"Terkadang, meski ada sebuah rasa sayang, belum tentu ia bisa
percaya sedikitpun"_AmarPratama_
_______________________"Ray duduk mana?" Tanya Tania yang berjalan bersejarah dengan Ray. Ia sengaja membuat Aira yang berada di belakangnya merasa kecewa. Ray yang tidak menyadari hal itu, menunjuk kursi paling pojok.
Aira diam. Ia akan tetap diam, dan tidak berniat untuk memperdebatkan hal ini pada Ray. Dirinya hanya menenangkan pikirannya, dengan menganggap jika dirinya lah yang tidak punya hak untuk marah atas apa yang terjadi hari ini. Ia bukan lagi sosok yang pantas untuk dipedulikan oleh seorang Ray.
"Airaaaaaa" seru Chaca berlari dan memeluk Aira dengan erat. Dibalik tubuhnya, ada David dan Athira. Aira menepuk pundak Chaca, memaksa melepas pelukan, ia hampir kehabisan nafas masalahnya.
Ray menoleh, begitupun dengan Tania. Dan Aira? Ia seakan tidak menyadari jika diperhatikan oleh Ray.
"Hehehe, tau gak sih Ra? Chaca gak lolos" ucapnya dengan wajah yang tidak wajar bagi manusia yang sudah dikalahkan. Athira melongo, dan David yang sudah hafal dengan tingkah Chaca hanya diam dengan wajah tertekannya.
"Kok seneng? Lu sehat kan Cha? Geser kemana otak lu?" Tanya Aira heran. Entah dari mana ia menemukan teman dengan kepribadian seperti Chaca.
"Tapi kan David menang Ra" bisiknya pelan, hampir tidak terdengar di telinga. Aira menggelengkan kepala, dan menggandeng Chaca. Membawanya untuk duduk dan segera ikut makan bersama, ia hanya berfikir Chaca akan sedikit waras jika disuguhkan makanan.
Naas. Satu kata yang Aira rasakan saat ini. Ia bersebelahan dengan tempat duduk Tania. Masa bodoh, kata mudah yang sulit dilakukan baginya. Chaca yang bisa dibilang memiliki kemampuan peka yang dibawah standar pun sadar akan situasi dihadapannya.
"Ra, gak pindah?" Tanya Chaca dan David bersamaan. Aira menggeleng dengan wajahnya yang seakan bertanya.
"Disini aja, daripada ikut mejanya para guru gak enak" ucap Aira yang memandang makanan yang beraroma menggiurkan. Chaca dan David berhenti membahas, berharap jika Aira tidak lagi berbohong, atau bahkan menyakiti perasaannya sendiri.
Akhirnya, Chaca mencairkan suasana dengan bercerita tentang novel yang dibacanya tadi malam, sesempat itu ternyata Chaca. Aira ataupun David mendengarkan dengan baik, cerita menarik tentang mahasiswi yang jatuh hati pada seorang dosennya yang ternyata adalah orang yang juga sempat hadir di masa lalunya. Tertawa dan terheran-heran, itulah ekspresi David dan Aira yang penasaran dengan ending cerita tersebut.
"Ra, mau kemana?" Tanya Tania pada Aira yang bangkit dari duduknya.
"Ambil minum kak" jawab Aira tanpa eye contact dengan Tania. Muak.
"Bareng deh" ucapnya yang tak disambut dengan ekspresi apapun oleh Aira.
Aira menunggu pelayan menyiapkan minuman yang ia pesan beberapa detik lalu, Tania pun memesan minuman yang sama dengan Aira. Ia sengaja, entah apa yang kali ini ia rencanakan.
Aira diam, sibuk dengan ponselnya sendiri. Tania yang berbicara dengannya pun diabaikan, hanya sesekali mengangguk dan menggelengkan kepalanya. Tania tersenyum sinis, dan melakukan sesuatu tanpa Aira sadari ketika ia mengambil minuman yang dipesannya.
***
Gaduh. Beberapa orang berbisik tentang Aira, tentang Tania yang terus menerus menggaruk wajah dan tubuhnya yang memiliki bercak-bercak merah, kondisinya tidak separah sebelumnya yang sempat sesak napas. Ray dan beberapa orang membantu mengobatinya, mengoleskan beberapa salep pada area yang memerah dan sedikit membengkak."Sakit?" Tanya Ray yang dijawab dengan Anggukan lemah Tania.
"Gue cari Aira dulu" bangkit Ray dengan wajah khawatirnya. Ia ingin meminta maaf padanya, ia tersadar, apa yang ia ucapkan beberapa saat lalu tidak selayaknya keluar disaat situasi seperti itu. Langkahnya terhenti, pergelangan tangan Ray ditahan oleh Tania.
"Sini aja, jangan kemana-mana"
"Sebentar, gue balik lagi kok" ucapnya tersenyum prihatin melihat wajah Tania yang sudah memerah hebat.
Aira duduk di bawah pohon sendirian, tidak ada yang tau. Gelap. Disisi lain, Chaca, David, Athira, dan pak Faith berpencar mencari Aira yang menghilang setelah ditampar oleh bisikan orang-orang disekitar. Faith yang baru saja datang ditempat dibuat bingung oleh situasi yang tidak ia pahami.
Aira yang dituduh sengaja menukar minuman Tania dengan minumannya. Bahkan, bentakan dari Ray tadi cukup membuat Aira tak mampu lagi menahan sesak di dadanya.
"Lu mau bunuh Tania dengan cara ini? Aira!!! Lu sadar gak si? Lu adalah orang yang psikopat yang gue kenal. Gue tanya, dia punya salah apa sama lu? Dia rebut gue dari lu? Lu siapa gue, sampe lu tega ngelakuin hal setega itu?!?!"
"Aira gak tau apa-apa kak!!"
"Lu gak tau? Atau pura-pura gak tau buat nyelamatin diri?"
"Bukan Aira yang yang ngelakuin hal itu!!" Teriaknya
"Siapa kalo bukan lu? Gue? Iya? Gue?" Bentak Ray untuk kesekian kalinya.
"Kakak lebih percaya kak Tania?"
"Kalo sampe Tania kenapa-kenapa, gue gak akan maafin kesalahan lu kali ini"
Aira tersenyum dibalik air matanya yang tumpah. Ia menangis tanpa suara, seakan kejadian tadi terus berulang-ulang seperti kaset rusak. Bahkan bentakan keras Ray masih terdengar begitu jelas di telinganya.
Sakit? Kecewa? Mungkin memang seharusnya ia yang menyerah untuk tetap bertahan disini. Ia memeluk lututnya, menangis dengan nafas yang tersengal-sengal. Tidak, ia harus bertahan. Dan membuktikan jika dirinya sama sekali tidak sejahat yang mereka kira.
Bregh...
Jas abu-abu tersampir di bahunya, perlahan ia mengangkat wajah dengan mata sembabnya. Faith menghela nafas, akhirnya ketemu, batinnya. Aira kembali menundukkan wajahnya. Faith tanpa ragu, menyodorkan tangannya, menutupi wajah Aira yang menangis. Membiarkan Aira puas mengeluarkan semua sesak di dadanya."Jangan ditahan, menangislah. Anggap saya gak ada atau anggap saya pohon " ucapnya menghadap kearah lain. Aira diam, dan tiba-tiba tertawa kecil. Ia menangis juga tertawa? Faith memutar kepala, melihat wajah memerah nan sembab Aira. Ia cantik, tapi bukan keadaan seperti ini yang tepat.
Dan tanpa disadari, dari kejauhan ada sepasang mata yang memperhatikan dengan mata sayunya. Terlambat, ya dia terlambat menemukan Aira.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Euphoria
Teen Fiction"Kenapa harus Aira?" "Karena kamu yang mengunci hati saya" jawaban itu lagi yang keluar. Meski sudah berkali-kali ia mengatakan itu padaku tiga tahun lalu, rasanya belum pernah berubah. Sama, dan akan tetap sama. "Ra?" "Hemm?" Jawabku pelan, menat...