10 tahun kemudian ....
"Sukurlah ... putriku telah siuman," sahut pria yang tampak muda, berdiri di sebelahnya. Membalas pelukan putrinya yang baru siuman, menangis histeris atas kematian teman satu-satunya. Hendak menceritakan semua kejadian yang telah ia lihat, tetapi sang Ayah menyuruhnya beristirahat lebih dulu untuk menenangkan diri. Ya, saat ini gadis bermata ungu Lavender masih syok setelah apa yang terjadi kemarin.
Hari ke hari, Ia terus mengurung diri. Tak hanya itu, ia membuat jarak dengan ayahnya sendiri karena suatu alasan. Dalam tragedi kematian temannya telah terjadi sesuatu di sana. Namun, tak dapat mengingatnya seakan ingatan itu perlahan memudar.
"Ayah ...," lirih Rai tak berani menatap, masih berdiri di depan pintu ruangan.
"Rai? ... Kemarilah, tidak baik meratapi orang yang sudah tiada terlalu lama," nasehat ayah kepada putri tunggal yang kini duduk tepat di hadapannya.
"Terkadang orang yang kita sayangi pasti akan pergi suatu saat, entah terpisahkan oleh waktu atau oleh kematian. Tapi, dari situlah kita bisa belajar arti keikhlasan dan kebersamaan," ucapnya melanjutkan perkataannya seraya menyusun puzzle-puzzlenya.
Merasa tak ada respon apapun, ia menghela napas pelan dan menoleh ke arah putrinya yang masih menundukkan kepala.
"Katakan."
"Ayah, Aku merasa ... akhir-akhir ini kekuatanku semakin membesar, rasanya... aku hampir lepas kendali ...," keluhnya lalu melanjutkan. "Apa ayah mengetahui sesuatu tentang hal ini?" tanya Rai menatap ayahnya yang kini membulatkan mata.
Sambil tersenyum, ayahnya menjawab, "Ayah baru sadar, kamu sudah berusia 10 tahun sekarang. Ayah rasa sudah saatnya kamu sekolah, di sana kamu juga akan dibimbing oleh seseorang dan kamu akan mendapat jawabannya nanti." Rai hanya menghela napas, mengangguk pelan. Sudah terbiasa mendapat jawaban yang sama, seakan Ayah menutupi sesuatu darinya.
Keesokan hari, Rai sudah bersiap-siap, keadaannya tampak semakin membaik membuat sang ayah tersenyum lega.
"Ayah ... Apa sebelumnya pernah terjadi sesuatu? Entah kenapa aku merasa telah melupakan sesuatu ... Seperti ... Ada memori yang hilang ...," kata Rai tanpa ekspresi, sangat berbanding terbalik dengan intonasi suaranya yang menunjukkan rasa kebingungan dan penasaran.
Ayah menggeleng pelan, tersenyum lembut. "Tidak, tidak terjadi apapun. Sudah, jangan memikirkan hal-hal yang tidak penting. Fokuslah ke depan, tidak perlu menengok ke belakang, perhatikan saja langkahmu." Rai mengangguk pelan mendengar perkataan tersirat dari ayahnya itu. Lalu, tampak Ayah mengambil sesuatu di dalam rumah dan kembali dengan membawa suatu benda panjang tertutup kain biru.
"Mungkin ini terlalu awal, sebenarnya ini adalah hadiah spesial untuk nanti saat ulang tahunmu tiba. Tapi, Rasanya kamu lebih membutuhkannya sekarang." Rai terdiam sejenak lalu menerimanya dengan senang. Begitu dibuka, ternyata sebuah pedang cantik. Tepat saat ia menggenggam, garis berpola akar yang ada di pedang memantulkan cahaya biru, mengeluarkan beberapa kupu-kupu indah yang langsung mengelilingi dirinya. Seolah ia dengan kupu-kupu tersebut memiliki suatu ikatan.
"Sangat indah, kan? Tapi, di balik keindahan terdapat racun yang mematikan. aku yakin kau pasti bisa mengendalikannya, Rai Na Seil." Rai hanya berbalik tersenyum dan berterima kasih atas hadiah yang selama ini ia inginkan sejak kecil. Menganggap perkataan ayahnya sekedar gurauan tanpa sadar, apa yang dikatakan itu sepenuhnya benar.
Rai terus melangkah, mengikuti jalan yang ayahnya tuliskan di secarik kertas. Menoleh Ke sana kemari, hanya ada tumbuhan di sekitar.
Wush ... tapp... bughh! ....
Pukulan dari samping nyaris tepat mengenai wajahnya. Namun, dipukulan kedua tak dapat dihindari lagi hingga mengenai perut sampai terpental. Belum sempat berdiri, dengan cepat ia berguling seraya mengatur napas menjauhi pedang yang hampir menghunus punggungnya.
"Hmm ...?" Menatap Rai di balik topengnya.
Baru saja berdiri, dengan cepat sosok topeng itu menghampiri dan kembali memberi serangan pukulan, Rai dengan reflek menyilang kedua tangannya sekaligus menutup mata.
"Perisai yang lemah!" seru si topeng yang masih berada di tempatnya sedangkan Rai tertahan mundur sedikit jauh.
"Ikuti aku, kamu dikirim untuk sekolah dan dibimbing olehku, kan?" Di akhir kalimat, ia langsung pergi dan tanpa menunggu jawaban, Rai segera mengikuti sosok topeng misterius itu.
Langkahnya yang begitu cepat membuat Rai kehilangan jejak, menoleh ke segala arah hanya terlihat sebuah gubuk kecil dan hamparan rumput yang luas di depan, ia terlalu fokus melihat lingkungan sekitar sampai tak menyadari keberadaan seseorang bersamanya. Sebuah selendang mengikat dirinya ke dahan pohon, terjadi begitu cepat hingga Rai tak sempat menghindar. Dari sudut mata, di samping ada seorang gadis cantik lebih tua dariku begitu santai duduk di dahan mengenakan pakaian putih dengan corak kuning di ujungnya.
"Anggap saja ini adalah penyambutanku untukmu, murid baru," ucapnya ringan dengan nada arogan.
Tepat di akhir kata, Rai langsung memotong selendang tersebut menggunakan pedang yang ayahnya berikan. pisau nya sangat cepat berubah wujud mengecil seakan mengikuti perintah dalam pikiran Rai. Hal itu membuat pemilik selendang berdecak kesal.
"Salahkan dirimu yang tiba-tiba menyerang, aku hanya ingin melepaskan diri dari selendangmu itu." Sambil merapihkan pakaiannya yang terkena debu pasir.
"Cih ... berani-beraninya-"
Tak sempat menyelesaikan kalimatnya, guru menghampiri mereka yang sedari tadi memperhatikan tanpa mereka sadari. Gadis yang berada di dahan pohon langsung turun, Rai memiringkan kepala menatap heran pada gadis itu yang menurunkan badan dengan melipatkan salah satu lututnya. Dengan kasar ia menarik pundak Rai ke bawah hingga salah satu lutut mengenai tanah. "Beri hormat pada guru, bodoh!" lirihnya berbisik.
"Rai, ikut aku," perintah guru dengan nada samar.
Kini mereka tiba di suatu tempat gubuk kecil dengan pagar besi mengelilinginya. "Kuberi waktu dalam seminggu, buatlah hewan itu menjadi jinak dengan salah satu cara yang harus kamu cari tahu sendiri. Ini adalah tantangan pertama untukmu, semoga berhasil!" Ia melambaikan tangan sebelum hilang dalam sekejap.
Rai menghampiri gubuk tersebut. Terlihat di balik pagar, ada seekor hewan kecil tertidur di dalam sana begitu menggemaskan. Memiliki tubuh seperti anak harimau, namun berbeda dengan wajahnya yang imut bagai seekor kucing. Saat hendak mengelus, Rai terkejut mendapati cakaran tepat mengenai lengannya. Kucing it- harimau kecil itu menggerung menatap tajam ke arah Rai, hewan ini memiliki refleksi yang sangat tajam.
"Kau terkejut? Sama kok," ucapnya, "Kau lapar ya?" tanya Rai seolah memahami anak harimau itu.
Rai merogoh kantong, memberi sepotong ikan salmon kaleng yang ia bawa dari rumah melalui sela pagar tanpa memperdulikan lukanya seolah tak merasakan sakit sedikitpun. Perlahan harimau kecil mendekat, walau masih terlihat ragu-ragu, ia mengambil ikan salmon dengan tangan kuku panjangnya yang runcing. Lalu, dengan lahap memakannya hingga menampakkan gigi taring kecil yang tajam.
Sesaat Rai berfikir, apakah ia bisa membuat hewan ini menjadi jinak padanya? Jika tidak berhasil dalam seminggu, artinya ia gagal menyelesaikan tantangan pertama yang diberikan. Tantangan pertama saja sudah terasa sulit, apalagi tantangan selanjutnya? Namun, setelah dipikir. Tidak ada kata sulit jika belum mencoba dan tidak ada gunanya jika mengeluh sekarang.
-
-
-
-
-
-
-
--
-
-
-Terima kasih, sudah membaca karya saya. Mohon kritikan dan sarannya apabila ada kekurangan🙏(^o^)
KAMU SEDANG MEMBACA
Merah, Abu & Biru (Series)
FantasySejak usia 10 tahun tumbuh rasa penasaran akan jati dirinya yang terasa berbeda hingga menemukan tujuan yang telah lama ia lupakan. Bagai boneka hidup, ia hanya menunjukkan wajah tanpa ekspresi dan tidak mengerti akan rasa emosional. Begitu dek...