Malam itu Minji berjalan sendirian di tempat yang sunyi. Dia mengingat kenangan manis saat orang tuanya masih bernapas.
Minji adalah anak satu-satunya, sudah tentu kedua orang tuanya akan sangat memanjakan dia. Memberikan yang terbaik padanya.
Minji juga selalu membanggakan mereka seperti yang di harapkan. Hanya saja, kemalangan terus berdatangan semenjak ayahnya meninggal.
Ini bukanlah takdir, melainkan seseorang telah mengatur skenario buruk tersebut.
Berjalan tanpa alas kaki, Minji tak peduli. Lantas, bagaimana dia bisa keluar tanpa sepengetahuan yang lainnya?
Saat itu jam satu malam, Hyungseok serta yang lainnya telah berada di alam mimpi kecuali Minji.
Di sinilah dia sekarang, menghadap ke arah sungai yang mengalir deras. Dirinya berusaha tersenyum walaupun berat, matanya berair.
Tiba-tiba seseorang membekap mulutnya hingga Minji tak sadarkan diri.
Pagi harinya, Mijin bangun lebih dulu. Setelah penglihatannya jelas, dia berniat ingin membangunkan Minji.
Namun, justru kekosongan lah yang dia dapatkan.
"Minji?" teriaknya membuat seisi rumah terkejut.
"Minji kenapa?" tanya Hyungseok yang lantas membuka pintu kamar dan melihat Mijin hanya seorang diri.
"Minji menghilang."
Sontak saja hal itu membuat mereka merasa telah benar-benar gagal menjadi teman. Seharusnya mereka tetap terjaga dan mengawasi gadis itu.
Di sisi lain, Minji tersadar dari pingsannya dan samar-samar menatap seseorang yang telah duduk di depannya.
Hingga penglihatannya jelas, dia terkejut dengan apa yang dia lihat.
Sayangnya dirinya telah di ikat, bahkan mulutnya pun tak bisa berbicara, karena di ikat menggunakan kain.
"Akhirnya gadisku bangun. Menyenangkan memukulku kemarin?"
Minji hanya bisa menatap pria tersebut dengan kesal sekaligus takut.
"Kenapa? Ayo bicara seperti kemarin kau memakiku. Bukankah itu menyenangkan?"
Ia mendekat, lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Minji.
"Kau sendirian sekarang, bahkan orang tuamu tak dapat menolongmu."
Dia sedikit meniup telinga Minji dan tersenyum puas.
"Jangan menangis."
Yoojin menghapus air mata Minji dan menatapnya penuh ambisi.
"Kau tahu ... Aku menunggu saat-saat ini. Membuatmu menjadi milikku seorang, hanya aku dan kau."
Minji memejamkan mata saat Yoojin membelai sensual pada pipinya.
"Apakah kau rindu dengan semua sentuhanku? Atau kau menginginkannya?"
Minji kesulitan bergerak, tiba-tiba pintu terketuk. Yoojin pun mempersilahkan masuk.
Itu adalah Hyungseok, Minji ingin terkejut tetapi ia urungkan niatnya.
"Ah, kebetulan sekali pengawal pribadinya datang."
Entah senyuman apa yang Yoojin tampakan, ia lantas melepas kain yang berada di mulut Minji dan menyentuh lembut bibir gadis itu.
Hyungseok berusaha untuk tak melihatnya, begitu juga dengan Minji. Dia meminta dalam hati agar pria itu memalingkan saja wajahnya.
Yoojin pun melumat paksa bibir Minji, masuk dan beradu lidah. Menukar saliva keduanya hingga ia rasa bibir Minji sendikit membengkak.
"Kalian boleh keluar kecuali pengawal pribadinya."
Setelah hanya tersisa mereka bertiga, Yoojin dengan bringas merobek pakaian milik Minji hingga tersisa bra berwarna hitam.
Hyungseok terkejut dan harus tetap bersikap profesional, sementara Minji telah menangis menahan malu.
"Tolong, jangan lihat ke arahku!"
Saat akan menyentuh, tiba-tiba dering di ponselnya mengganggu.
"Halo?"
''Cepatlah kemari, sialan. Ada yang ingin bertemu denganmu, jika kau tidak datang maka kita akan mengalami kerugian besar."
"Baiklah baiklah."
Setelah panggilan terputus, Yoojin menatap malas dan meletakan kembali ponsel ke dalam sakunya.
"Kau ganti pakaian Minji, aku harus segera ke perusahaan."
"Baik."
Yoojin langsung saja keluar dari sana, sementara Minji masih menangis dengan keadaan yang memprihatinkan.
Sekitar lima menit, akhirnya Hyungseok berlari dan membuka jasnya, menutup tubuh Minji yang terekspos.
"Harusnya kau lari dan jangan kembali. Kenapa kau ke sini?" tanyanya.
"Aku mana mungkin membiarkanmu bersama dengan pria bajingan itu."
"Aku akan membawamu ke kamar."
Dia melepas ikatan pada Minji dan membawa gadis itu ke kamar Yoojin.
Begitu pintu terkunci, Minji lantas mencium dan melumat bibir Hyungseok.
"Kau tidak ingin tubuhku ini menjadi milik Yoojin, kan? Maka kau harus membersihkannya."
Hyungseok tahu ke mana arah pembicaraan Minji.
"Ayo mandi bersama!"
Hyungseok tahu ini gila, tetapi melihat bagaimana Minji menatapnya sendu dengan perasaan yang sudah sangat pasrah, membuatnya sulit untuk menolak.
Bukan tanpa alasan dia melakukannya, lagi pula teman-temannya sedang berjuang untuk membuat jalan agar Minji bisa kabur lagi.
Namun, firasat Hyungseok kali ini sedikit lain. Entah kenapa, dia merasa seperti Minji sengaja melakukan ini agar dia bisa pergi dengan bebas.
Tidak, Hyungseok tak boleh berpikiran seperti itu. Bagaimana pun caranya, dia akan membuat Minji terus berada di sampingnya.
Sejujurnya, Hyungseok telah memendam perasaannya pada Minji sejak awal mereka bertemu di kantin.
Tatapan mata Minji yang terlihat bersinar itu mengalihkan perhatian Hyungseok dan setiap kali bertemu dengannya, jantungnya akan berdetak cepat.
Minji adalah gadis yang benar-benar membuat Hyungseok menderita karena senyumannya yang tulus.
Bisa berbalas pesan dengan pujaan hatinya saja, sudah membuatnya seperti orang gila apalagi sampai berada tepat di sebelahnya.
Hyungseok juga masih ingat jelas bau manis dari tubuh Minji yang sampai sekarang masih tercium jelas.
Hyungseok suka ketika Minji bercerita tentang dirinya diiringi dengan senyuman manisnya. Ia suka itu.
Sangat amat suka!
Bersambung...
Huhu sabar ye Seok :(
Hidup tak seindah yang kita bayangkan sih...
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Yang Runyam (Lookism)
FanfictionApa jadinya seorang gadis yang kehilangan kedua orangnya harus terjebak dengan iblis bernama Yoojin? Nasib seperti apa yang akan dia dapatkan? Lalu tiba-tiba munculah Hyungseok, selaku pria yang sudah mencintai Minji. Bisakah mereka melarikan diri d...