(10) end

243 61 76
                                    

Bisik bisik memenuhi gendang telinga seorang Devina Alena yang seharusnya tengah menyelami alam mimpi. Sayup sayup ia mendengar isi pembicaraan Haikal dan beberapa teman barunya.

"Kal maafin gue, gue gak nyangka Devina jadi gini," lirih Yera menatapnya penuh linang air mata.

"Andai gue gak merencanakan ini, Devina pasti baik baik aja Kal... h..hiks," ucap Yera terisak.

Cello dengan siaga memeluk sahabatnya itu, mengelus surai Yera secara perlahan. "Hey? Its okey, rencana kita baik, kita gak ada niatan jahat sama Rei versi baru ini."

"Justru rencana lo yang mempertemukan kita semua, thanks Yera," ucap Cello menepuk bahu Yera guna menyalurkan semangat.

Haikal menatap miris Devina yang masih setia memejamkan mata. Devina yang sebenarnya sudah tersadar dari pingsan mulai merasa risih karena merasakan ia sedang ditatap seseorang.

"Dev maafin aku ya? Aku cuma mau kamu inget kenangan kita."

"Kalau cara pulih kamu kayak indos*ar sih udah aku jedotin kamu ke pintu biar pulih ingatannya. Gak kangen kah kejebak friendzone sama aku?" Tutur Haikal semakin mendekatkan posisinya ke Devina.

"Terang terangan amat pak," sindir Cello.

"Ssst! Kita izin keluar ya Kal," tegur Yera kemudian menggandeng Ghifari dan Cello keluar.

Sebelum benar benar pergi, Ghifari sempat mengucapkan sepatah kata. "Rei aku nyesek kamu jadi kayak sekarang, kenangan kita dulu itu gak sia sia 'kan?"

Melihat ketiga temannya tertelan pintu. Haikal semakin terhanyut oleh suasana. "Kamu tahu Rei? Awal kita ketemu, waktu kamu mau nonton konser Larus. Aku fobia sama hujan, and you save me."

"Hari itu, peringatan kematian Sora. Kejebak hujan dan hari kelam, aku terpaksa menggores nadi berniat bunuh diri," jelas Haikal dengan nada bergemetar.

Devina menahan rasa nyeri di lubuk hati terdalam. Ia tak mengingat apapun, namun mendengar cerita Haikal ia turut terhanyut.

"Lo kuat karena udah bertahan sampai sejauh ini, jangan putus asa. Lo hebat, jangan salahin diri lo sendiri atas semua ini."

"Makasih udah bertahan, meski gue gakenal siapa lo, tapi gue yakin kalau lo adalah lelaki terkuat yang pernah gue temuin. Mungkin memang udah takdir tuhan buat mempertemukan gue sama lo."

"Tapi kalimat dari kamu, aku inget jelas. Kelihatannya emang sepele, tapi itu berarti banget buat aku."

Sudah tak kuasa menahan isakan, Haikal terkekeh hambar seraya mendongak ke atas. Berniat menahan air mata untuk menetes, namun ternyata ia keduluan.

Perlahan air mata milik lelaki bernama Haikal Wiranegara mulai menetes menyusuri rahang tegasnya. Ia terkekeh hambar, menertawakan hidupnya yang bagai plot hole dalam sebuah cerita.

"I miss you so much, my friend." Tangan kekarnya kemudian membawa tangan mungil Devina untuk ditautkan, setelahnya Haikal mengecup tangan putih halus itu.

"Thanks a lot, please give me a second change," bisik Haikal kemudian beranjak pergi.

Brakk!

Bantingan pintu membuat Devina tersentak kaget. Ia memutuskan untuk bangun meski pusing masih menjalar. Otaknya berkecamuk, menghubungkan satu persatu kejadian yang sulit untuk diterka. Sebenarnya ia ketinggalan apa?

"Kalau aku itu Rei, apa ini alasan bang Zen saat itu?" Monolog Devina.

Flashback bentar

Dalam ruangan bernuansa putih dan bau khas obat obatan yang menyeruak ka dapat mendengar isakan tangis serta tangannya yang diusap lembut. Berbagai macam racauan ia dengar secara tidak jelas, pusing menghantam kepalanya.

We Are Not Strangers || Haeryu ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang