04. Mereka "Normal"

79 41 24
                                    

Chenle malas berurusan dengan orang-orang menyebalkan.

Presensinya saja sudah memantik api perselisihan. Begitu ia turun dari dalam taksi, laki-laki yang diberi tanggung jawab menjaga keamanan sekolah itu bereaksi dengan berlebihan. Dia menghadang. Matanya setajam belati. Berharap Chenle balik mundur bubar jalan sebab nyalinya menciut. Tapi Chenle tidak melakukannya. Dia nampak menantang. Terlampau berbeda dari sosok Zhong Chenle yang biasa. Dia datang. Mencengkram gerbang sekolah kuat-kuat dengan tekadnya yang sulit padam.

"Tolong buka gerbangnya, Pak."

Sama halnya dengan supir taksi, satpam sekolah itu juga menatapnya. Dia meringis tidak suka. "Udah tahu terlambat, masih minta masuk juga?" Dia mendesis tidak suka. "Lagian kamu nggak kelihatan kayak anak sekolah. Seragammu kenapa merah-merah kayak gitu? Kamu..."

"Jangan menghakimi seenak hati." Chenle memangkas cepat dengan air mukanya yang dingin. "Aku bawa informasi penting. Kalian semua bisa tamat kalau aku nggak masuk sekarang juga."

Chenle luar biasa seriusnya ketika berucap. Tapi, entah dimana letak kelucuannya, si satpam malah tergelak. "Kamu pikir kamu siapa? Walikota? Informasi penting apaan hah?" Kepalanya menggeleng-geleng. "Yang kreatif dikit dong kalau mau coba nerobos masuk. Alasan murahan macam apa itu?" Kemudian dia lanjut terbahak-bahak.

Ini bukan waktu yang tepat. Chenle biasanya punya toleransi kesabaran yang panjang. Namun saat ini, sabar saja tidak cukup. Dia diburu panik, ditambah dengan satpam menyebalkan ini, amarahnya mudah memuncak. Chenle menggeram tertahan. Rahangnya mengeras bersama genggam tangannya yang semakin kuat. "Aku lagi nggak main-main." Lantas dia mengguncang gerbang. "Bukain sekarang!"

Si satpam berhenti tergelak. Matanya kembali menajam. Dia mengerling tidak suka pada Chenle. "Liat kamu kayak gini, aku makin yakin buat nggak bukain gerbangnya."

Amarahnya menggelegak. Gerbang terguncang hebat sekali. Chenle menjauh dari sana sembari merogoh saku celananya. "Aku bawa umpan, Bapak mau?" Beberapa lembar uang kertas muncul dari kantong celananya yang kusut. Si satpam membeku, mungkin ditimpa gamang. Chenle sedang tidak ingin menunggu, apalagi bertele-tele. Jadi dia menghamburkan uang-uangnya. Ditiup angin, mendarat di sekitar satpam sekolah yang belum bergeming. "Bukain sekarang."

Si satpam belum berkutik sementara Chenle semakin terbakar emosi.

"Aku bilang, bukain." Dia menekankan di setiap katanya yang meluncur.

Baru setelah itu, suara kunci menyambar rungu. Chenle tidak tertarik mencaritahu alasan kenapa pada akhirnya satpam menyebalkan ini berakhir membuka gerbang untuknya. Karena uang darinya atau auranya yang menggelap. Itu tidak terlalu penting. Chenle abai. Bahkan ketika si satpam jongkok memungut lembar-lembar uang yang teronggok layaknya plastik.

Koridor mulai ramai. Ini jam istirahat. Orang-orang pasti berkumpul di satu titik, seperti kafetaria misalnya. Atau beberapa lainnya yang memilih mematut diri di tempat tertentu. Pertanyaannya, dimana Chenle bisa menjumpai Jisung? Kafetaria yang penampakannya penuh lautan manusia atau ruang kelas yang mungkin lengang?

Daripada memikirkan itu, Chenle lebih dulu dicegat. Sial. Rintangan macam apalagi ini? Serius! Chenle benar-benar tidak kembali ke sini untuk merindukan Kangmin dan pukulan-pukulannya. Alih-alih Jisung, yang dijumpai lebih dulu malah orang brengsek ini.

"Ouh, ouh, ouh. Apa nih? Si teladan Zhong Chenle baru berangkat? Woah, udah mau kiamat ya?" Kangmin menghadang dengan tangannya yang merentang. Dia mengolok-olok Chenle sebagai sambutan. "Kayaknya ada yang beda dari kamu. Fashion mu berubah. Hebat, hebat! Kayaknya aku kalah nih." Kemudian dia mendekat. Mengendus-endus Chenle layaknya seekor tikus. "Ini apa—woah!"

End of UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang