Bab 22- Bintang

36 30 2
                                    

Bintang terindah adalah dirinya.

****

Sudah tiga hari Maera berada di rumah sakit. Dadanya masih sesak, tetapi sudah tak sesesak awal. Senyumnya makin terlihat cantik di wajahnya yang mulai ranum dan tak sepucat biasanya.

Ia masih bersama lelaki yang mampu membuatnya tak patah semangat. Lelaki itu masih setia walaupun telah menerima kepahitan untuk mendengar kejujuran yang membuat hati terluka dan terkhianati, tetapi Sean tetap menanti.

"Maera," sapa Sean. Lelaki itu kini sudah tak kaku dan canggung lagi saat memanggil nama gadis itu.

"Ada apa, Tuan kebun?" sahut Maera yang disusul tawa. Gadis itu kini menjadi dirinya sendiri.

"Tuan kebun?" Sean melipat tangannya sambil mengerutkan dahi. Ia mendekat untuk memupus jarak di antara mereka.

Gadis itu berhasil dibuat malu setengah mati. Maera tak berkutik saat Sean semakin dalam menatapnya. Embusan hangat napas pria itu bahkan menerpa pipinya.

"Sean, napasmu membuatku merinding," protes Maera sambil menahan napas selama beberapa detik. Tangan gadis itu  lantas mendorong wajah Sean agar menjauh dari hadapannya.

"Tapi kau sangat lucu saat kutatap dengan jarak dekat," seloroh Sean sambil terkekeh.

"Tidak lucu!"

"Sangat amat lucu bagiku. Apalagi pupil matamu yang mulai membesar, pipimu yang merona merah, dan bibirmu yang mulai bergetar gugup," sambung Sean.

"Terserah!" Maera memalingkan wajah. Gadis itu berjalan meninggalkan lelaki itu sendiri di lorong rumah sakit.

"Gadis yang lucu. Walaupun bukan Claire, tapi aku berhasil jatuh cinta untuk kedua kali dengannya," gumam Sean. Seperti biasa, ia langsung berjalan mengekori Maera.

Maera memutar tubuh. Alangkah terkejutnya saat melihat Sean sudah di depannya, bahkan jarak mereka tak ada sejengkal jari. Hal ini membuat Maera kehilangan keseimbangan, tubuhnya terhuyung hampir jatuh.

Hap

Namun, dengan sigap Sean menangkap tubuh gadis itu. Sejenak, kedua mata mereka bertemu kembali. Namun, tatapan itu hanya berlangsung beberapa detik. Untuk kedua kalinya, Maera memalingkan wajah. Gadis itu berdeham kecil.
Sean melepaskan gengaman dan mendorong tubuhnya ke depan. "Terima kasih Tuan Sean." Maera tampak canggung.

"Sama-sama," balas Sean serak. Lelaki itu mengusap tengkuk lehernya.
Aish, leherku tiba-tiba tercekat. Pasti Maera mengira aku sangat gugup, batin Sean sekali lagi.

"Eum, kenapa dengan suaramu? Sean, kau tadi habis makan gorengan atau makanan manis? Pasti belum minum, ya? Haus?" tanya Maera beruntun dengan khawatir.

Sean mengacak-acak rambut. Ia benar-benar sangat gugup sekarang. "Aku tidak apa-apa. Tadi aku habis makan kue. Sudah minum tapi kerongkonganku masih kering. Bagaimana kita pergi ke mencari minum? Apa kau tidak capek sedari tadi banyak melakukan aktivitas tapi belum minum."

"Baiklah, setuju."

Semakin dilihat dan semakin dirasa, kedua sejoli itu makin dekat seperti perangko. Apalagi keduanya saling curi-curi pandang.

"Sean, malam ini kita lihat bulan dan bintang, yuk! Ada yang ingin kuberi untukmu," ucap Maera dengan nada riang.

"Iya, Tuan Putri."

"Kenapa tak memanggilku sayang seperti dulu?" tanya Maera agak kesal, tetapi juga penasaran.

"Iya-iya, Sayangku Maera," tutur Sean memicingkan mata.

"Terima kasih, Tampan." Maera tersenyum semringah, dia mengalihkan pandang untuk menatap sekitarnya.

***

Di saat malam datang, penantian Maera tak sia-sia. Ia masih bersama lelaki gila itu. Sean sedari tadi menyanyi bermacam-macam lagu. Sebenarnya Maera agak bosan, tetapi ia tetap senang. Secara ia tak tahu kapan ia akan pergi meninggalkan lelaki itu.

"Sean, bukankah bintang itu paling bersinar dengan terang?" tanya Maera sambil menunjuk salah satu bintang di langit.

"Kau tau salah satu bintang yang terang itu ada di sini?" Sean bertanya balik sambil menghentikan permainan harmonikanya.

"Tidak, di mana itu?" tanya Maera penasaran.

"Ini. Dia yang menemani rembulan yang bersinar sendirian. Walaupun cahayanya ditutupi oleh kabut awan hitam. Dia masih bersinar terang," jawab Sean menunjuk Maera.

"Sangat masuk akal. Jadi aku bintangnya dan kau bulannya? Jadi aku akan menemanimu setiap malam bahkan siang?" tanya Maera lagi. Gadis itu menatap bintang yang ia tunjuk tadi dan rembulan secara bergantian.

"Iya." Sean mendongak mengikuti Maera.

"Apa mimpimu, Sean? Seperti apa gambarannya?" Maera mungkin sedang menginterogasi lelaki itu. Ia ingin mengenalnya lebih dekat.

"Mimpiku? Memilikimu. Gambarannya,  jika dulu orang lain berkata bermimpilah setinggi langit dan jatuh di antara bintang-bintang, tapi bagiku bermimpilah setinggi angkasa, mencapainya hingga ke langit dan jatuh di atas awan. Karena bintang hanya ada di setiap malam bukan di setiap waktu. Dan menurutku, jika kita jatuh di antara bintang itu akan menyakitkan."

"Karena bintang itu tak selembut awan. Begitu?" sela Maera.

"Anak pintar." Sean membelai kepala Maera dengan lembut. "Jadi, bermimpilah setinggi yang kau mampu. Lebih baik bermimpi melampaui langit dari pada tak memiliki mimpi sama sekali."

"Emm, kau bermimpi ingin memilikiku?" Maera memegang tangan Sean yang tadi mengusap kepalanya.

"Iya." Sean lantas diam tak berkutik.

The moon is beautiful isn't it?
Gadis itu termenung beberapa saat. Menatap kosong bintang-bintang dan memainkan jari-jemarinya. Kembali menghela napas berat, ia menikmati indahnya langit malam.

I’m sure you’ll get right now.” Sean menatap bulan dan wajah Maera secara bergantian. Ia secara jelas dapat melihat wajah gadis yang ada di sampingnya itu mulai bersemi.

Getuige [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang