Two to the, Three: Cuma Mas yang Jiya punya!

210 41 2
                                    

Meski baru tujuh tahun lewat dua bulan, Jiya udah pinter bangun pagi. Lebih jago dibanding Mbih yang hobinya kesiangan sampe kadang subuhan aja harus berlomba sama matahari. Bahkan sesekali Jiya bangun duluan dibanding alarm Masnya.

Kayak pagi ini, Jiya kebangun karena kebelet pipis. Dia buru-buru kekamar mandi dan menyelesaikan urusannya.

"Masih ngantuk, tapi bentar lagi adzan," gumamnya. "Tidur sama Mas aja ah."

Kamar dirumah itu ada dua. Yang didepan buat Masnya, dan seringkali penghuninya ngungsi keruang tengah karena kamarnya panas. Gak ada kipas angin soalnya.

Tok tok

Cklek

"Eh Mas udah bangun ya?"

Sangyeon yang hampir aja ketiduran itu mengerjapkan matanya lalu mengulas senyum saat Jiya muncul dari balik pintu. Lucu ngeliat sosok itu datang dengan rambutnya yang masih agak berantakan.

"Adek ga mau tidur lagi?" tanya Sangyeon.

Jiya gak langsung ngejawab, fokusnya teralihkan sama layar laptop Masnya yang masih nyala. Juga telapak tangan sang Mas yang ngedekap tubuhnya itu terasa anget.

"Mas engga tidur ya?" Jiya berujar pelan sambil meluk lengan Sangyeon. "Mas demam, ini tangannya panas."

"Engga, adek. Mas gak apa-apa."

"Tapi Mas panas," cicit bocah itu memelan. Rentetan air matanya hampir tumpah kalau Sangyeon gak buru-buru meluk dia lagi. "Mas tidur aja. Nanti Jiya bangunin Mbih-"

"Gausah. Jangan ya? Kakak Mbih kecapekan habis ikut lomba kemaren, biarin tidur dulu sampe setengah enam," ujar Sangyeon. "Adek tidur juga gih, nanti Mas bangunin buat sholat."

Jiya ngangguk. "Tapi Mas juga tidur, Jiya disini aja."

Sangyeon awalnya mau nolak. Tapi kemudian mengiyakan karena ngerasa kepalanya semakin pening. Sebelum semakin parah, dia memilih buat ikut usulan Jiya yang kini berbaring nyaman disebelahnya.

"Jangan lupa baca doa, dek."

Telat, Jiya udah duluan menyelami mimpi ketimbang Sangyeon.

***

Mbih mengerjap, lalu tersentak saat ngeliat kasur bagian sampingnya kosong melompong. Disibaknya selimut biru muda itu dan mendadak panik sewaktu gak ngeliat apapun. Bahkan dia ngintip ke bawah kasur juga gak ada tanda-tanda adeknya itu disana.

Jiya hilang!

Dengan segera Mbih turun dari kasur, ngebuka pintu kamar dengan buru-buru dan tergesa menuju kamar Masnya.

"Mas! Mas! Jiya hila- eh udah bangun duluan." Mbih menghela napas lega saat diliatnya Jiya nyengir sambil make mukena kremnya diatas sajadah. "Kita sholat bareng, Mbih ambil wudhu dulu!"

Setelah selesai berwudhu, Mbih ngambil mukena warna cokelat kacangnya yang digantung dibelakang pintu. Lalu make dengan tergesa juga sementara Jiya cuma diam aja dan nunggu dengan tenang.

"Assalammualaikum warohmatullah. Assalammualaikum."

Mbih baru aja mulai ngebaca tahmid setelah selesai sholat dan sesaat sebelum suara Jiya mengalihkan perhatiannya.

"Jiya? Kamu kenap-"

"Mas sakit, Mbih! Hiks hiks!"

Bocah yang lebih tua setahun dari Jiya itu natap adeknya bingung. Dia tentu aja langsung meluk Jiya yang udah terisak-isak diposisinya, tapi pikirannya masih belum selesai berproses.

Our Beloved Sisters (Will be) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang