CHAPTER 8

3 3 5
                                    


"Biarlah, percuma saja membela diri jika pada akhirnya,
bukan aku yang dia percaya"

_Aira Fidellya Achmad _
___________________________

Augh?! Aira membalikkan badan, mempercepat langkah kaki menjauhi seseorang. Otaknya memutar kembali ingatan kemarin, hal memalukan baginya jika bertemu dengan Faith. Kejadian dimana Aira tertidur nyenyak di bahu lebar milik Faith setelah lelah menangis, dan orang itu tengah memperhatikan tingkah aneh Aira yang menghindari dirinya sejak pagi tadi.

Faith memasang wajah yang tidak terdeteksi ekspresi apapun, antara bingung dan menahan tawa melihat Aira menghindari dirinya sejak tadi pagi. Bahkan, selama mata pelajaran tadi, ia melihat Aira yang tidak fokus dengan materi tadi.

Brugh...
Aira terjatuh, tidak, dia menabrak Ray hingga terhuyung dan berakhir duduk di lantai koridor kelas. Suara keras itu menarik perhatian beberapa pasang mata di sekitarnya. Aira segara bangkit, dan menepuk tangannya yang sedikit kotor.

"Maaf, kak"

Ray diam, ia merasa jika semakin hari Aira semakin menjauhinya. Bukan permintaan maaf untuk Tania yang diharapkan kemarin, tapi ia meminta maaf atas dirinya untuk Aira. Kesalahpahaman yang semakin membuat hubungan antara dirinya dan Aira semakin terlihat ada batas yang tak bisa dilewati dengan mudah.

Ray menepuk kepala Aira yang menunduk.

"Gak apa-apa?"

Aira mendongakkan kepalanya, dan menyingkirkan tangan Ray dengan sopan.

"Aira baik-baik aja" jawabnya lalu pergi, meninggalkan Ray yang kembali diam. Ia benar-benar masih sakit atas perkataan kasar yang rau ucapkan padanya kemarin malam. Ia tak habis pikir dengan jebakan yang seakan membuat dirinya adalah seseorang yang baik diluar dan jahat didalam. Munafik.

***
"Jadi gini, gue sama David nyari Aira abis kejadian itu" Chaca berkisah.

"Trus?'

"Gue liat, ada cowo yang tiba-tiba gitu ngasih jas ke Aira, dan lu tau? Aira kek dikasih mode slow motion gitu nolehnya. Gue mau datengin dia kan, tapi gue takut ganggu suasana ala-ala drama Korea gitu jadi ya udah deh, gue minggat aja"

Aku bersandar di pintu, melihat dan mendengarkan Amar dan Chaca yang sibuk bercerita insiden kemarin. Aku menghela nafas, mereka belum tau jika orang itu adalah pak Faith. Apalagi insiden kepalaku yang tidur dibahunya. Saking lebarnya, sampai aku nyaman dan nyenyak tidur setelah menangis.

"Ghosip kok didepan orangnya" celetuk seseorang didekat ku. David melewatiku yang masih bersandar diambang pintu. Dia duduk diseberang kursi Chaca, dengan ringan tangannya menarik leher Amar hingga hampir jatuh.

"Wee, gue bukan hewan anjir. Napa make narik-narik segala sih" protes Amar pada David.

Aku tertawa bersama Chaca dan beberapa siswa yang sempat melihat pertengkaran mereka. Pasalnya, David memiliki proporsi tubuh yang lebih kurus dibandingkan Amar, hanya saja David lebih tinggi sedikit.

"Kayak hamster yang kabur dari kandang" tambah Chaca sambil mempraktikkan dengan tangannya yang seakan memegang leher hamster dengan tiga jarinya.

Amar melayangkan tatapan membunuh, dan David dengan kejailannya menaruh telapak tangannya dikeningnya, seakan-akan membaca mantra.

"Bacain Yasin kali ya?" Tanya Chaca dengan wajah polosnya. David mengangguk, mengiyakan apa yang dikatakan Chaca.

Huftt.... Gilak ni gue lama-lama, batinku.

"Aira!" Satu suara memanggil namaku dengan lantang, hampir seperti bentakan yang sengaja. Aku membalikkan badan, mengarah pada asal suara. Urju, Urju datang menghampiriku dengan wajah merahnya. Entah habis menangis atau memang tengah marah padaku. Aku benar-benar tidak mengetahui apapun saat ini.

"Mana handphone gue?" Tanyanya mendadak, aku mengerutkan dahi. Handphone? Sejak kapan aku meminjam? Menyentuhnya saja aku hampir tidak pernah. Karena aku tau, itu privasi yang hanya boleh dipegang sesudah mendapatkan izin dari pemiliknya.

"Handphone apa, ju?" Panggilku menyebut namanya. Aku tengah serius kali ini, situasi ini seperti ada sesuatu yang mengganjal bagiku.

"Gue liat, lu ambil barang di loker punya gue"

He? Aku semakin tak paham.
"Mbak, jangan nuduh gitu dong. Tanya baik-baik bisa kan?" Ujar Chaca membantuku. Aku menarik tangannya untuk mundur. Aku tidak ingin melibatkan siapapun disini.

"Biar Aira yang ngurus Cha" pintaku dengan pelan. Ia ingin membantah, tapi aku menyakinkan ya dengan satu isyarat mata.

"Jelasin dulu deh,gue gak tau apa yang dimaksud, Urju!" Ucapku menekankan beberapa kata.

"Buka tas lu" titahnya, dengan mudah aku mengambilnya dan memberikan itu pada Urju. Beberapa orang di kelas yang semula masa bodoh, tertarik untuk menonton apa yang terjadi padaku.

"Ini apa?" Mataku terbelalak, firasatku semakin tidak enak. Akan ada lagi kejadian setelah ini. Aku yakin itu, dan aku yakin, jika ini akan dikaitkan dengan kak Ray lagi.

Benar-benar lelah rasanya.

"Aira...." Hida memanggilku dengan nafas yang tersengal-sengal, keringatnya bahkan terlihat di dahinya.

Chaca, David dan Amar terdiam, mungkin mereka bingung dengan apa yang kali ini terjadi.

"Kak Ray, ... kak Ray manggil lu di gudang" ucapnya, membuatku tak ragu, siapa yang ada dibalik ini.

"Aira, masalah kita belum selesai!" Bentak Urju.

"Jadi, lu sebenernya percaya sama siapa?" Tanyaku tanpa membahas apa yang terjadi tadi. Aku ingin tau, apakah Urju juga terhasut? Untuk menusukku dari belakang oleh seseorang. Dalang dibalik semua ini.

"Aira!?!?!?!?!"

Aku menghela napas, kenapa dalam hitungan detik orang-orang memanggil namaku dengan satu masalah yang berantai?

Kak Ray berdiri diambang pintu, tangannya yang mengepal keras membuatku semakin tau, apa yang tengah menimpaku kali ini.

***

Euphoria Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang