Dimas dengan penampilannya yang eksentrik berjalan memasuki lobby dengan di ikuti oleh Pak Iskandar dan beberapa petinggi hotel.
Kemeja putih yang dibalut dengan jas berwarna hijau tua. Lalu jangan lupa dengan dasi merah maroon dan lensa kontak berwarna biru terang. Rambut putihnya saja sudah sangat mencolok, ditambah lagi dengan penampilan yang lainnya. Benar-benar aneh tapi cukup menawan karena pemuda itu memiliki perawakan tinggi dan tampan. Tentu saja semua itu akan di menangkan oleh si orang berwajah rupawan.
"Jadi, dia beneran datang ke sini?" Dimas mulai bertanya pada Pak Iskandar yang selalu setia berjalan di sampingnya. Satu-satunya orang yang dipercaya oleh keluarga Dimas untuk mengelola usaha yang belum bisa Dimas urus seorang diri.
Pak Iskandar mengangguk membenarkan yang membuat senyuman di wajah Dimas mengembang dengan sempurna.
"Apa dengan wanita itu?" Tanya Dimas lagi berusaha memastikan.
"Benar. Dia datang ke sini dengan seorang wanita. Memesan satu kamar lalu check out di keesokan harinya. Datang bersama dan pergi bersama pula. Sudah pasti jika mereka menghabiskan malam yang indah." Pak Iskandar menjelaskan secara rinci. Ia lalu menyerahkan amplop cokelat kecil kepada Dimas yang langsung di terima oleh anak majikannya tersebut.
Tersenyum senang, Dimas lalu melambaikan tangannya di depan pak Iskandar dengan gerakan seolah dia tak peduli. "Jangan membuat otak polosku ini traveling. Kerja yang bagus, pak Is. Oh ya, Jika ingin kenaikan gaji, pak Is tinggal bilang aja. Berapapun itu aku pasti bakalan kasih," janji Dimas benar-benar layaknya seperti tuan muda yang bodoh.
Pak Iskandar yang mendengar ucapan Dimas tampak tak terkesan. Pria paruh baya itu lalu berdehem pelan mencoba menutupi senyuman gelinya yang terasa menggelitik. "Mohon maaf. Tapi, saya menggaji diri saya sendiri," jawab Pak Iskandar yang membuat senyuman Dimas hilang dalam seketika.
Satu hal yang pemuda itu lupakan. Bahwa faktanya semua urusan Perusahaan, anak buah, gaji dan bahkan rumah yang di tinggali Dimas sepenuhnya di urus oleh pak Iskandar. Dirinya tak lebih seperti anak manja yang kerjanya menghabiskan uang yang tentunya di hasilkan oleh pak Iskandar sendiri. Meski tentu yang di kelola oleh pak Iskandar adalah hasil peninggalan orang tua Dimas, tapi tanpa campur tangan pria paruh baya itu, tentu semuanya tak akan sebesar seperti sekarang.
Mengulum bibirnya dalam. Kepercayaan Dimas seketika langsung menciut. "Oh iya. Maaf pak Is."
Lihatkan? Sebodoh itulah Adimas Al Farizi.
oOo
"Apa? Cucu?" Suara Paula terdengar cukup nyaring di telinga Ara yang tengah membereskan buka dan laptopnya. Jam pelajaran telah usai dan beberapa dari mereka telah pergi meninggalkan kelas yang membuat suasana di sekitar cukup hening. Hanya beberapa yang tersisa dan kebanyakan dari mereka tak memperdulikan suara Paula karena terlalu sibuk dengan pemikiran untuk pulang.
Ara menghembuskan napas lalu mengangguk dengan raut wajah sedih. "Aku bingung."
"Lalu tanggapan suami kamu?" Tanya Paula penasaran. Namun kali ini sebuah gelengan kepala yang gadis itu terima.
"Aku belum cerita."
"Kenapa?"
"Dia bersikeras mengatakan ingin memiliki anak tepat setelah umurku genap berusia 26 tahun."
"Kenapa begitu?" Tanya Paula yang lagi-lagi membuat Ara menggeleng tak pasti.
"Aku juga gak tahu." Ara juga penasaran. Tentang alasan Dazel yang berkata demikian didepan kedua orang tuanya. Kenapa harus 26 tahun? Apa dia berencana mengajak cerai saat umurku menginjak 26? Ara benar-benar penasaran dan belum menemukan jawabannya sampai sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Great Mask
RomanceBerlakon adalah keahlian. Jatuh Cinta adalah keajaiban. Namun jika itu sampai melibatkan perasaan, harus bagaimanakah jadinya? . Pernikahan yang Sempurna. Terlihat mempesona dan menyilaukan mata bagi siapa saja yang melihatnya. Harmonis dan saling m...