Mau Pisang?

5.3K 898 7
                                    

Novel lama belum kelar, ini udah lahir novel baru. Gak konsisten!

Pasti ada yang mikir begitu☺️

Iya, ide gak bisa ditahan. Sama kyk anuh, ditahan, pusyeng.

Jadi, ikuti aja. Kalau gak suka, skip aja gpp☺️

Semua bakalan ending pada waktunya wkwk

***

"Daya?"

"Hm?"

Adara mengalihkan pandangannya yang semula terfokus di ponsel kini menatap Qin. Bocah itu tengah berbaring di atas kasurnya dan sebelah tangannya memegang botol susu yang sudah kosong.

"Nambah?" tanya Adara saat Qin mengulurkan botol itu padanya.

"Gak. Nenek bikin teyyayu manis," keluhnya.

Adara terkekeh. Posisinya yang berada di sebelah Qin membuatnya mudah untuk mengacak gemas rambut sebahu bocah itu. Rambut Qin sangat halus dan wangi. Meskipun kerjaannya bermain dan berkeringat, tapi Adara tidak lalai untuk tetap merawat tubuh Qin dari ujung kepala sampai ujung kaki.

Adara bisa dimarahi Anwar kalau sampai anak kesayangannya ini kucel dan mendadak buluk. Selain gajinya sebagai anak magang tidak diberikan Anwar, bisa-bisa nilainya juga tidak keluar.

"Kenapa kamu panggil aku?" tanya Adara saat ia selesai meletakkan botol susu Qin ke atas meja kecil di sebelah ranjangnya.

"Papi kenapa gak punya istyi? Kayak Oma, kayak Nenek. Kayak Bu Syi juga. Meyeka itu istyi."

Adara menelan ludah. Kenapa pertanyaan bocah itu mendadak sulit untuk ia jawab sih? Dan lagian juga kenapa bocah itu menanyakan hal yang tidak Adara ketahui juga.

"Kamu tanya Papi kamu deh. Aku gak tahu. Aku kan baru kerja sama Papi kamu 4 bulan ini."

"Iya juga ya. Kamu kan anak magang. Bukan kayiawan Papi."

Adara mencebikkan bibir. Bocah tengil. "Mau telpon Papi gak?"

"Boyeh?" tanya Qin berbinar.

"Boleh. Sebentar," Adara mengirimi pesan terlebih dahulu kepada Anwar. Ia tidak mau langsung menelpon karena bisa saja pria itu sedang sibuk.

Pesan Adara tak terbalas meski sudah bercentang biru. Berselang beberapa detik, panggilan video masuk dari Anwar. Adara menerimanya dan langsung mengarahkan layar ponsel ke wajah cantik Qin.

"Halo, Princess," sapa Anwar dengan senyum terkembang.

"Hayo, Papi. Yagi apa?"

"Baru selesai solat. Kamu lagi apa?" Anwar bertanya balik.

"Bayu seyesai minum susu. Iya, kan, Daya?"

Qin mendongak menatap Adara yang setia di sebalahnya sambil memperhatikan wajah Anwar yang menghiasi layar ponselnya. Entah kenapa Adara menggigit bibir saat melihat bibir merah muda Anwar. Sial. Otak kotornya kenapa bisa berulah di saat seperti ini sih? Biasanya Adara hanya memikirkan karakter fiksi yang tak kasat mata saja.

"Daya, jawab. Mayah bengong."

Adara sedikit terkejut dengan omelan Qin. Bocah itu bahkan sampai memberengut menatapnya. Adara meringis, lalu mengelus kepala Qin.

"Iya."

"Udah makan?"

"Udah. Disuapi Nenek yagi. Di sini makannya enak-enak, Papi. Gak kayak di yumah. Pedes-pedes kayak muyut Bu Syi," Qin mulai berceloteh.

Anwar tertawa. Adara juga sama. Qin sudah hafal dengan kebiasaan pelayan di rumahnya. Bahkan bocah itu tidak ada takutnya menegur jika pelayan itu mengerjakan hal yang salah. Apalagi saat Anwar tidak di rumah, para pelayan merasa bebas dan bisa menyetel musik sekeras yang mereka mau.

"Papi, nanti ajak Daya tinggay sama kita ya. Aku mau ada teman bobok," pinta Qin.

"Tanya Daya dong. Mau gak?"

"Pasti mau. Daya kan bestie aku," kata Qin dengan gaya songongnya.

"Ih, aku belum bilang mau ya," sela Adara.

"Emang Daya gak mau?" tanya Qin dengan raut wajah sedih.

Mata bulat polos yang tengah menatap Adara itu membuatnya gemas dan sontak mencubit kedua pipi Qin. Adara tertawa sambil mengangkat Qin untuk beralih ke atas pangkuannya.

Qin bersandar pada dada Adara dan tidak bertahan lama. Qin menoleh pada buah dada Adara yang terasa mengganggu di punggungnya.

"Pegang," suruhnya pada Adara sambil mengulurkan ponsel gadis itu.

Adara memegangnya dan memposisikan layar ponsel yang masih menampilkan wajah Anwar agar tetap stabil menatap wajah Qin.

Qin penasaran dengan sesuatu yang tadi mengenai punggungnya. Ia berbalik menghadap Adara, lalu mengulurkan tangan dan menekan kedua payudara Adara tepat di putingnya.

Adara melotot tidak percaya. Apalagi kejadian itu dilihat langsung oleh Anwar dan sangat jelas. Qin kembali menekan, kemudian mendongak menatap Adara yang masih syok.

"Daya gak pakai bya?"

Sialan. Dari mana bocah itu tahu kata 'bra' yang baru saja ia ucapkan? Apa Anwar juga—

"Sama kayak Oma. Kayau tiduy gak pakai bya. Tapi punya Oma kendoy. Punya Daya keyas."

Qin kembali merubah posisinya. Ia duduk menyandar dan merasa nyaman kali ini menekan payudara Adara yang memang tidak memakai apa pun sebagai penyanggah di dalam sana.

"Papi yihat apa?"

Anwar berdeham dan memalingkan wajah. Pria itu tampak salah tingkah karena baru saja melihat adegan yang begitu menyenangkan. Setidaknya Qin sudah memberikan sedikit spoiler seperti apa payudara Adara meskipun Anwar belum pernah melihatnya.

"Qin, mau buah gak?"

"Mau!"

Qin meninggalkan Adara begitu saja saat ibu gadis itu memanggilnya dari luar kamar. Adara ingin sekali mengakhiri telepon, tapi suaranya tidak bisa keluar untuk mengatakan sepatah katapun kepada Anwar.

Adara sungguh malu dan wajahnya kini memerah. Berbeda dengan Anwar yang kali ini kembali ke posisi sebelumnya menatap layar ponsel. Bukan wajah Qin yang kini ia lihat, tapi wajah cantik Adara dan bibir pucat gadis itu.

"Qin bikin repot selama saya tinggal?" tanya Anwar mengalihkan pikiran kotornya yang tadi sempat membayangkan payudara Adara.

"Gak. Tapi jajannya banyak. Beli permen."

"Dibatasi, Adara. Nanti Qin sakit gigi."

"Cuma itu yang bikin Qin anteng duduk di dalam rumah sambil nonton tivi sama saya. Kalau enggak pasti ngeyel minta ikut Ayah saya ke kebun. Bisa-bisa anak Bapak buluk dan menghitam."

Anwar tidak lagi membalas soal itu. Adara pasti lebih tahu karena gadis itu yang bersama Qin saat ini. Anwar berdeham saat ponsel Adara tergerak karena gadis itu memperbaiki posisi duduknya.

"Bisa tegang semalaman ini. Anjing!"

Adara menajamkan telinganya. Ia yakin mendengar Anwar baru saja menggumam. Tapi ia tidak mendengar jelas apa yang pria itu katakan.

"Bapak ngomong sesuatu?"

"H—hah? Enggak. Itu. Anjing tetangga gak bisa diam."

"Oh..."

"Daya, mau pisang gak? Kata Nenek Daya suka pisang. Apayagi yang besay dan panjang. Iya, kan, Nek?"

Qin muncul mendadak dan Adara dibuat terlonjak. Hanya mengatakan itu, lalu bocah tengil tersebut kembali menghilang dari ambang pintu kamar Adara.

Berbeda dengan Adara yang terkejut. Anwar kembali berdeham dan kali ini ia tidak bisa menahan lagi. Pikiran Anwar berkelana entah ke mana dan sialnya Adara yang menjadi sumber objeknya.

Adara menoleh pada layar ponsel yang tiba-tiba menampilkan room chat nya dengan Anwar. Panggilan dari pria itu sudah berakhir secara sepihak. Adara mengedikkan bahu sebelum membaca pesan yang Anwar kirimkan.

Sorry, saya harus menyelesaikan sesuatu yang mendesak.

***

Up cerita baru SS nanti malam ya sayang.

Vote di sini duyu!

Love Curse (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang