Bab 2 -Delusi

79 32 0
                                    

Walaupun Tuhan memberikanku kesempatan tuk kembali, nyatanya aku masih terluka.

Satu menit.
Dua menit.
Lima belas menit.
Tiga puluh menit.

Waktu berlalu dengan cepat dan ia masih tidak sadar. Wajah gadis itu tampak pucat, terbaring lemas di atas ranjang. Sampai sebuah wangi semerbak khas minyak aromatik mampu mengusik dan menyadarkan ya.

"Non … bangun, Non. Non …," panggil wanita paruh baya itu sambil mengguncangkan tubuh Maera. Wajah pengasuh itu tampak pucat, ia sangat panik.

Maera melenguh, terbangun sambil merintih kesakitan dan memegangi kepalanya yang terasa sakit seolah semua sudut ruangan sedang berputar.  Bahkan, benda yang ada di depannya tak terlihat dengan jelas. Maera menatap seluruh sudut ruangan itu, hingga akhirnya tersadar bahwa ini bukan kamarnya dan sedari tadi ada seseorang di dekatnya. Ia  bangkit dari ranjang, lalu duduk dengan dahi berkerut.

"Bi ... tolong jelaskan apa yang terjadi," pinta Maera pada wanita tersebut. Maera terduduk lemas, bersandar pada sandaran ranjang sambil memeluk bantal.

"Non lupa?"
Maera mengangguk menandakan bahwa ia benar-benar tak tahu. Semuanya terlihat sangat asing untuknya.

***

Gadis itu tergeletak pingsan di depan pintu taman rumah Johannes, tepat di saat para pengawal keluarga Johannes sedang mencari Claire. Johanes, ayah Claire, mengira jika itu anaknya—tanpa tahu jika itu adalah Maera yang mempunyai wajah mirip Claire—lalu menyuruh seorang pengawal untuk membawa tubuh Maera masuk ke rumah. Tindakan ini membuat seluruh penghuni rumah terkejut, mereka tampak ricuh saat melihat Claire berada dalam dekapan seorang pengawal.

Johanes meminta sang pengawal membawa anaknya ke kamar. Setelah sampai, pengasuh segera membersihkan tubuh dan mengganti bajunya yang kotor dengan yang baru. Pengasuh itu sedang berusaha membuat anak majikannya sadar, saat terdengar suara langkah seseorang mendekat ke kamar.

"Claire!" Histeris Sean saat melihat tunangannya terbaring lemah di atas ranjang. Wajah lelaki itu seperti bulan di tengah langit pada pagi hari, tampak pucat tanpa rona.

"Claire, bangun!” Sorot kesedihan terpampang nyata di matanya saat dia meraih tangan sang kekasih ke dalam genggaman.

Sean merogoh saku dan memasangkan gelang ke tangan Maera seraya berkata, "Lihatlah, bukankah ini indah? Claire, andai kau tau aku tak ingin melihatmu seperti ini. Jadi, segeralah bangun. Buka matamu dan lihatlah, aku membawa hadiah yang kau impikan selama ini. Bukankah ini sangat cocok saat kau kenakan? Kurasa gelang ini memang dibuat untukmu. Aku tau kau tak menyukaiku, tapi lihatlah nanti, aku akan membuatmu jatuh cinta kepadaku. Lupakan Marsandes dan hiduplah denganku." Sean lantas mencium punggung tangan gadis yang didambakannya itu. Bibirnya mengering, membukam dirinya untuk mengucapkan serangkai kalimat.
Lelaki itu lantas bangkit. Mencoba terlihat baik-baik saja, padahal batinnya tersiksa.

"Bi, jika Claire sudah bangun … segera buat dia senang. Jangan lupa untuk mengabariku," ucap Sean sambil menatap gadisnya itu, lalu melenggang pergi.

"Baik, Tuan," sahut pengasuh Claire, lantas masuk kembali ke dalam ruangan.

***

Jadi aku di masa lalu? Aku Claire? Nggak mungkin! Bagaimana kehidupanku di masa depan? Apakah aku sudah tiada?

Maera tak habis pikir, mengapa ia bisa bertransmigrasi pada tubuh seorang gadis yang bahkan tak ia kenal. Mendengar penjelasan sang pengasuh membuatnya tampak linglung. Sedari tadi, ia hanya menatap kosong jendela yang ada di hadapannya. Pikirannya lebih ramai daripada sebelumnya. Dia hanya terdiam, melamun memikirkan misteri yang sama sekali tidak dapat dipecahkan.

Getuige [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang