"Aku tidak tau bantuan apa yang dia minta, dia hanya mengatakan padaku kalau kau harus mengikutinya. Mungkin, karena panik dia tidak bisa mengatakan dengan jelas," jelas Rai sembari mengingat perkataan anak kecil sore tadi.
"Jika benar itu terjadi, kurasa hanya sebuah keisengan saja," sahutnya seraya menyeruput teh kembali.
"Bagaimana bisa kamu berpikir begitu? Anak itu benar-benar meminta bantuanmu." Beberapa menit lengang, Rai membuka suara lagi, "Sebenarnya aku tidak peduli, apakah kau akan membantunya atau tidak. Aku hanya mneyampaikan janjiku pada anak itu untuk memberitahumu dan kini tugasku selesai," ucap Rai membalikkan badan, kembali ke tempat toko hiasan.
Ishiro menatap lamat cangkir teh yang ia genggam sedari tadi.
"Ada orang mengatakan hal yang sama padaku, kata-kata yang membuatku goyah ... mengapa? ... Mengapa harus teringat kembali memori yang kubenci! Karenanya, membuatku tidak ingin mempercayai dan tak peduli dengan siapapun lagi. Aku sadar, tidak ada yang benar-benar berhati manusia di dunia ini. Semuanya, hanyalah ilusi."
"Shiro, kulihat ada seorang gadis datang kemari? Dia Rai, bukan?" tanya Louie yang baru saja datang kembali.
"Tunggu .... Kata-kata itu ...," batinku, menyadari suatu hal.
"Jika sudah tau, tidak perlu bertanya lagi," ucapku tanpa menatapnya.
"Wah-wah, mengapa dia datang kemari? Apa dia mengatakan sesua-"
"Bukanlah khas kak Louie."
Aku langsung mengayunkan pedang dari arah bawah. Namun, ia berhasil menghindar bersamaan pemilik dagang teh berteriak histeris melihat kami.
"Ishiro? Mengapa kau menyerangku?" tanyanya terkejut.
"Berhenti menyamar!" desisku menatap tajam ke arahnya.
Sedari tadi, cara bicaranya berbeda dengan Kak Louie. Jelas sekali, dia adalah kakaknya, Leoui.
Suasana hening sesaat.
Sang empu malah terkekeh pelan, "Hah ... aku tidak menyangka akan ketahuan secepat ini," Sembari berdiri mengubah penampilannya yang asli.
"Kupikir dengan menyamar Kembaranku menghasilkan suatu yang dibutuhkan, ternyata selesai terlalu awal dengan hasil nihil."
Tepat diakhir katanya, aku langsung mengirim serangan tipuan dengan beberapa kepingan kaca tajam ke arahnya, ia menangkisnya dengan perisai teknologi. Tak hanya itu, aku akhirnya menggunakan kemampuan yang jarang kugunakan.
"Bagaimana kamu bisa seyakin itu? Kau sungguh yakin tidak mendapatkan sesuatu daritadi?" pertanyaanku membuat raut wajahnya berubah.
"Hah?" herannya, mengerutkan alis. Aku semakin menatap ia dengan intimidasi lebih dalam.
"Aku memang ti-"
Aku segera menyergahnya,"Sebaiknya, pertajamkan ingatanmu itu. Kau tak ingin tuhanmu mengamuk, kan?"
Terlihat raut wajahnya semakin kebingungan, tampak ia berpikir keras. Sayangnya, semua perkataan itu hanyalah hasil kemampuan sihir manipulasi pikiran, Maglighting. Aku melangkah ke sampingnya, membisikkan sesuatu. Seketika ia mematung bahkan tak sadar aku meninggalkannya.
Setelah menemui lelaki bernama Ishiro, Aku berkeliling mengikuti pagar karena ramai dan tidak begitu ingat jalan sebelumnya. Begitu melewati perbatasan hutan dengan pagar besi tinggi yang berbeda, Langkahku terhenti sekejap, merasakan suatu aneh yang berasal dari hutan ini, seperti ada sesuatu yang menarik tubuhku dan terasa ada yang menatapku di dalam sana. Namun, tidak ada apapun di sekitarnya selain plang yang tertulis 'DILARANG MASUK' disebelahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Merah, Abu & Biru (Series)
FantasíaSejak usia 10 tahun tumbuh rasa penasaran akan jati dirinya yang terasa berbeda hingga menemukan tujuan yang telah lama ia lupakan. Bagai boneka hidup, ia hanya menunjukkan wajah tanpa ekspresi dan tidak mengerti akan rasa emosional. Begitu dek...