5. Menghindar

7 0 0
                                    

Arkano membisu, sama halnya dengan Aqila. Perempuan itu hanya bisa menunduk setelah mengucapkan kalimat tadi. Ada gejolak yang rasanya ingin meledak, tapi sebisa mungkin ditahannya mati-matian. Namun, usahanya sepertinya akan gagal, ia akan jujur saja pada lelaki di depannya.

"Tapi bohong!" Tawa Aqila mengudara begitu saja dengan bebas. Akhirnya gejolak tawa sedari tadi ditahan mendapatkan pelampiasan juga. Setidaknya ia sukses membalas perbuatan lelaki yang menyebalkan itu. Enak saja main bentak-bentak hingga membuat kupingnya sakit.

Ekspresi kesal tercetak jelas di wajah lelaki berhidung mancung itu sekalipun orang itu membuang muka ke arah samping. "Jangan harap lo bisa gue maafin!" ucapnya sengit.

"Kyaa ... merajuk nih, ye!" goda Aqila.

"Lo pikir ini lucu?!" bentak Arkano lagi.

"Iya deh iya, aku minta maaf," ucap perempuan itu dengan nada rendah.

Sebuah ide cemerlang terbit di otak lelaki itu. Jika perempuan itu saja sukses membuatnya menahan malu, kini giliran dirinya yang akan membalikkan keadaan. Kontan saja senyum miring tercetak di wajahnya. "Aku bakal maafin kamu, dengan satu syarat!" ucapnya santai.

Bukannya penasran, Aqila justru malah fokus pada pergantiang kata "Lo-Gue" menjadi "Aku-Kamu". Ia ingat betul saat lelaki itu uring-uringan, penggunaan penyebutannya "Lo-Gue", dan sekarang tiba-tiba menjadi "Aku-Kamu" lagi, sama seperti saat di sekolah.

"Jadi, dia ini tipe manusia yang sopan saat baik dan berubah ugal-ugalan kalau marah," gumam perempuan bersurai hitam itu menyimpulkan.

"Woi! Lo nggak dengerin gue?" bentak Arkano bersamaan tangan yang menepuk pundak lawan bicaranya.

Kaget, Aqila spontan mengelus dada. "Ah, kamu tadi ngomong apa? Maaf aku ngelamun."

"Gue bilang, gue bakal maafin lo, asal lo melakukan 1 syarat yang gue kasih."

"Apa?"

"Lo harus minta maaf sama gue pas jam istirahat pertama di tengah lapangan. Lo harus teriak sekencang-kencanganya, biar gue yang duduk di pinggiran lapangan denger." Arkano bersedekap. "Gimana? Apa lo setuju?"

"Hah? Apa-apaan sih? Aku nggak mau!" tolak Aqila mentah-mentah.

Baiklah, Aqila memang kerap mengorbankan apapun demi meminta maaf. Tapi ada satu hal yang sulit ditoleransi oleh perempuan itu. Makan.

Jika jam istirahat ia gunakan untuk ke lapangan, lalu bagaimana dengan nasib bekal tempe gorengnya? Mana bisa Aqila tak memakannya hanya dengan karena ingin meminta maaf yang bisa saja di ganti lain waktu.

"Ya udah, kalau gitu selamat menjadi musuhku!" Arkano memundurkan badannya untuk bersiap pergi. Sebuah cekalan tangan membuat kaki yang hendak melangkah menjadi urung.

"Oke, aku mau. Tapi awas aja ya kalau kamu nggak ada di dekat lapangan, aku juga gak mau!" ucap Aqila tegas sekaligus ada luapan emosi kesal. Jika sampai lelaki itu tak memaafkan, ia enggan lagi mencari Arkano. Karena lelaki itulah juga ia sudah berkorban dengan jadwal istirahatnya yang berharga.

"Deal!" Arkano mengulurkan tangan kanannya pada perempuan di depannya.

"Deal!" balas Aqila dengan menjabat tangan Arkano.

"Dan sampai hari itu tiba, jangan temui gue lagi!"

***

Tepat pukul sembilan malam, Aqila dan Martina memberesi perlatan jualan. Bahan untuk membuat gorengan sudah habis, artinya mereka sudah bisa pulang. Peralatan memasak seperti kompor, wajan, minyak dan baskom yang tak pernah di bawa pulang dititipkan pada sebuah gudang milik orang yang rumahnya tak jauh dari warung. Martina memberikan beberapa potong gorengan sebagai imbalan karena mengizinkan menitip barang.

Like SunflowerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang