Saya Lapar

5.2K 787 48
                                    

Udah 7 bulan yaaaa... Gak kerasa🥲
Mari syukuran 7 bulanan🤣🤣
Ini tuh udah ditulis dari lama. Cuma lupa mulu mau edit dan update. Karena tadi ada yg nagih, jadi kebuka lagi filenya dan lgsg tepok jidat😩

***

Adara menoleh pada pintu kamar dan menemukan Qin tengah mengucek matanya. Gadis kecil itu jelas masih mengantuk tapi terbangun dan mencarinya. Sebelum Qin sadar apa yang terjadi dengannya dan juga Anwar, Adara dengan cepat menarik diri dari posisinya dan memperbaiki penampilan yang acak-acakan. Dia sengaja membelakangi Qin agar gadis itu tidak melihat kekacauan yang dibuat oleh sang ayah.

"Daya..."

"Iya, sebentar."

Adara menatap Anwar yang kini mengusap wajahnya dengan kasar. Tampak sekali pria itu tengah frustasi karena gairah yang sudah menyala harus padam seketika. Di dalam hati Adara tersenyum geli. Entah ini kesalahpahaman yang seperti apa lagi. Tapi dia menikmati sikap dan perlakuan Anwar padanya. Seolah-olah pria itu menaruh hati padanya.

Adara sadar dia tidak boleh terlalu cepat menyimpulkan perasaan seseorang. Apalagi dia tahu kalau Anwar pasti mencari sosok istri bukan lagi kekasih. Ada Qin yang harus dibesarkan dengan penuh kasih sayang dan juga cinta oleh wanita yang akan menjadi ibu sambungnya nanti.

"Daya..."

Masih dengan rengekan manjanya Qin memanggil Adara. Setelah memastikan penampilannya kembali seperti semula, Adara mengode Anwar untuk segera mengikuti mereka, lalu dia segera berbalik untuk bisa menatap Qin.

"Ayo bobo lagi," ajaknya pada Qin yang langsung mengulurkan tangan meminta untuk digandeng.

Adara malah mengangkat Qin ke dalam gendongannya. Kini gadis kecil itu menumpukan kepalanya di pundak Adara. Agaknya Adara was-was jika Qin mencium aroma tak sedap dari tubuhnya yang baru saja dijamah Anwar.

Anwar memperhatikan punggung Adara yang kini keluar melewati pintu kamarnya. Anwar menggigit bibirnya yang entah kenapa kulit lembut gadis itu masih terasa di sana. Adara benar-benar membuat Anwar kehilangan kendali dirinya. Hal yang tidak pernah terjadi dengan perempuan mana pun sebelumnya.

Setelah menghela napas panjang guna menenangkan perasaannya, Anwar turun dari ranjang. Dia keluar kamar dan langsung menuju ke lantai bawah di mana ibunya berada. Anwar memasuki ruang makan dan menemukan sang ibu sudah duduk di sana.

"Loh, Adara mana?"

"Nidurin Qin."

Tak lama setelah Anwar menjawab seperti itu, Adara datang menghampiri mereka dan duduk di depan Bu Maya. Sedangkan Anwar ada di kursi ujung dengan posisi di antara Adara dan ibunya.

"Oh, iya, Mama baru ingat soal liburan keluarga. Ditunda berarti ya sampai Qin sembuh?"

Anwar mengangguk. "Kalau sampai besok demamnya masih tinggi, Mama hubungi Daleela aja. Biar Qin dirawat dulu sampai sembuh," usul Anwar.

"Mama yakin besok udah sembuh kok. Apalagi ada Adara yang nemenin Qin di sini."

Bu Maya menatap Adara yang kini tersenyum canggung padanya. Adara bisa merasakan tatapan Anwar yang kini juga terarah padanya. Entah apa yang pria itu pikirkan setelah kejadian tadi. Apa Anwar melabelinya dengan gadis murahan?

"Mama minta Adara nginap di sini jagain Qin. Kamu juga butuh istirahat, kan? Jangan sampai Qin sembuh malah kamu yang gantian sakit. Mama capek ngurus kamu dari bayi sampai setua ini."

Anwar mencebikkan bibir mendengar omelan ibunya. Sedangkan Adara mengulum bibir menahan tawa. Ia melirik Anwar yang kini tengah menikmati makan siangnya. Rentang waktu dari siang ke malam masih cukup lama. Apa yang akan Adara lakukan di sini nantinya? Apalagi Qin tidur dan tidak bisa ia ajak main juga.

"Mama gak nginap sekalian?"

Adara menahan napas menunggu jawaban Bu Maya. Ia berharap wanita itu mengiyakan tawaran Anwar untuk menginap. Adara tidak mau kejadian seperti tadi terulang kembali. Apalagi pada malam hari yang bisa saja ia dengan pasrah menyerahkan diri kepada pria duda itu.

"Lihat nanti deh."

Jawaban yang tidak memuaskan bagi Adara dan juga Anwar. Jika Adara berharap Bu Maya menginap, maka Anwar sebaliknya. Ia hanya berbasa-basi saja karena kini gugup membayangkan Adara akan menginap setelah apa yang terjadi tadi.

***

Malam pun tiba. Anwar sudah masuk ke dalam kamarnya. Adara pun sama. Ia berada di dalam kamar Qin. Gadis kecil itu kembali terlelap setelah disuapi makan dan juga obat oleh Adara. Tubuh Qin sudah tidak demam lagi. Suhu badannya tidak sepanas tadi siang. Adara bersyukur akan hal itu.

Pintu kamar Qin terbuka. Anwar masuk dan duduk di sebelah tubuh Qin yang terbaring. Tidur putrinya itu tampak lelap. Setelah mengecup kening Qin, Anwar menatap Adara yang juga berbaring di sebelah Qin. Posisi Qin ada di tengah-tengah mereka.

"Saya lapar," ujarnya.

Adara memang belum ingin tidur karena ia tidak mengantuk saat ini. Tapi mendengar Anwar mengatakan hal itu membuat Adara ingin sekali terlelap saat ini juga.

"Bukannya tadi Bapak makan banyak ya?"

Mereka makan malam bertiga dengan Qin juga. Sedangkan Bu Maya tidak bisa menginap dan sudah pulang sejak sore tadi. Adara juga yang memasak karena permintaan Anwar serta Qin untuk makan malam mereka kali ini.

"Saya lapar lagi," jawab Anwar apa adanya.

Meski kesal diganggu, Adara tidak berani menolak. Ia bangun dari posisi berbaringnya, lalu beranjak dengan pelan agar Qin tidak terganggu atas pergerakannya.

Adara berlalu keluar dari kamar Qin diikuti oleh Anwar. Pria itu menutup pintu kamar Qin setelah memastikan lagi putrinya masih terlelap dengan tenang.

"Bapak mau saya—"

Mata Adara membelalak saat tubuhnya melayang dalam gendongan Anwar. Dia sampai membekap mulutnya sendiri dengan sebelah telapak tangan agar jeritannya tidak keluar dan mengganggu tidur Qin.

Langkah kaki Anwar membawanya memasuki kamar. Dia mengunci pintu kamar, lalu membawa Adara menuju ranjang. Tempat itulah yang tadi siang menjadi saksi bisu kemesraan mereka.

"Saya mau makan kamu, Adara," bisik Anwar dengan serak saat ia berhasil membaringkan Adara dan menindihnya.

"P—Pak, tapi... Qin—"

"Qin gak akan bangun tengah malam ini," potong Anwar karena tahu Adara pasti akan mencari alasan untuk kabur darinya.

"Nanti dia bangun kalau gak meluk saya," Adara berusaha mendorong dada keras Anwar, tapi pria itu tidak bergeming sama sekali.

"Saya juga butuh kamu."

"Pak, seben—"

Tidak ada kesempatan lagi untuk kabur. Anwar menekan dadanya untuk bisa bersentuhan dengan dada kenyal Adara. Bibirnya meraup rakus bibir Adara. Entah kenapa rasanya semakin nikmat menurut Anwar. Napas Anwar kian memberat ketika ia merasakan Adara tidak mengenakan bra di dalam baju tidurnya.

Anwar bersyukur untuk hal itu. Ia memilihkan baju tidur terusan yang memudahkannya untuk membelai kulit halus Adara dengan leluasa.

"Nghh..."

Adara memeluk leher Anwar saat pria itu berhasil meremas sebelah payudaranya. Jarinya dengan sensual menyentuh dan menekan puting sensitif Adara yang mulai mengeras.

Tidak ada yang berbicara. Hanya sentuhan yang berkuasa hingga mereka larut dalam malam yang semakin kelam.

***

Minces update kalau udah seribu vote yah🌚

Love Curse (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang