. Setelah menemukannya, beberapa saran kembali diberikan untuk mengatur kendali emosi Sanji.

Hari ini Sanji berniat berolahraga di gym lantai bawah. Ia sudah terlalu lama bermalas-malasan di sofa, menonton TV setiap kali ia punya kesempatan. Sanji membawa dua botol air minum dingin kemudian berjalan turun dengan legging hitam dan kaus putihnya.

Ia melihat Zoro fokus melatih otot punggungnya dengan pull up. Dua telinganya disumbat earphone, tidak menyadari langkah Sanji yang semakin mendekat. Sanji meletakkan botol minuman segar di dekat Zoro dan tersenyum ketika pria itu menatapnya lewat cermin.

Sanji membiarkan mata Zoro mengekorinya selagi ia mencari tempat luas untuk melakukan yoga. Sebuah mat kuning kemudian ia letakkan di atas lantai, permulaan dari tahapan yoganya.

Sanji memulai yoga dengan pose berdiri. Ia mengangkat kaki kanannya dan menempelkannya pada paha kiri, berdiri tegak seraya kedua tangan ia tangkupkan di atas kepala. Kedua matanya menutup, menahan posisi selama 30 detik.

"Abis ini mau makan di luar nggak?" Zoro mendadak bertanya. "Sekalian ngecek hotel,"

Sanji membuka sebelah matanya dan mengangguk. "Siapin baju dulu sana," suruhnya, masih dalam posisi yang sama. Zoro mendekat, meletakkan tangannya pada pinggang Sanji kemudian mencium pipi pria pirang itu.

"Lo mau pake baju yang mana?" tanyanya.

"Maksud gue siapin baju lo sendiri..." Sanji menghela napas.

"Oh," Zoro mengeluarkan tawa kecil kemudian.

Mereka sudah melakukan rutinitas ini hampir setiap minggu. Kadang Zoro mengajaknya makan di luar, kadang juga sekedar menghirup udara segar di pantai, kadang lagi berburu buku. Sanji sudah biasa mengikuti si hijau itu kemana pun dia pergi.

Sanji tidak tahu ia harus berkata apa kalau seandainya suatu saat nanti ia harus kembali bertemu dengan keluarganya. Mereka mungkin akan kaget mengetahui Sanji benar-benar menjalankan perannya sebagai suami dalam pernikahan kontrak ini.

Awalnya ia juga tidak bertekad untuk melakukan hal intim dengan pria yang menjadi suaminya. Hanya hidup berdampingan tanpa cekcok saja sudah seperti mimpi baginya. Untunglah Roronoa Zoro melebihi semua ekspektasinya.

Omong-omong tentang keluarga, Sanji tidak begitu berharap bertemu mereka dalam waktu dekat ini. Ia sudah bahagia dengan Zoro. Rasanya tidak perlu lagi ada intervensi dari pihak luar.

.
.

Bangunan itu sudah hampir sepenuhnya jadi. Zoro membiarkan Sanji berkeliling sementara ia memeriksa kolam renang yang terletak di belakang hotel.

Ia sudah bisa melihat akan seperti apa hotelnya ini nanti. Pohon dan tumbuhan hijau di depan pagar, cat kuning dan merah muda, serta lampu gantung di tiap koridor. Ia melangkah, melewati koridor dan mengecek isi kamar.

Ia berjalan menuju balkon, melihat si pirang yang berjongkok di depan tanaman. Dagunya diistirahatkan di atas dua kaki yang terlipat di depan dada. Dahan pohon yang menaunginya bergoyang ketika tertiup angin. Sanji tampak memainkan tanaman sebelum memilih berdiri dan mengangkat kepalanya, melihat Zoro yang bersandar pada balkon.

Iris cokelat Zoro menatap pria itu lama sementara yang ditatap hanya mengangkat dan melambaikan tangannya canggung kemudian tersenyum. Zoro dapat merasakan dua sudut bibirnya terangkat, membentuk senyum kecil. Ia berjalan keluar dari kamar dan menuruni tangga.

Sanji menemuinya tepat di bawah anak tangga. "Pulang?" tanyanya.

Zoro mengangguk. Mereka berjalan berdampingan menuju mobil. Langkah mereka ringan dan lambat, seakan tidak mau meninggalkan waktu yang dihabiskan bersama.

"...mau ke bioskop?" tanya Zoro.

"Mau!" helai pirangnya berayun lembut ketika ia mengangguk.

Si hijau meraih tangan Sanji, menggenggamnya erat selagi berjalan. Ia tahu Sanji sadar ajakannya menonton film di bioskop hanyalah dalih yang ia gunakan untuk berusaha lebih dekat dengan si pirang. Hanya untuk menghabiskan waktu bersama lebih lama lagi.

.
.

Kadang Sanji sadar ada kalanya mereka begitu canggung. Ia bukan tipe yang mampu mengekspresikan perasaannya dengan bebas. Begitu pula Zoro. Tapi waktu yang dihabiskan bersama terasa lebih natural. Berjalan, mengobrol, bercanda, semuanya tidak lagi terasa dipaksakan.

Awalnya Sanji selalu merasa heran ketika menemukan buket bunga yang diletakkan di atas meja makan. Dia pikir Zoro mau berlatih merangkai bunga jadi ia tempatkan bunga-bunga itu dalam pot sesuai jenis masing-masing. Lalu ia baru menyadari Zoro membeli beberapa bunga untuknya, sebagai hadiah atau apapun itu.

Sekarang ia duduk di sofa, televisi dalam kondisi mati. Beberapa bunga dihamparkannya di atas meja. Sanji mulai memilah-milah bunga yang ingin ia pakai. Dengan telaten ia merangkai bunga sesuai kesukaannya.

Sanji mendadak mendengar pintu terbuka. "Kok nggak nonton?" si hijau berjalan masuk. Ia mendekat, bersandar pada sofa selagi matanya memandangi bunga dari balik bahu Sanji.

"Lagi bikin ini," Sanji menunjukkan foto di ponselnya pada Zoro yang berdiri di belakang.

Zoro melompati sofa dan duduk tepat di samping Sanji. Dua tangannya dilipat di depan dada. "Gimana caranya?"

Sanji tersenyum sebelum melanjutkan kegiatannya merangkai bunga. Ia tahu setelah ini Zoro akan mencoba menawarkan diri.

"Gue mau coba,"

Yap. Tepat sasaran.

Sanji memperhatikan tangan Zoro yang dengan sempurna meniru rangkaiannya. Raut wajahnya yang serius membuat Sanji sedikit terkekeh. "Apa?" Zoro bertanya, tidak berpaling.

"Nggak, gapapa."

Mereka bisa belajar menjadi lebih dekat lagi.

.
.

"Gue beliin buku resep lo mau nggak?" tanya Zoro di telepon.

"Gue mah buku apa aja mau," jawab Sanji.

"Sekalian deket sini ada supermarket lo mau nitip apa?" tanyanya sembari membayar buku di kasir.

"Apa ya... bawang, eh masih ada, hmm... timun sama zucchini mungkin? Ah! Paprika juga! Terus lada sama pala kalau ada, minyak wijen juga dong,"

"Hah banyak amat, kirim aja nanti list-nya, ntar gue cari," Zoro berdecak.

"Kalau ga tau bahannya telpon aja ya,"

"Iya,"

"Ya udah, bye, hati-hati,"

Ketika sambungan ditutup, Zoro melangkah menuju parkiran dan mulai menjalankan mobilnya. Perjalanan kembali pulang tidak pernah terasa semenyenangkan ini untuknya. Mengingat Sanji menunggu di rumah selalu membuatnya tidak sabaran. Ia ingin pulang. Ingin melihat wajah itu lagi. Ingin menghabiskan waktu dengannya lagi.

Paper MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang