XVI

1.2K 156 9
                                    

Zoro mengetuk pintu kamar Sanji di tengah malam suntuk. Ia dengar suara si pirang menjawab pelan, mengizinkannya masuk. Zoro membuka pintu, menatap suaminya yang duduk dengan kacamata dan buku di tangan. "Sejak kapan lo pake kacamata?" tanyanya.

"Ah, kemaren," Sanji merapikan kacamata dengan menyenggol batang hidungnya. "Bagus?" tanyanya.

Zoro mengangguk, menutup pintu dan mendekat. "Gue mau tidur samping lo," akunya kemudian. Sanji menatapnya lama sebelum mengangguk dan bergeser. Zoro menyamankan dirinya di atas bantal, ia benci merasa harus selalu berada di dekat Sanji. Sejak ia melihat berita kecelakaan itu, pikirannya penuh dengan rasa takut akan kehilangan si pirang.

Bahkan ia ingin selalu melingkarkan tangannya di tubuh Sanji, memeluknya seakan tidak ada hari esok. Seakan membaca pikirannya, Sanji melepas kacamata, menutup buku, dan memeluknya erat. Pria itu sedikit bergerak untuk masuk ke dalam selimut dengan dua tangan mengalung, memeluknya lembut.

Zoro menenggelamkan wajahnya di dada Sanji, menutup mata selagi merasakan kehangatan yang diberikan si pirang. Jemari Sanji mulai bermain di kulit kepala, memijatnya lembut selagi mengelus rambut hijaunya.

"Gue beneran ngira gue kehilangan lo, Nji," Zoro sadar ia terdengar menyedihkan, terdengar lemah.

Tidak ada jawaban dari Sanji pada awalnya. Namun kemudian pria itu membuka mulut. "Gue pengen punya anak," ceplosnya.

Zoro mengangkat wajah, menatap Sanji yang tersenyum kecil padanya. "Kenapa tiba-tiba?"

"Gue pengen sebagian dari kita bisa bertahan jadi memori," Sanji mengelus pipinya pelan. "Kalau gue udah gaada lagi, atau lo, atau siapapun... seenggaknya kita punya dia,"

"Sanji... Jangan ngomong tentang kematian segampang itu," dua alis Zoro bertaut, memandangi suaminya tajam.

"Tapi kita pasti mati Zoro, coba bilang, apa gue salah?" tatapan hangat dari iris birunya membuat Zoro kembali lunak. "Jadi lo bisa cari orang—"

"Sanji, kalau lo mati gue juga bakal mati,"

"Zoro, jangan egois..."

Zoro menarik napas dalam. Ia masih ingat betapa mengerikannya hari dimana ia kira Sanji meledak bersamaan dengan bangkai pesawat. Ia ingat bagaimana pikirannya terasa kosong. Ia ingat rasanya hampa, perasaan yang belum pernah ia ketahui sebelumnya kini menghantui.

"Lo mau punya anak?" Zoro akhirnya bertanya. Sanji mengangguk pelan. "Kenapa?"

Si pirang menggigit bibir bawahnya. "Memori... Gue pengen dia jadi memori, sesuatu yang bikin kita inget satu sama lain," suara halusnya terdengar pelan.

"Lo berniat pergi? Lo kepengen ninggalin gue?"

"Tapi kita pasti mati!" Sanji berseru. Kini tangannya bergetar. Awalnya ia kira hanya dirinya yang ketakutan, tapi Sanji juga menyimpan luka yang sama. Betapa bodohnya, kenapa bisa ia lupa tentang kecelakaan itu. Sanji menghabiskan berminggu-minggu di sampingnya tanpa kepastian, mengurusnya dan menemaninya. Zoro mulai mengutuk diri sendiri ketika melihat si pirang menangis.

"Maaf, maaf gue cuma mikirin diri sendiri... Kita bisa omongin ini besok pagi..." Zoro mencium pipi yang basah akan air mata kemudian mengelapnya dengan ibu jari.

.
.

Sanji meminum segelas teh. Tadi malam emosinya meluap, ia tidak berniat meninggikan suara di depan Zoro. Matanya perlahan terangkat, mengamati si hijau yang bersandar pada pintu menuju halaman belakang dengan ponsel di telinga.

Setelah berbicara, ia kembali duduk di samping Sanji. Tangan berkulit tan kemudian menyentuh lengannya. "Kita bicara mulai darimana dulu?" tanya Zoro.

Sanji tidak menjawab, memilih meneguk teh panas.

"...lo mau ke pantai?" Zoro bertanya lagi. "Ayo, kita jalan kaki,"

Ia mengikuti ajakan Zoro. Mereka melangkah keluar rumah kemudian berjalan di trotoar, melewati pohon palem yang bergoyang lembut ketika ditiup angin lepas. Jarak antara pantai dengan rumah Zoro tidak begitu jauh. Beberapa menit berjalan juga akan sampai.

Pantai agak sepi hari itu. Hanya ada beberapa orang berjemur di atas pasir dan yang lain sedang berenang. Zoro membawanya ke area yang jauh lebih sepi lagi, hanya berisi mereka berdua saja.

Sanji berjongkok di depan kaca laut. Ia memungut kaca yang bewarna aquamarine, mengamatinya sejenak sebelum mengambil yang lain. Zoro sendiri membungkukkan tubuh di sampingnya, memunggunginya.

"Ada cangkang kerang besar," Zoro berbalik, memamerkan kerang sewarna langit sore. Merah jambu dengan tambahan oranye dan ungu.

"Buat gue ya,"

"Iya, ini gue cariin yang bagus lagi, bentar,"

Sanji mengangguk, tersenyum senang ketika cangkang itu ada di tangannya. Ia kembali mencari warna unik. Matanya kemudian menangkap satu kaca merah di antara kerikil pasir pantai. Ia menoleh, ingin menunjukkan temuannya pada Zoro yang masih sibuk dengan kulit kerang.

Ia menghela napas, kembali ingat percakapan yang mereka buat semalam. Anak, Sanji menginginkannya. Ia ingin meyakinkan Zoro untuk mendatangi agensi surrogate, mencari seorang wanita yang bersedia mengandung anak mereka. Jujur saja sekarang ia tidak benar-benar yakin, apa dia mampu menjaganya? Apa ia sungguh-sungguh mau? Apa anak itu nantinya hanya akan menjadi penggantinya atau pengganti Zoro?

Dia belum siap.

Belum siap memiliki anak atau kehilangan Zoro.

"Ini warnanya agak biru," Zoro menoleh. Sanji yakin wajahnya kelihatan aneh sekarang, karena pertanyaan yang keluar berikutnya adalah, "Kenapa?"

Sanji menggeleng. "Tentang anak..."

Zoro mulai duduk di hadapannya.

"Gue udah mikir ulang, alasan gue egois... Dia cuma ada buat jadi pengganti lo aja," ia berkata, matanya memandang jauh ke arah lautan. "Memori ya...? Semua yang gue laluin sama lo selalu jadi memori," ia melempar satu kaca pantai bewarna toska sekuat mungkin hingga menyentuh bibir pantai.

Si hijau mengangguk, mengerti.

"Mau lo mati pun semuanya nggak bakal hilang, kacamata yang gue pake, buku yang lo baca, kamar, sampai pantai ini juga tetap ada," akhirnya ia tersenyum. "Kita cuma harus ngehabisin waktu berdua selama mungkin, bikin memori sebanyak mungkin,"

Dua sudut bibir pria itu kemudian terangkat, menunjukkan senyum tipis. Pemilik surai hijau berdiri, membersihkan celananya, dan mengulurkan tangan pada Sanji. Ia menyambut tangan itu kemudian membersihkan telapaknya dari butiran pasir.

Zoro mendekatkan wajahnya pada Sanji, mencium bibirnya sebelum menarik wajah kemudian menempelkan dahi. Jari mereka bertaut, menikmati semilir angin beraroma segar yang dibawa gulungan ombak.

~•-•~

Oke cerita lucu... Err.. Aku ga sengaja ngejatuhin hapeku sampe lcd-nya rusak dannn... Cerita sama ide yg aku simpen di catatan hilang deh :'D

Pas laporan hari itu juga kanjeng ratu mamih langsung ke wtc wkwk. Nah sekarang aku blm terbiasa sama keyboard yg baru, jadi lama deh bikinnya, blm lagi fase depresi karena semua ide cerita lenyap ^^

Paper MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang