Annyeong, Aegideul! Mommy dateng lagi.
Seperti biasa. Komenin yang banyak, yess.
Happy reaading~
Sory for typo.
***
Bocah laki-laki duduk di sebuah bangku taman sambil menatap langit. Kunang-kunang berkelompok di dedaunan, membentuk cahaya yang menakjubkan. Bintang di atas sana berpindah, membentuk kilat cahaya seolah jatuh ke bumi. Satu-satu harapan melangit, menjadi pelita di antara temaram yang sunyi.
***
Lintang membuka mata saat mencium aroma yang begitu menggiurkan. Di rumah kontrakan sederhana yang dia tinggali, tercium aroma makanan selain mi instan dan bakso adalah sesuatu yang langka langka. Namun, pagi ini sepertinya sesuatu yang langka itu sedang terjadi.
Gadis itu menegakkan kepala dengan leher yang terasa pegal. Seperti biasa, Lintang tidur sambil duduk dan meletakkan kepala di atas meja saat menulis. Kebiasaan buruk yang juga sudah merupakan hal yang nyaris setiap hari menjadi rutinitasnya.
"Masak apa, Ren?" tanya Lintang sambil mengucek mata ketika melihat Serena sedang berdiri di depan meja kompor.
Lintang sangat yakin, Tuhan pasti benar-benar sedang berbahagia saat menciptakan Serena. Selain memiliki kesempurnaan fisik, dia juga bisa melakukan banyak hal. Hanya satu yang sepertinya tidak bisa dilakukan gadis itu. Menjadi penyabar.
"Tadi ada tukang sayur lewat, gue beli udang sama kentang."
Lintang hendak mengambil udang yang baru saja dipindahkan dari teflon ke piring, tapi dengan kasarnya Serena malah memukul tangan gadis itu.
"Jorok!" bentaknya seperti ibu panti yang dulu juga selalu mengomeli Lintang yang tingkat kejorokannya di atas rata-rata anak lain. "Seenggaknya sikat gigi dulu."
"Aw! Kaki gue sakit banget. Kayaknya gue nggak bisa ke kamar mandi, deh," ucap Lintang sembari berpura-pura memegangi kaki kanannya yang terkilir.
"Ya, ampun. Sakit, ya?"
Serena mendekat, Lintang pikir gadis itu hendak memastikan keadaannya karena khawatir. Ternyata salah, Serena justru menendang sebelah kakinya yang tidak sakit.
"Biar adil, kasian yang kiri nggak bisa dipake buat alesan."
"Mak Lampir!"
"Nggak usah teriak-teriak, napas lo bau jigong. Pergi ke kamar mandi sekarang atau gue bikin lo kehilangan kaki sekalian."
"Jahat banget, si," sahut Lintang cemberut.
Dia yakin, lidah Serena pasti lebih beracun dari ular paling beracun sekalipun. Dia tidak pernah main-main saat mengancam Lintang, jadi mau tidak mau gadis itu pergi ke kamar mandi, walau sebenarnya dia sangat yakin, air pagi ini pasti sangat dingin.
"Eh, pake ini buat mandi, biar badan lo nggak bau kayak tikus." Serena mengambil botol sabun berwarna hijau, gambar perempuan yang sedang menari tarian tradisional bali. "Wanginya enak. Gue biasanya pakek itu kalo di rumah."
Lintang menerimanya, masih dengan wajah cemberut dan mencuri-curi pandang ke arah piring yang terisi udang goreng. Dia berniat mencuri satu saja sebelum pergi ke kamar mandi, tapi ternyata mata awas Serena menyadari hal itu dan langsung melotot, membuat nyalinya lenyap seketika.
"Dasar, Mak Lampir! Emang apa bedanya makan sebelum mandi sama udah mandi? Sama saja, 'kan? Udang ya udang aja. Nggak bakal berubah jadi daging sapi cuma gara-gara gue mandi," gerutu Lintang panjang pendek sambil pergi ke kamar mandi.
KAMU SEDANG MEMBACA
REPARASI TAKDIR | ROMANCE FANTASY
Teen FictionLintang, dukun MILENIAL yang bisa menulis takdir orang lain, namun tidak bisa mengubah takdirnya sendiri. Sampai suatu hari, dia harus menulis takdir seorang pemuda yang terikat dengan takdirnya, dan membuat gadis itu terlibat dalam misi penyelidika...