Chapter 4

3 3 2
                                    


Kepercayaan yang dihancurkan

________________________


Beberapa hari lalu....

"Kak Tania?" Gumam Aira memastikan. Tania Putri Nugraha, siswi cantik dengan bentuk wajah bulat yang menggemaskan itu menoleh saat mendengar namanya disebut. Tersenyum dengan begitu manisnya. Wajahnya yang memang cantik tanpa polesan itu pun membuat Aira sadar diri. Aira tidak secantik dan sepintar Tania, itu faktanya. Aira dan Tania dalam satu ruang belajar asrama yang bersekat. Ruangan ini biasanya digunakan siswa lain yang tidak nyaman belajar dikamarnya masing-masing.

"Belajar?" Bisik Tania pada Aira.

Aira menggeleng. "Balikin buku" sahutnya pendek, lalu menunjukkan beberapa buku dengan ketebalan masing-masing 5cm. Aira tidak tahu jika meja yang tersisa hanya disebelah perempuan cantik itu. Mau tidak mau, dia menaruh buku catatannya, lembaran soal olimpiade, tas serta minuman dingin dimeja, dan meninggalkannya sejenak untuk mengembalikan beberapa buku pada tempatnya semula.

Sekembalinya dari rak buku terakhir, Aira mendapati Tania berdiri membeku dengan sebuah foto ditangannya. Itu foto keluarga milik Aira. Matanya beralih pada buku catatan dan lembaran soal yang sudah basah sebagian. Ia kesal, entah kenapa ia sangat merasa ingin marah.

"Kak Tania" panggil Aira membuat seisi ruang belajar melayang pandangan protes, pasalnya diruangan tidak boleh berbicara keras demi ketenangan bersama. Aira tidak peduli, saat ini dia tidak bisa mengontrol emosinya.

"Maafin kakak, yaa. Gak sengaja tumpah minumannya" jawab Tania bersalah. Aira mengambil foto keluarga ditangan Tania dengan kasar. Ia sangat membenci seseorang memegang barangnya tanpa sepengetahuannya.

"Harus buka buku catatannya juga ya?" Tanya Aira sarkatis. Ia mungkin bisa memaklumi jika memang hanya tertumpah minuman, tapi tidak dengan membuka buku catatannya. Bukankah setiap orang akan sentimental jika menyangkut privasi hidupnya? Itu yang ada dibenak Aira.

"Semarah itu? Alay banget" ucapnya sinis. Membuat Aira tak lagi menahan kekesalannya.

"Alay? Bukannya anda yang tidak tahu manners? Membuka atau memegang barang orang lain tanpa izin bukankah itu seperti seseorang yang berniat mencuri?" jawab seseorang membela Aira. Ia tengah memegang ponsel yang bukan miliknya.

"Kalau sampai ada yang menyebarkan video hari ini, atau bergosip, kalian akan tau konsekuensinya" ucapnya lagi, memperingatkan tapi seakan mengancam.

Aira mengambil barang-barang miliknya dan pergi begitu saja setelah berterima kasih pada seseorang yang menolongnya tanpa sempat memperhatikan wajah sosok tersebut.

Ruangan kembali hening, sibuk dengan kegiatannya yang sempat terhenti. Tania mengepalkan tangannya. Ia marah, ia tidak terima disalahkan begitu saja dihadapan banyak orang, bahkan dipermalukan. "Lihat nanti Aira" gumamnya penuh amarah, dengan tangan yang tanpa sadar merobek buku miliknya sendiri.

***

"Aira?" Tanya Ray ragu.

"Dia permalukan aku didepan orang banyak, Ray. Liat, dia bahkan sobekin kertas-kertas yang udah kamu siapin buat latihan ujian hari ini" ucapnya memperlihatkan barang bukti palsu untuk memanipulasi semuanya.

Antara percaya dan tidak, Ray ingin memastikan hal itu pada Aira dan beberapa orang yang ada ditempat kejadian hari itu.

"Masih bisa dibaca kan?" Ray memastikan, Tania mengangguk pelan dengan mata sembabnya.

"Ya udah, ini flashdisk kamu print sendiri bisa kan? Aku mau nyari Aira sebentar" ujarnya menyerahkan flashdisk ditelapak tangan Tania.

"Ray, jangan marahin Aira ya, biar dia yang minta maaf samaku. Jangan buat dia makin benci samaku. Aku tau kok dia gak bermaksud gitu samaku" ucapnya memohon.

"Aku cuma mau mastiin dia baik-baik aja atau gak" ujar Ray sudah melangkahkan kakinya keluar kelas. Tania yang menyeringai dibalik punggung Ray, mendadak terkejut dengan apa yang ia katakan padanya.

Ray menemukan Aira yang tengah tertawa bersama Amar, ditambah tangan Amar yang membawakan tas Aira. Entah kenapa, ucapan Tania yang terlintas dibenaknya semakin membuatnya yakin jika Aira sengaja melakukan itu pada Tania.

"Hai kak" sapa Amar. Aira hanya diam, dan seperti menghindari menatap wajah Ray. Ray mengangguk dan menyuruh Amar pergi dengan kontak mata. Amar yang mengerti pun pergi tanpa sepatah katapun pada Aira. Ray membawa Aira ke tempat yang tidak banyak berlalu lalang siswa lain.

Aira mengangkat kepalanya, mungkin ia bersiap menerima beberapa pertanyaan memojokkan dari Ray pagi ini. Sejak semalam ia bahkan tak mampu memejamkan matanya. Bukan tentang kehebohan kemarin, lebih tepatnya tentang orang yang kemarin menolongnya.

"Kamu gak mau cerita apapun?"

"Tentang apa?" Tanya Aira menghindari kontak mata dengan Ray.

"Kemarin di ruang belajar, dan Tania-"

"Kenapa? Kak Ray mau salahin kejadian kemaren ke Aira? Kak Ray gak percaya kalo Aira adalah korbannya? Iya?"

"Seenggaknya kamu minta maaf udah robek kertas Tania, Aira"

"Huh? Minta maaf? Aku? Yang robek kertas?" Ucap Aira mengajukan pertanyaan pada dirinya sendiri seperti orang bodoh. Ray diam, ia tidak tahu pasti mana yang salah dan mana yang benar.

"Ternyata selama ini kak Ray belum sepenuhnya percaya dan tau gimana sikap Aira ya? Kakak lebih percaya dengan kak Tania yang cerita semuanya ke kakak kalo dia seolah korban dari Aira?"

"Aira!!!" Bentak Ray tanpa sadar, bukan ini yang diharapkannya.

"Apa?" Tantang Aira, ia menatap bola mata Ray dengan sendu. Sekeras apapun dia menjelaskan pada Ray. Aira akan tetap menjadi salah jika itu bermula dari Tania. Bukan menuduh, hanya saja hal-hal sepele sebelumnya Aira lah yang menjadi pelaku atas semuanya.

"Capek nyatanya ngadepin kamu. Aku cuma minta kamu buat minta maaf sama Tania bukan malah berdebat gak penting kaya gini" ucapnya dengan suara keras, melayangkan tatapan marah pada Aira.

"Minta maaf atau jangan ganggu aku?" Pertanyaan konyol bagi Aira. Ia mengusap air matanya dan melewati kak Ray begitu saja tanpa menjawab pertanyaan itu.

Lelah...
Itu yang Aira rasakan...

***

Euphoria Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang