1016 words
"Hati-hati di jalan," seorang wanita berusia lebih dari lima puluh tahun berkata setelah mengurai pelukannya pada kekasih anak bungsunya. Penampilan wanita itu nampak seperti seorang yang akan dengan mudah melakukan catfishing pada pria berusia 20 tahun akhir. Wajahnya yang nampak masih segar dan rambut hitam yang masih sangat legam—tanpa bantuan cat rambut atau semacamnya.
"Yakin tidak mau menginap?" tanyanya lagi. Itu adalah pertanyaan ke lima puluh tujuh—jika Asahi tak salah hitung—yang wanita itu tanyakan padanya dan juga kekasihnya, Yoon Jaehyuk. Wajahnya benar-benar menyiratkan pengharapan bahwa anak beserta kekasihnya yang lama tak berkunjung bisa menginap meski hanya satu malam saja. Dan sorot mata itu benar-benar membuat Asahi merasakan sesuatu yang mengganjal di hatinya.
"Tidak bu—" Jaehyuk menghela nafasnya dengan begitu sopan. Tersenyum dan mencium pipi ibunya sebagai tanda perpisahan. "—Asahi harus kembali bekerja besok, begitu pula aku," tambahnya. Dan perkataan itu seketika memadamkan sorot harapan dari netra jernih sang Ibu. Dan Asahi bisa pastikan jantungnya berdegup cepat hanya karena merasa tak enak sudah menghapuskan harapan kecil dari wanita berusia setengah abad ini.
Jas berwarna hitam milik Asahi ditanggalkan segera setelah mereka memasuki mobil. Jaehyuk yang duduk di kursi pengemudi sedikit terkekeh dibuatnya. Setelah melambaikan tangannya sesaat, mobil MINI Cabrio itu perlahan meninggalkan rumah dengan pekarangan yang seluas lapangan sepak bola itu—tentu itu hanya ungkapan hiperbola dari Asahi yang tak berhenti terkagum-kagum melihat luasnya pekarangan rumah orang tua Jaehyuk.
Rumah di daerah suburban fringe ini nampak begitu megah meski tanpa pagar beton yang menjadi tanda kepemilikan dari sang tuan tanah. Asahi bersumpah ia hampir saja terkena serangan jantung ketika Jaehyuk berkata, danau disana juga masih bagian dari rumah kami, ketika prianya itu menunjuk hamparan danau yang terlalu luas untuk menjadi milik pribadi. Setiap kali datang ke rumah Jaehyuk, yang dipikirkan Asahi adalah berapa jumlah pekerja taman yang ada di rumah ini. Karena tidak mungkin satu orang bisa memotong rumput dengan rapi di lahan seluas ini.
Hasil kerja sama antara keluarga dokter dan juga keluarga jaksa. Tidak aneh jika hasilnya adalah rumah mewah dengan halaman yang bisa kau buat sebagai lahan pertanian 1000 ekor sapi. Dengan harga tanah yang melejit setiap harinya, sungguh, Asahi berpikir bahwa keluarga Jaehyuk tidak akan kehabisan harta 7 turunan.
"Mau kubuka?" pertanyaan Jaehyuk menggantung jika kau tidak melihat arah telunjuk pria itu. Ia menunjuk atap mobil dan tersenyum menggoda. Entah apa maksud dari senyuman itu, namun Asahi sukses dibuat memutar bola matanya kesal.
"Tidak perlu, aku buka saja kacanya," Asahi benar-benar membuka jendela di sisinya. Membiarkan angin sepoi-sepoi hangat menerpa wajahnya. Matanya tertutup, mencoba menikmati semilir angin yang terkadang terasa seperti menggelitik wajahnya, namun terkadang juga terasa seperti meninju wajahnya.
Jaehyuk terdiam. Jika bisa ia ingin menikmati pemandangan Asahi yang terlihat benar-benar menikmati perjalanan ini. Ia tidak menyesal telah menyeret kekasihnya itu untuk ikut menghadiri acara pernikahan sepupunya. Karena sejujurnya ia tahu, Asahi menyukai perjalanan mereka.
Benar, pria Hamada itu hanya menyukai ketika mereka menyusuri jalanan sepi dengan bentangan pemandangan yang tak cukup hanya dipuji dengan ungkapan indah. Dibandingkan ketika keduanya sudah sampai ke rumah Jaehyuk, Asahi lebih banyak tersenyum—dengan tulus—di perjalanan. Bohong jika dirinya tak mengerti bahwa Asahi adalah seorang introvert sejati, ia paham bahwa prianya itu sedikit kikuk jika berada di tengah-tengah orang lain.
"Hei—Bagaimana jika untuk liburan nanti kita ke rumahmu?" suara Jaehyuk kental dengan nada ragu dan takut. Tidak, ia tidak takut dengan Asahi, dia hanya takut dengan respon seperti apa yang akan diberikan oleh seorang Hamada Asahi padanya.
Asahi membuka matanya perlahan. Seperti membuka jendela yang menampakkan pemandangan Wonderland, kini dua iris kecoklatan itu disuguhi hamparan bunga kuning kecil yang ia sendiri tidak ketahui namanya apa. Dalam kepalanya ia mulai menerka-nerka apakah di tengah ladang bunga itu terdapat sebuah terowongan kecil menuju dunia yang penuh dengan misteri? Jika ada, maka ia tidak akan ragu untuk melompat keluar dari mobil ini dan beringsut masuk ke terowongan itu. Berharap menemukan mahluk aneh seperti kupu-kupu yang bisa mengeluarkan glitter dari tiap kepakan sayapnya.
Eh, bukan. Bukan saatnya Asahi bergelut dengan pemikiran uniknya. Tadi Jaehyuk menawarkan untuk datang ke rumahnya, 'kan? Rumah Asahi 'kan?
"Tapi 'kan rumahku adalah rumahmu juga," jawab pria itu berusaha memutar topik yang akan Jaehyuk bahas. Ia paham betul kearah mana Jaehyuk akan membawa obrolan kecil yang seharusnya tidak ada ini. Dibandingkan mengobrol sepanjang perjalanan, Asahi lebih memilih untuk mendengarkan radio dan mulai melayang ke alam khayalnya.
"Maksudku, rumahmu di Jepang."
Satu kalimat itu berhasil membungkam Asahi—meskipun pria itu sebenarnya memang sudah bungkam sejak tadi. Air wajahnya mengeras dengan rahang yang tiba-tiba saja membentuk sebuah sudut tajam. Kentara sekali ia tidak menyukai ucapan Jaehyuk. Apapun asal jangan hal itu, Asahi akan menerimanya. Asalkan jangan meminta Asahi untuk membawa Jaehyuk kehadapan orang tuanya—kehadapan keluarga besar sang Hamada.
"Tidak."
Asahi bukanlah tipe orang yang akan menggantungkan harapan orang di depan wajahnya. Ia diajarkan untuk menolak secara tegas atau menerima secara baik dan sopan. Tidak boleh ada kalimat abu-abu yang mungkin akan menyakiti salah satu dari mereka nantinya. Seperti kalimat, nanti akan kupikirkan. Karena sejujurnya, kata nanti tidak akan pernah ada. Tidak akan pernah benar-benar ada arti dari kata nanti.
Jaehyuk ingin mempertanyakan jawaban singkat kekasihnya. Tapi melihat ekspresi tidak suka yang ditunjukkan Asahi secara terang-terangan, Jaehyuk terpaksa menahan dirinya sendiri untuk tidak memulai berdebat dengan kekasihnya itu.
Satu tahun lebih dan iadan Asahi bersama, dan dia sudah membawa kekasihnya itu untuk menemui keluarganya sebanyak 2 kali, tidak, 3 kali dengan hari ini. Memperkenalkan kekasihnya itu pada semua sanak keluarganya. Tersenyum bangga ketika menceritakan pekerjaan Asahi yang merupakan seorang pelukis dan juga animator untuk sebuah perusahaan game. Dan terkadang dibuat tersipu ketika harus menceritakan bahwa kini ia dan Asahi tinggal satu atap, dan menerima pertanyaan menggoda menjurus pada privasi.
Namun keras hati Asahi ternyata tak pernah hilang. Berkali-kali kekasihnya itu memohon untuk sekedar menghubungi keluarga Asahi di Jepang sana, tapi pria itu selalu berdalih—dengan sebuah argumen yang memusingkan, hingga Jaehyuk memilih untuk tidak mendengarkannya. Mau tak mau Jaehyuk harus puas hanya dengan perkataan tadi ayah menitipkan salam, tak lebih.
Lalu hening. Keheningan yang terlalu mencekik Jaehyuk, dan keheningan yang membuat Asahi merasa bersalah. Tak seharusnya ia berkata sekejam itu pada Jaehyuk—meskipun hanya satu kata yang ia ucapkan. Ia seharusnya mengerti jika kekasihnya itu tidak paham yang tengah ia hadapi.
Dan Jaehyuk selamanya tidak akan pernah paham.
***
Halo semua,
Semoga suka dan semoga gak bingung sama kata-kata aku yang belibet. Happy reading
![](https://img.wattpad.com/cover/320446486-288-k333559.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
are you listening? || jaesahi || TREASURE
ФанфикIni tentang buruknya seorang Hamada Asahi dan egoisnya sosok Yoon Jaehyuk. Tentang Asahi dengan beragam omong kosongnya dan juga Yoon Jaehyuk yang enggan mendengarkan. Tentang bagaimana si aneh Asahi membawa masuk Jaehyuk-si rasional-pada dunia yang...