Memang benar jika seorang penjahat tak akan pernah mengakui kesalahan. Walaupun kesalahannya sekecil debu sekali pun.
****
Mereka berjalan melewati taman, beberapa tempat itu kini terpasang garis polisi. Tampak dedaunan yang gugur berjatuhan memenuhi jalanan tersebut.
Sepatunya tiba-tiba menginjak sesuatu, yang membuat Maera langsung menunduk. "Mmm ... apa ini?" Ia memungut sebuah potongan kain yang berbau anyir dan terdapat beberapa bercak darah.
Mata gadis itu membulat saat teringat bahwa itu adalah penutup wajah yang dipakai salah satu komplotan yang membunuh Marsandes waktu itu."Sean!" Maera menjerit membuat Sean terkejut. Lelaki itu mengernyit bingung seakan bertanya mengapa.
"Lihat ini! Kain ini yang dikenakan komplotan itu."Sean mengamati barang tersebut. Sedangkan Maera menggigit bibir bawah dan memainkan jarinya-cemas. Bahu gadis itu mulai bergetar, kemudian bening-bening kristal mulai berjatuhan di pipi. Kedua tangannya menutup wajah, berusaha menyembunyikan isakan yang perlahan histeris.
"Sstt, jangan menangis ...." Sean mengusap bahu Maera dengan iba.
Namun, tangis Maera malah semakin kencang. Membuat Sean panik, apalagi semua pandangan mulai mengarah kepada mereka."Apa kau tak malu jadi tontonan?" tegur Sean yang tampak kewalahan. Ia mengusap pelan bahu Maera, lalu mendekatkan dirinya pada gadisnya itu.
"Tidak, tidak!" Maera memekik histeris, begitu panik kala sentuhan Sean di bahu membuatnya terkejut. 0erasaan takut menguasai dirinya kembali.
"Diamlah atau kutinggal kau di sini!" ancam Sean berbisik.
"S-sean ...." Maera bergetar hebat di tempatnya duduk. Mulutnya berusaha meredam suara, seolah menyembunyikan raungan panjang nan menyedihkan.
"Sepertinya aku tahu logo ini." Sean bergumam, mengamati kain berdarah yang memiliki lambang '$' bernuansa silver tersebut.
Maera membuka matanya, kemudian mengamati dengan saksama. "Ayo kita cari Sean ... ungkapkan semuanya. Aku sudah lelah." Wajahnya sayu sepeti bunga yang semula indah menjadi layu.
"Baiklah. Tapi jangan menangis lagi."
Maera mengangguk, mengusap wajahnya yang sudah basah. Berusaha tersenyum sambil memberikan kode jemari yang menandakan ok.***
Dada Martines naik turun, emosi hampir meluap-luap. Tatapannya tajam dengan raut wajah berkerut tak enak dipandang. Alisnya yang tebal saling bertaut.
"Mengaku saja itu kau, bukan? Jangan menuduhku, Martines!" gertak Samuel-sepupu Martines. Ia menggertakkan giginya, melepas kasar jas hitam yang ia kenakan.
"Jangan mengarang cerita, Sam. Punya otak tidak? Jika punya dipakai! Kau lihat kemarin aku pulang babak belur setelah ditemukan warga sekitar di dekat danau. Pikirkan dengan logis, sedangkan anak itu mati di taman, berngsek!" Martines berucap dengan tajam. Ia meringis saat salah satu sudut bibirnya kembali berdarah.
"Lah? Bukannya kalian sering bertengkar, hah?" protes Samuel yang tak mau kalah. Lelaki itu menghujani ayah Maera dengan tatapan benci seraya menggulung lengan kemeja hitamnya. Seolah-olah ia siap menghajar kakak Marsandes itu.
"Kau juga tiap bertemu selalu bertengkar sampai babak belur. Sedangkan aku dengan dia hanya beradu dingin, bukan beradu fisik, apalagi bertengkar karena jabatan." Martines membalas ucapan Samuel dengan jawaban yang menohok. Urat di lehernya terlihat jelas kala rahangnya mengeras.
"Martines!" Tanpa aba-aba, sebuah pukulan keras mengenai rahang Martines. Tak hanya itu, Samuel juga menyeret Martines dari kamar ke ruang tamu.
Lelaki itu menyentuh rahangnya yang masih terasa berdenyut. "Sok jadi jagoan kau?!" Martines berusaha melepas tangan Samuel yang menarik kerah bajunya dengan kasar.
"Kau yang bunuh Marsandes!" tuduh Samuel pada Martines. Ia mendorong tubuh Martines hingga membentur dinding.
"Kubilang bukan aku, Bajingan!" Martines menghempaskan tubuh Samuel ke lantai dengan kasar, hingga membuat lelaki itu terbentur dengan keras. Ia menatap tajam bak seekor elang. "Keluar dari sini sekarang, sebelum kau babak belur!" titah Martines, "pergi!" Martines berseru lantang, membuat Samuel kaget.
Samuel bangkit dari posisinya, kemudian kembali mendekat dan menatap ke arah Martines dengan lekat. "Selagi nenek masih anggap aku sebagai cucunya. Aku tidak akan pergi dari sini. Kau tidak berhak mengusirku dari rumah ini!" tegas Samuel."Kau tidak berhak ada di sini!!" Martines mendorong bahu Samuel dengan keras beberapa kali hingga membuat lelaki itu mundur beberapa langkah.
"Tolong dengarkan ini baik-baik! Bukan aku yang bunuh adikmu!" seru Samuel berusaha mendorong Martines balik. Mempersempit jarak di antara mereka sambil menatap tajam sepupunya itu dengan penuh kebencian.
"Aku tidak ingin medenger suaramu sedikit pun!" Martines meninju pelipis Samuel, membuat lelaki itu meringis kesakitan.
"Dasar lelaki gila jabatan yang menuduh orang sembarangan!" gertak Samuel. Ia mengangkat dagu tinggi sambil membusungkan dada-sombong.
"Bukan aku yang membunuhnya. Itu sudah jelas kelakuanmu!" tuduh Martines dengan wajah yang sudah kesal.
"Mau sampai kapan kau menuduhku? Sampai kapan?" Ia membalas tinjuan Martines dengan pukulan yang mengenai bibir lelaki itu. Tampaknya, Samuel tidak mau kalah dalam perdebatan ini.
"Samuel!" Miska yang baru saja datang, seketika memekik histeris melihat anaknya bertengkar. Ia berlarian cepat mendekati dan bermaksud melerai kedua anak itu. Namun, yang ia dapat malah sebuah pukulan keras yang mengenai pahanya.
"Samuel! Berani-beraninya kau memukul Ibuku!" Refleks, Martines langsung menarik pergelangan tangan kanan Samuel. "Masih mau bertengkar denganku lagi, hah?" Ia semakin kencang memelintir tangan lelaki itu.
"Lepas, Martines!" Samuel menghardik sambil merintih.
"Lihat saja, aku akan buktikan kalau aku tidak bersalah!" Martines menghempaskan tubuh Samuel kasar.
Rahang Samuel mengeras, giginya saling beradu. Ia menatap Martines dengan kesal, kedua tangannya mengepal dengan keras. Kemudian, ia melepaskan kekesalannya untuk membalas pukulan.Namun, kali ini Martines bergerak lebih cepat untuk memukul wajah Samuel hingga tertunduk dan mundur beberapa langkah. "Mulai sekarang, jangan pernah berurusan denganku lagi!" Martines menendang perut Samuel dengan sadis.
"Martines, cukup!" Miska menahan lengan anaknya, ia tak ingin melihat Samuel dihajar lagi. "Sudah, Nes, hentikan!"
"Dua menit! Kalau tidak pergi juga, habis kau!" tegas Martines dengan kesal pada Samuel. Lalu, ia memutar tubuh dan mengamati ibunya lamat-lamat, memeriksa apakah wanita yang merawatnya itu baik-baik saja atau tidak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Getuige [TAMAT]
General FictionMaera Larissa Azura, gadis pendiam, multitalenta namun cuek. Lahir di sebuah keluarga yang selalu berpura-pura utuh dan harmonis. Ia gemar sekali membaca dan menggambar. Jadi, tak heran ia betah berlama-lama di perpustakaan. Namun, kehidupannya lebi...