Semua hal memiliki akhir dan semua pernah kehilangan.
****
"Claire, tunggu aku!" Sean berlari, berusaha mengejar Maera yang sudah menjauh. Ekspresi wajah lelaki itu tak senang menyadari gadisnya tengah marah.
Maera tetap melangkah dan tak menoleh sedikit pun Gadis itu tak peduli, ia terus menjauh dari tempat yang memilukan itu.
Selintas, ia terpikirkan dengan kejadian yang sama. Waktu itu, Juan mengejarnya saat pulang sekolah dan itulah saat terakhir Juan melihatnya. Ia masih ingat betapa dia tak mengacuhkan lelaki itu.
Embusan napas panjang keluar dari bibirnya. Langkahnya terhenti dan dia mendongak untuk menatap langit. Warna birunya masih sama—cerah dan dihiasi segumpal awan-awan putih. Kemudian, dia menunduk. Matanya penuh kesedihan menatap tanah yang kini dipijak. Berkali-kali dia menarik napasnya dalam sebelum memutuskan kembali berjalan.
Gadis itu merasa tersesat dan kehilangan arah pulang, ia termenung. "Di saat rumah bukan lagi tempat ternyaman untuk pulang, lantas aku harus melarikan diri ke mana? Meskipun aku selalu melihat kedua orang tuaku berkelahi setiap masa, tapi saat ini aku rindu rumahku.” Hatinya benar-benar pilu.
“Maaf langit, karena kau sering melihatku mencari tempat untuk singgah. Sebab pada tempat yang kusebut rumah, justru membuatku terasa asing. Maaf angin, jika kau selalu menjadi temanku saat aku sering di luar. Sebab di rumah kepalaku sering bertanya, betah itu apa? Tapi tetap saja bagaimanapun kondisinya, rumah adalah satu-satunya jalan pulang yang aku ingat ketika hilang." Ia terus bergumam dengan dirinya sendiri.
"Claire!" panggil Sean yang berhasil menyusul.
Maera sedikit terkejut, pasalnya dia tengah melamun. Ia berbalik setelah mengusap pipinya yang basah. "Kenapa? Bukannya kau harus berbicara dengan wanita itu? Kurasa dia sangat membutuhkanmu sekarang." Ucapannya sarkasme, sebelah alisnya terangkat penuh cibiran.
Namun, lelaki itu malah tak menjawab. Terdiam dengan pasangan kosong saat menatap wajahnya lekat. Dia melambaikan tangan di depan wajah lelaki itu sambil terus memanggil, "Sean?" Entah kenapa ia takut jika ada sesuatu hal yang membuat marah.
Sikap Sean tak terduga. Ia merentangkan tangan dengan senyum penuh permohonan. "Aku ingin memelukmu sebentar. Kumohon ….” Tak menunggu jawaban, ia menarik gadis itu ke dalam pelukan. Rasa hangat yang terpancar dari tubuh Maera membuatnya merasa nyaman. Ia memejamkan mata.
Maera terdiam membisu dan tak berani melawan. Ia tak berani menepis pelukan Sean. Dari sudut hatinya terdalam, ia menikmati kehangatan pelukan dari lelaki itu. Namun, ia merasa ada sesuatu yang mengawasinya. Gadis itu mengedarkan pandang, menatap sekitar dengan awas. Mengamati satu per-satu tempat-tempat di sekelilingnya. Pada akhirnya, matanya menangkap sesuatu di balik pohon besar. Seorang gadis bersembunyi di sana sambil menatap ke arahnya dan Sean. Ia merasa bahwa itu Kylie, gadis yang tadi terlihat terobsesi dengan Sean. Perlahan, Maera melepaskan pelukan tersebut dan berisik, "Sean ... lihatlah ke arah jam enam."
Dahi Sean berkerut dengan perintah itu, tetapi tak menolak. Kemudian ia menoleh dan terkejut mendapati apa yang ia lihat. Kylie masih mengikutinya. Hak ini membuat Sean segera menggenggam erat tangan Maera dan membawanya menjauh dari sana. Sikapnya terlalu terang-terangan untuk membuat Kylie cemburu. “Kita pergi saja!” ajak Sean.
"Kenapa?" tanya Maera. Ia melirik tangan kirinya yang digenggam oleh lelaki itu. Gadis itu baru sadar dengan ulah Sean.
"Ada yang ingin aku bicarakan." Sean kembali menoleh ke belakang dan kembali menatap gadis itu.
"Di sini saja." Maera melepaskan genggaman tangannya dari Sean sambil duduk di kursi yang menghadap ke arah danau. Maera mengalihkan pandangan dari Sean, kini menatap hamparan air danau.
KAMU SEDANG MEMBACA
Getuige [TAMAT]
Ficción GeneralMaera Larissa Azura, gadis pendiam, multitalenta namun cuek. Lahir di sebuah keluarga yang selalu berpura-pura utuh dan harmonis. Ia gemar sekali membaca dan menggambar. Jadi, tak heran ia betah berlama-lama di perpustakaan. Namun, kehidupannya lebi...