CHAPTER 6

7 3 1
                                    


Kepercayaan yang dihancurkan
_____________________________

Hufftt...
Lelah sekali hari ini. Ratusan soal sudah tuntas ku kerjakan bersama beberapa siswa IPS lainnya. Selama beberapa hari ini, aku menggunakan alasan sibuk jika kak Ray berkali-kali ingin berbicara sesuatu. Aku sudah tidak memerlukan penjelasan apapun darinya. Cukup terakhir kali dia menyakiti ku dengan kata-kata tajamnya.

"Semua sudah selesai?" Tanya kak Rudy.

"Sudah pak" jawab kami serempak. Pak Faith memasuki kelas dengan map plastik yang berisi lembaran materi. Itu sekedar membaca ulang materi untuk persiapan besok. Ya, besok adalah hari olimpiade dilaksanakan.

"Pak, berangkat bareng pak Faith kan?" Tanya Elsya dengan genitnya.

"Gak ada yang minat ikut pak Rudy?"

"Gak mau jadi istri kedua, Pak" jawab Hida mengundang tawa.

"Besok kumpul sama siswa yang ikut olimpiade lainnya, kita naik bus sekolah" titah pak Faith tegas.

"Oke, perhatian. Sekarang waktunya kalian istirahat dan pak Faith sudah meminta izin ke kelas masing-masing untuk kembali ke asrama lebih awal" ucap pak Rudy yang disambut kelegaan kami. Pasalnya dari jam 7 hingga 10 pagi, bukannya disuguhi makanan yang menarik selera justru kamu disuguhi ratusan soal untuk dikerjakan.

Aku membereskan beberapa barang dan berniat istirahat di asrama. Semalaman aku pun mengerjakan soal untuk menghindari panggilan dari kak Ray. Hingga beberapa kali aku mematikan daya ponselku. Dan beberapa pesan yang masuk pun sengaja kumasukan arsip, berniat tak akan membacanya.
"Aira?" Panggil pak Faith.

"Ya, pak?"

"Tunggu saya sebentar" pinta beliau yang masih sibuk menata berkas. Aku duduk kembali dikursi depan. Seisi ruangan kelas telah kosong, tersisa aku dan beliau. Sepertinya beliau juga bergadang semalaman, terlihat ada lingkaran hitam di bawah matanya.

"Kamu belum makan?" Aku mengangguk.

"Mau makan bareng saya?" Tanyanya padaku. "Boleh ya emangnya Pak?" Polosku menanyakan hal yang bodoh.

"Gak dong. Gimana kalo kamu dapet juara besok, saya ajak makan?" Usulnya menawarkan hal yang tidak semua siswa dapatkan. Aku mengangguk antusias, sangat setuju.

Padahal beberapa saat lalu, beliau memasang wajah seriusnya. Dan bisa dibilang jarang memperlihatkan senyuman yang membuatku bisa mengidap diabetes. Tapi, beliau juga terlihat tampan dalam keadaan apapun.

"Besok sebelum berangkat temui saya dulu ya"

"Kita satu bus kan pak?"

"Ya" jawabnya pendek. Kami melangkahkan kaki dikoridor kelas yang sepi. Semua tengah sibuk dengan kegiatan belajar mengajar di kelas. Sengaja, aku menyelaraskan langkah dengan beliau yang memang sudah bawaan. Melangkah lebar dengan kaki panjangnya.

"Tinggi kamu berapa?"

"Firasat Aira mulai gak enak kalo ada orang nanya tinggi badan"

"Kenapa?"

"Seakan mengejek Aira yang tingginya tak masuk kategori cewek ideal"

"Cewek pendek lebih enak digendong dan juga-" jeda beliau, ketika melihatku tersenyum senang.

"Dan juga?" Tanyaku penasaran.

"Dibantinglah" jawab beliau tak seperti ekspetasi yang terlintas diotakku.

Aku menggelengkan kepala dan mempercepat menghilangkan diri dari hadapan beliau. Wajahku panas. Alergi? Ya mungkin aku alergi debu, batinku.

***

Euphoria Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang