CHAPTER 3

4 3 1
                                    

"Kita gak akan tau, dia ingat tentang kau sebagai orang bodoh yang mudah ditipu, atau sebaliknya. Setiap orang akan menyesali beberapa hal dihidupnya"

_Quennisa Chaca & David Pratama_
__________________________

"Olimpiade?"

Aku mengangguk antusias, Chaca diam. Memikirkan usulan yang kuberikan beberapa detik lalu. Entahlah, aku sebagai teman sebangkunya pun bingung. Sebenarnya, dia pintar dalam bidang apa. Matematika? dia lumayan. Geografi? sama sepertiku pintarnya, hanya lebih unggul diriku. Dan pelajaran lain yang di ujikan untuk olimpiade pun sebenarnya bisa ia ikuti.

"Kamu ikut?" Tanyanya. Aku mengangguk.

"Geografi" jawabku

"Matematika aja kali ya?" Tanyanya padaku. Aku mengangkat bahuku, mana saya tahu.

Chaca menyeringai lebar, sepertinya ada ide aneh yang terlintas di benaknya. Ia mengambil ponselnya dilaci, memainkan sejenak dan menepuk pucuk kepalaku seperti majikan pada kucingnya.

"Bentar, kutinggal" ucapnya terdengar setelah bayangannya hilang oleh pintu.

Aku menggeleng, sepertinya dia memang mencari David. Ya, karena hanya ada satu siswa yang berminat mengikuti olimpiade matematika. Aku kembali melanjutkan mengerjakan soal-soal geografi yang mungkin akan keluar untuk seleksi anggota olimpiade oleh pak Rudy siang nanti.

"Gak ke kantin?" Tanya Amar yang tiba-tiba sudah duduk dimeja ku. Aku menggeleng, fokus pada soal. Amar mengambil buku yang belum tersentuh olehku.
"Ngapain belajar soal-soal ini lagi?" Dia membaca satu persatu soal yang ada. "Kan lu udah masuk eliminasi geografi, Ra" ucapnya heran. Aku mengangkat kepala, kenapa sepertinya baru ingat jika kemarin kami membahas hal ini? Aku menepuk dahiku. Dasar pelupa.

"Gue mau ke pak Rudy kali gitu" ucapku tersenyum dan mengambil tangannya dan high five dengan tanganku. Seolah beku, Amar bengong dan hanya mampu mengerjapkan matanya bingung.

"Makasih, anak ganteng"

Aku berlari keluar kelas, mencari keberadaan pak Rudy untuk menanyakan kepastian tentang eliminasi. Dari semalam, aku memutuskan untuk perlahan menghapus semua jejak rasa yang ada, dan merelakan apa yang harus ku lepaskan. Jika dilihat, apa yang ku deskripsikan olehku barusan mungkin mudah dikatakan, tapi tidak mudah untuk dilakukan.

Kenyataan memang berbanding jauh dengan sebuah ekspetasi atau bahkan rencana. Bukankah seharusnya hidup seperti itu? Akan ada saat dimana kamu dihadapkan oleh dua pilihan antara mempertahankan atau melepaskan. Terluka? Harus dan sudah tentu akan terjadi. Jika manusia tak pernah merasa dirinya terluka, maka ia tak akan dewasa. Itu persepsi ku.

Pada nyatanya, kisah yang kukira telah menemukan tokoh utamanya ternyata salah. Ini berakhir begitu mudah baginya, dan bagiku, singkat, padat dan berat.

"Pak Rudy?" Panggilku pelan. Aku menemukan beliau tengah berbincang dengan seseorang yang tak pernah kulihat sekalipun.

"Ada apa Aira?" Tanpa sengaja, aku melihat ekspresi wajahnya berubah. Aku pun berusaha menutupi apa yang kulihat.

"Aira mau menanyakan olimpiade geografi pak" tanyaku sopan.

"Kalau begitu, saya duluan pak" ucap pria disebelah pak Rudy.

"Sebentar dulu mas, saya ingin perkenalkan salah satu murid saya" jedanya. "Ini Aira siswa kelas sebelas yang saya ceritakan tadi. Aira perkenalkan ini mas Faith"

Aku terkejut, memperkenalkan? Memang dia siapa? Aku? Pak Rudy menceritakan tentang aku? Pada dia? Ada apa sebenarnya? Dengan wajah bingungku aku mengulurkan tanganku, dan disambut hangat olehnya.

"Aira"

"Faith"

Pak Rudy tersenyum, dan menepuk bahu pria bernama Faith. Sepertinya mereka sudah akrab. Aku masih ada diantara mereka. Menunggu jawaban atas pertanyaan ku pada pak Rudy.

"Oke, berarti kita sepakat?" Pria itu mengangguk dan menjabat tangan pak Rudy.

"Finally, Aira. Pak Faith yang akan membimbing kamu tentang olimpiade ini"

"Ye?"
Mimpi apa semalam?

***

"

Dan akhirnya, pak Fajar mengiyakan. Jadi, yang lolos eliminasi itu Athira, David, dan si cantik, Quennisa Chaca" ungkapnya menutup cerita panjangnya dengan menambahkan kata-kata narsistiknya.

Aku mengangguk dengan wajah yang dibuat-buat percaya. Chaca mencubit lengan kanan ku dengan kesal. Tentu saja teriak keras, bagaimana tidak? Bayangkan cubitan kecil itu masih menempel kuat meskipun aku berusaha melepasnya.

"Sakittt, ampunnn Chaaa. Gue percayaaa kok" ringisku dengan mata memerah kesakitan. Chaca sontak melepaskan cubitannya.
"He, beneran? Jangan nangis, Ra" paniknya memeriksa lenganku yang memerah begitu hebat. Dan meniupnya perlahan. Aku meringis kesakitan, aku bukan menangis, tapi menahan sakit saja mataku berair.

"Kenapa gak bilang kalo beneran? Kan gue jadinya ngira lu bercanda. Sakit banget yaa, maafin Chaca yaa, gue beneran gak tau kalo bakal kaya gini" ucapnya bersalah.

"Ha'a gak apa-apa Cha, lagian muka gue aja yang gak menyakinkan" ucapku menenangkannya. Tapi tetap saja, Chaca masih riweuh dengan sendirinya.

"Besok ikut gue yok" ajak Amar yang sudah datang bersama David.

"Kemana?" Tanyaku, "Nyari sekolah khusus penderita ketidakpekaan diri" celetuk David, menjawab pertanyaan ku. Dengan kecepatan detik, kami tertawa.
Chaca melihat kamu satu persatu, mencoba paham apa yang kami tertawakan.

"Maksud kalian apaan si?" Tanyanya dengan wajah bodohnya.

"Mau sekolahin lu, kan lu yang kagak bisa peka" jawab Amar yang disambut pukulan keras dari Chaca. Berantem lagi? Memang sudah menjadi suatu kewajiban yang entah sejak kapan ada diantara kami berempat.

"Kekantin yok, laper gue"

David merangkul bahu Chaca dan Amar. Mengajakku yang berniat belajar lagi. Aku tanpa pikir panjang mengiyakan dan bergabung mereka. Meninggalkan kelas dan berjalan bersama menuju kantin.

"Mesen apa lagi Ra?" Amar memperhatikan aku yang kebingungan. David dan Chaca sudah duduk manis, bersiap menyantap makanan. "Air mineral satu sama es batu dipisah ya mbak" pesanku pada mbak-mbak pelayan.

"Ya udah, gue kesana duluan" aku mengangguk.

"Ya ampun, sampe bengkak gini?" Seru David dan Chaca bersamaan. Amar yang membantuku mengompres tanganku dengan es batu yang dibalut tisu pun menggelengkan kepalanya. Mereka heran, begitu sensitifnya kulitku. Hingga bekasnya sudah membiru dan bengkak perlahan.

"Pelan-pelan, Amar" titah Chaca yang meringis. Aku menaikan satu alis, kenapa dia yang seakan kesakitan?

"Eh, Aira. Kak Ray pacaran sama kak Tania?" Pertanyaan yang mendadak menjadi suasana kami hening, David yang melontarkan pertanyaan pun merasa bersalah. Mungkin dia mendengar ghosip yang lewat ditelinganya tadi.

"Biarin, itu urusan dia. Gue gak ada hak buat ikut campur"

"Lupain aja, Ra. Kenapa dari dulu dipertahankan si? Tinggalin aja, dan pura-pura aja gak ada yang terjadi apapun selama ini sama kak Ray. Diakhir pun, kita gak akan tau, dia bakal inget lu sebagai orang yang bodoh yang mudah berkali-kali ditipu atau mungkin sebaliknya" bijaknya membuat kami terperangah.

"Jiakkhh, sejak kapan lu bijaksana?" Ledek Amar.

"Dia demam?" Tanyaku, David membantuku mengecek dahinya.

"Demam tinggi" ucapnya membuat kami tertawa lagi. Chaca mengembangkan pipinya, kesal.

"Ada benernya sih, setiap orang juga punya beberapa hal yang disesali. Dan gak akan ada yang bisa menghindari itu"

Kami bertiga mengangguk. Setuju.

***

Euphoria Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang