DON'T DIE!—copyright, 15 Agustus 2022—
.
.
.
KABUR.Adalah apa yang saat ini terlihat di matanya.
Setiap hal yang ada di sekitarnya terasa berbayang dan tak jelas ketika ia mencoba untuk melihat sesuatu yang tertangkap oleh inderanya.
Namun, sebesar apa pun usaha yang ia kerahkan, tetap saja, semua yang ia lihat hanyalah bayangan kabur.
Tak ingin memaksakan diri karena tak bisa melihat, ia pun memutuskan untuk diam. Memejamkan mata sembari merilekskan ketegangan yang sempat menyerang. Dalam hati berharap bahwa keadaan ini tak akan berlangsung selamanya meski keraguan yang melanda hati segera menggelayuti kala mengingat bagaimana kedua kakinya yang tak bisa digerakkan akibat kelumpuhan karena cedera serius pada saraf tulang belakang.
Ia lumpuh.
Benar.
Lumpuh.
Begitulah yang disebutkan dokter ketika ia secara tak sengaja mendengar pembicaraannya dengan keluarganya.
Ah, keluarga?
Benar.
Keluarga.
Ia memiliki keluarga.
Benar-benar keluarga.
Di mana, hanya ia satu-satunya anak yang mereka miliki.
Tak ada saudara.
Entah itu adik atau kakak.
Hanya dirinya saja. Seorang.
Namun, entah kenapa... ketika dirinya mengingat soal keluarga, hatinya seketika diselimuti rasa sakit yang mencengkeram. Ada kepahitan yang menetes pada sebuah luka tak kasat mata sehingga perih yang begitu pedih menikam kuat kesadarannya yang dipenuhi kehampaan.
Tak ada sedikit pun kehangatan yang ia rasakan ketika seorang wanita yang menyebut dirinya Ibu dan pria yang mengatakan bahwa ia adalah Ayah merengkuhnya dalam dekapan penuh sayang. Tak ada keraguan, ia benar-benar merasakan kesepian yang menjulang saat keduanya mencurahkan cinta dan kasihnya. Tak ada setetes pun rasa di hatinya yang menyambut setiap curahan lembut Ibu atau Ayah yang dengan tulus merawatnya yang sakit-sakitan.
Ya, sakit-sakitan.
Bukankah seorang yang lumpuh ditambah dengan sakit mental serta kepribadian akibat trauma juga termasuk ke dalam kategori sakit-sakitan?
Ia adalah beban.
Seseorang yang sakit-sakitan adalah beban.
Ia tidak bisa berjalan. Tidak bisa melihat dan setiap beberapa waktu sekali selalu diserang kantuk lalu tertidur secara tiba-tiba yang membuatnya mengabaikan orang lain ketika bahkan dirinya sendiri pun ingin berbincang.
Ia benar-benar beban, bukan?
Lalu... kenapa orang tuanya tidak membuangnya?
Kenapa mereka malah merawatnya? Mengulurkan tangan dan saling menggenggam kala dirinya mengalami kejang juga sesak napas saat kecemasan menyerang.
Ia tidak berguna dan hanya menyusahkan saja. Lalu, kenapa mereka masih ingin merawatnya? Bukankah seharusnya ia dibuang? Sama seperti—tunggu! Apa yang baru saja ia pikirkan ini? Apakah ia sedang mengingat sesuatu? Tapi... apa? Dan... apa-apaan dengan rasa sakit dan nyeri di dadanya yang tak tertahankan ini? Kenapa terasa begitu menyesakkan?!
KAMU SEDANG MEMBACA
DON'T DIE!
FanfictionDua jiwa putus asa dari dunia berbeda bertemu dan merajut cinta di tengah Skenario yang menghancurkan dunia. Di mana Cale Henituse yang selalu lelah dan mengeluh ingin 'istirahat' serta Yoo Joonghyuk yang selalu berusaha untuk membuat Cale tetap 'hi...