04. Memilih

51 4 0
                                    

Cerita ini hanyalah fiktif belaka, bila ada kesamaan nama tokoh, tempat, peristiwa dan alur cerita itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.

***

Selama ku lihat engkau senang, yang lainnya ku simpan sendiri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Selama ku lihat engkau senang, yang lainnya ku simpan sendiri.

───────

Jelita baru pulang jam 11 malam. Pratama benar-benar menepati perkataannya berdiam diri di pos menunggu Jelita. Meskipun tubuhnya hanya terbalut kemeja hitam dan mata sayu mengantuk, beliau tetap menampilkan senyum terbaik pada putri bungsunya.

Jelita tersenyum sendu, membawa segenap rasa bersalahnya melangkah mendekat Pratama. Matanya berkaca-kaca begitu melihat tas kerja Pratama dan jas tergeletak di atas meja. Jadi Pratama belum masuk ke rumah dari tadi?

"Ayah belum masuk rumah?" tanya Jelita.

Tidak ada sorot marah dari setiap inci wajah tampan itu, padahal Jelita mencarinya, benar-benar berharap hadir. Alih-alih menampar, Pratama malah membelai surai kecoklatan Jelita. "Ayah mau pulang bareng Jelita."

"Maaf…" Jelita menubruk tubuh kekar pria tua itu. Melingkarkan tangan kecilnya pada pinggang Pratama, menyandarkan kepalanya pada dada tersemat dasi longgar dengan nyaman.

"Ayah seneng Jelita pulang. Dari tadi Ayah khawatir, takut kamu gak mau pulang gara-gara kemarin." Pratama mengusap punggung kecil Jelita dengan sayang.

"Maaf Jelita selalu bikin khawatir." Jelita melerai pelukan.

"Kita masuk sekarang, udaranya semakin dingin." Sebelum itu, Jelita masuk ke dalam pos dan mengucapkan terima kasih pada Mang Toto lalu mengambil peralatan Pratama.

"Ayo pulang, Yah!" Jelita menarik lengan Pratama sebab ayahnya itu terus memandangi wajahnya, membuat Jelita salah tingkah.

Pratama menatap serius punggung kecil putrinya. Entah sudah berapa banyak beban yang di pikul sampai-sampai punggung itu terlihat ringkih, seberapa sakit hatinya saat mengetahui sang tambatan hati menorehkan luka. Bahkan, Pratama sang ayah tidak berani melakukan hal menyakitkan pada Jelita. Kepala Pratama menunduk memohon maaf kepada Tuhan untuk hari-hari menyedihkan Jelita tanpa hadirnya.

Sebagai seorang ayah seharusnya Pratama selalu ada untuk putra putrinya, tapi pada kenyataan ia selalu sibuk bekerja, kerja dan kerja. Rasa takut tidak bisa mencukupi kebutuhan keluarga selalu saja menghantui pikiran, membuatnya tanpa sadar mengabaikan keluarga tercinta. Walaupun tidak memiliki keberanian menyakiti mereka, tetap saja ia selalu mengecewakan.

Sampai pada bagian ruang keluarga Pratama menahan langkahnya membuat Jelita terhenti lalu menengok ke belakang. Belum sempat membuka suara, tubuh Jelita terhuyung ke depan, menubruk tubuh Pratama. Jelita memejamkan mata merasakan dekapan erat dari Pratama. Ubun-ubun kepala menerima beban begitu Pratama menumpukan kepala, memberi ciuman bertubi-tubi pada pucuk kepala Jelita disana.

Megantara : Our DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang