Bab 17 - Pertunangan

36 24 2
                                    

Bagaimana caranya agar aku bisa mencairkan gunung es yang menyelimutimu?

****

Gemericik air terdengar dari belakang bilik pintu. Maera membasahi tubuhnya dengan belaian air dingin. Gadis itu bernyanyi, memancing suara burung bersiul mengikuti alunan adanya. Ia bahkan menari saking senangnya.
Hari ini adalah hari yang paling ia tunggu. Karena hari ini akan dilaksanakannya sebuah perjamuan. Secara, Maera sangat suka makan, meskipun anehnya ia tak pernah gendut.

"Nona, ini sepatunya!" teriak Luise terdengar tiba-tiba.
"Tunggu sebentar!" sahut Maera menjawab.

Saat Maera keluar, alangkah terkejutnya di sana malah ada Sean, bukannya Luise. Sean mengamatinya lekat. Seolah melihat dari pangkal rambut hingga ujung kuku kakinya. Lelaki itu tampak terdiam, tercengang seolah terpana oleh penampilannya. Hal ini membuat Maera merasa malu. "Mau apa di sini? Mana Luise?" tanya Maera pada lelaki itu. Gadis itu melangkah menuju meja riasnya.

"Luise sedang mengambil teh dan camilan untukmu. Aku di sini untuk menemanimu." Sean masih setia memandangi gadis itu dari belakang punggungnya.

"Modus!" Maera mengembuskan napasnya secara berat dan sibuk menyisir rambut panjangnya.

"Nona saya datang." Luise memasuki kamar Maera dan meletakkan dua cangkir teh dan setoples kue kering.

"Kenapa ada dua?" tanya Maera curiga. Gadis itu lantas menoleh ke arah Sean dengan tatapan memicing. Melihat lelaki itu hanya meringis membuat Maera kembali membalikkan tubuh menghadap cermin lagi.

"Kau masih marah padaku, Tuan Putri?" tanya Sean yang masih merasa bersalah. Ia duduk di sofa yang ada di sana.

"Menurutmu?" sindir Maera ketus. Ia kembali sibuk dengan aktivitasnya.

"Baiklah, aku akan memberimu waktu sendirian. Nanti malam aku akan menemuimu lagi." Sean pergi begitu saja, wajahnya tampak murung.

"Luise, sepertinya Sean sangat peka, ya? Dia sangat tau kalau aku ingin sendirian." Maera menatap bayangan Luise dari pantulan kaca.

"Iya, Nona, tampaknya Tuan Sean sangat menyukai Anda. Sampai-sampai tak mau menjauh dari Anda," ceplos Luise sambil terkekeh kecil.
Lelaki itu memang sangat lembut dan peka. Maera semakin terkagum-kagum oleh sifat Sean. Andaikan saja Maera bisa membawa Sean ke masa depan, pasti ia sudah melakukannya sejak dulu.

"Hari ini pertunangan Martines dan Ratna, bukan?" tanya Maera antusias. Ia tak sabar melihat pertunangan kedua orang tuanya. Walaupun ini bukan pernikahan mereka, tetapi Maera sudah sangat senang.

"Iya, Nona, sepertinya Anda sangat senang." Luise terkekeh kecil, dia membantu majikannya itu untuk menyisir rambut.

"Karena banyak makanan enak," ucap Maera terus terang dengan mata berbinar.

"Nona, Anda kenapa tak bilang? Kan, Anda bisa menyuruh saya," gerutu Luise pada Maera. Wanita itu tampak tak enak hati karena kurang peka pada gadis itu.

"Kau bukan pembantu yang setiap saat bisa kusuruh. Kau pengasuh sekaligus sahabatku, Luise." Maera berujar serius dengan senyuman kecil. Ia sangat nyaman berada di samping wanita itu, apalagi sejak awal mereka bertemu. Kini, matanya tampak berkaca-kaca memikirkan bertapa baiknya Luise selama ini padanya.

"Sudahlah, Nona, jangan menangis, saya ikut sedih melihatnya." Luise terenyuh melihat ketulusan nona mudanya. Ia mengelus bahu Maera dan memeluknya.

"Aku tak menangis hanya terharu saja." Maera mengusap pipinya secara halus. Ia kembali tersenyum, tak mau wanita itu sedih untuknya.

"Sudah, sekarang Nona sudah ssiap. Mari kita berangkat!" ajak Luise sambil menepuk bahu Maera.
Maera mengangguk, lalu beranjak untuk berdiri. Namun, ia berhenti sebentar untuk membenarkan sepatunya yang terselip. Gadis itu baru menyadari kehadiran Sean yang tampak melamun dengan pandangan kosong.

"Eum, Sean, ayo kita berangkat bersama." Maera merasa bersalah karena mendiamkan lelaki itu sedari semalam. Lelaki itu masih bergeming hingga Maera melambaikan tangannya di depan wajah Sean.

Sean masih murung, memasang wajah dingin. Ia menghela napas kasar, lalu berjalan mendahului keduanya. Lelaki itu tak bicara seperti biasanya.

Maera tambah merasa bersalah saat melihat Sean seperti itu. "Sean, tunggu aku!" Maera mengejar dengan langkah kaki yang pincang. Sepatu itu semakin terselip, menandakan bahwa pengait di antaranya telah lepas.

Bug

"Aww, sakit." Maera merintih kesakitan ketika kakinya tersandung akar pohon di halaman.

"Nona!" Luise berlari tergopoh-gopoh mendekati Maera yang sudah terjatuh.

"Claire!" Sean juga panik saat mengetahui gadis itu jatuh, dia segera mendekat. "Kau tidak apa-apa, kan? Ada yang luka?" tanya Sean kemudian membuka sedikit dress Maera sampai lutut. Alangkah terkejutnya ia ketika melihat lutut Maera mengeluarkan darah.

"Luise, ambilkan obat luka!" teriak Sean panik. Lelaki itu meniup berkali-kali kaki jenjang Maera sambil sesekali menatap.

"Ini, Tuan." Luise kembali dengan kotak perlengkapan pertolongan pertama. "Nona kenapa bisa sampai seperti ini?" selidik Luise yang tampak khawatir.

Bukannya menjawab pertanyaan Luise, gadis itu malah mendengkus keras. "Aww, sakit, jangan ditekan, Sean!" Maera merintih kesakitan saat Sean menekan lukanya dengan kapas beralkohol. "Perih, Sean! Kubilang jangan pegang!" omel Maera sambil menjambak rambut lelaki itu.

Sean mendongak, melepaskan jambakan Maera. "Kau sangat bawel," balas Sean ketus. Lelaki itu membopong tubuh Maera dengan bahunya yang kekar, lalu berjalan hingga sampai ke mobil.

"Turunkan aku, Sean!" Maera meronta. Luka di lututnya membuat gadis itu sulit bergerak cepat. Gadis itu semakin meronta-ronta meminta untuk diturunkan, tetapi cengkraman Sean lebih kuat dari usahanya.

"Diam, nanti kau malah jatuh. Ujung-ujungnya aku pula yang kau salahkan!" gerutu Sean memasang wajah kesal.

Tadi katanya tidak mau deket denganku, tapi sekarang dia tampak nyaman setelah kugendong. Dasar Claire! batin Sean.

Tidak terima karena digendong secara paksa oleh Sean, Maera memukul-mukul punggung Sean dengan keras, berusaha agar lelaki itu menurunkannya. Luise yang melihat tingkah laku sepasang kekasih itu jadi gemas dan salah tingkah sendiri.

"Ish, Claire kau tak bisa diam, ya?!" protes Sean saat Maera masih memukuli punggungnya. "Ini maumu!" Sean langsung melepas genggaman tangannya pada tubuh Maera hingga gadis itu jatuh ke jok mobil dengan sempurna.

"Sean!" Maera berteriak histeris. Gadis itu tampak cemberut, matanya memicing saat menoleh pada Sean yang menatapnya tanpa dosa.
Sean membalas tatapan Maera dengan lekat, yang membuat gadis itu salah tingkah. Sean menarik sabuk pengaman yang ada di samping Maera dan memasangkannya. Rasa gugup membuatnya refleks mencengkeram pundak Sean.

"Kenapa, kakimu masih sakit?" tanya Sean dingin meskipun melihat Maera meringis kesakitan.

Sean menghindar saat ia menyenderkan kepalanya pada bahu lelaki itu. Membuatnya refleks menoleh. "Dasar Sean menyebalkan." Maera mengalihkan pandangannya pada kaca mobil, melepaskan genggaman tangannya.
Sesampainya di acara, bukannya senang, Maera malah tampak murung. Matanya beradu dingin dengan Sean. Dasar lelaki menyebalkan! Dasar tidak peka! Maera mengumpat dalam hati.

"Caire!" teriak seseorang yang membuat Maera refleks menoleh.

Getuige [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang