07. Bad Plan

61 34 4
                                    

Jisung punya banyak ketakutan. Dirangkum panjang dalam lemari arsip di dalam benaknya. Ketakutan seperti gagal membanggakan orang tuanya, menyakiti orang lain dan kematian. Jisung masih ingin terus menyambung nafasnya sampai hidupnya terasa puas. Melawan zombie bukan termasuk daftar salah satu hal yang harus dia lakukan di masa depan tapi lucunya dia digariskan hidup untuk ini.

Semua orang ketakutan.

Nah, lihat Lee Haechan. Si langganan pemantik keributan itu bahkan nampak gelisah. Haechan yang biasanya menikmati pertarungan, kini tidak bisa mengerti dirinya sendiri kenapa ia sempat terbahak manakala menyaksikan momen ketegangan. Keningnya disapu oleh keringat. Tangannya kuat mencengkram bangkar. Pandangannya lurus ke depan, tajamnya melebihi belati yang baru diasah. Meski begitu, Jisung tahu Haechan punya percik ketakutan yang mulai berkobar.

Jaemin menelan salivanya. Jari-jemarinya hinggap di atas kenop pintu. Lemari kaca yang semula menyangga pintu disingkirkan 10 menit yang lalu. "Hitungan ketiga, aku buka pintunya." Jaemin memberi komando. Chenle menganggukki sementara Jisung tak bisa memantapkan hati.

"1."

Jisung memejamkan matanya. Dia butuh kekuatan. Dia butuh keberanian.

"2."

Tangannya banjir keringat. Bagaimana kalau rencana ini ternyata rencana buruk? Bagaimana kalau seandainya pungkasannya adalah senjata makan tuan? Bagaimana kalau.... Salah satu dari mereka berempat terpaksa untuk pergi?

"3!"

Terlambat. Jisung belum menemukan kekuatannya. Pintu lebih dulu dibuka. Perang dimulai! Zombie-zombie itu menerjang buas di saat Haechan dan Chenle kompak mendorong bangkar. Kerumunan zombie yang setia mengetuk pintu selama 40 menit dengan kepalanya yang terhantuk-hantuk itu terpojokkan. Totalnya ada lima zombie. Mereka berakhir terhimpit bangkar dan tembok. Tangan-tangan itu meronta. Mengoyak selimut yang sekarang sobek seperti kain lusuh di atas tumpukan rongsok.

Jaemin menoleh. "Jisung?"

Anak itu masih mematung di tempatnya. Dia baru mengerjap selepas Jaemin menyebut namanya. Jisung tergugu. Rahangnya mengatup rapat, berat untuk dibuka. Matanya memanas menyaksikan punggung Haechan dan Chenle yang terus menahan bangkar. Mereka bertaruh.

"Maaf."

Mereka bertaruh di saat Jisung melalaikan tugasnya. Dia seharusnya bergabung dengan Haechan dan Chenle. Dia seharusnya mengisi tempat kosong di tengah-tengah mereka bukannya membeku seumpama patung yang fungsinya sebagai pajangan.

"Kita harus lari." Jaemin menarik Jisung untuk keluar. Pintu dibiarkan menganga lebar. "Cepet kabur!" Jaemin memberi interupsi.

Haechan dan Chenle melepas bangkar. Zombie-zombie itu mulai menggeliat. Dua dari mereka berguling di atas bangkar sebelum jatuh menimpa lantai. Jaemin memimpin langkah. Chenle dan Jisung di barisan kedua dengan ketakutan yang kian melahap habis puing-puing keberanian. Haechan mengekor paling belakang.

Pintu keluar terjamah. Tapi lihat. Lihat bagaimana tempat itu disulap bagai cerminan neraka sesungguhnya. Mobil ambulan yang boleh dibilang benda pembawa kematian itu masih teronggok. Ada banyak tubuh-tubuh yang tergeletak. Halaman sekolah mirip pemakaman duka yang penuh tubuh tanpa jiwa. Jisung mengkerut di tempatnya. Tangannya menggamit lengan Chenle.

Jaemin melanjutkan langkah selepas menarik nafas. Chenle dan guntingnya kini menyatu bagai langit dan awan. Mereka menuruni tangga. Pelan-pelan. Jangan sampai mereka tertarik mencabik-cabik mangsa barunya. Zombie-zombie itu menyebar di banyak titik. Kepala mereka mendongak ke atas sisanya sibuk mengendus-endus sesuatu. Sejauh ini baik-baik saja dengan syarat tidak ada bunyi yang lahir sekecil apapun.

End of UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang