bab 3. Ara Clarissa

61 9 0
                                    

     Wajah Ahsan terlihat menatap Ara dengan khawatir. Alisnya berkerut yang menambah rasa heran Ara saat melihatnya. Jarang-jarang Ahsan bersikap seperti itu, atau mungkin tidak pernah sekalipun? Tapi, apa yang terjadi sekarang?

     Mata Ara berkedip beberapa kali. Ia heran dengan sikap kakak pertamanya yang sangat jauh dari dugaan. "Aku... Bahagia," kata Ara akhirnya yang membuat senyuman di wajah Ahsan mengembang. Terus mengembangkan sampai menunjukkan sebuah senyuman sinis yang membuat Ara tercengang. Gadis itu sudah menduganya. Ahsan adalah rajanya dari semua orang gila. Psikopat yang menakutkan.

     "Bahagia? Huh!" Ahsan mendengus dengan kasar seraya memalingkan wajah. Sifat aslinya telah kembali. Pria itu bahkan kembali menatap Ara dengan tatapan benci yang amat sangat.

     "Berani-beraninya orang seperti kamu! Anak yang lahir dari dosa orang tua mana berhak untuk bahagia. Kamu dilahirkan sebagai penebus dosa. Maka dari itu, hiduplah dengan penuh kesengsaraan. Rasa sakit yang kami rasakan akan berpindah padamu sampai rasanya kamu gak ada pilihan lain selain mati. Itulah takdir seorang anak haram. Jadi jangan pernah berani bermimpi untuk hidup bahagia." Ahsan berucap dengan begitu kejamnya.

     Ara sekuat tenaga menahan agar air mata tak keluar. Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat seraya menggigit bibirnya menyalurkan semua amarahnya.

     Selalu dan selalu. Ara mulai mengatur napasnya seraya mencoba tersenyum meski itu membuatnya terasa pahit.

     "Sekarang aja rasanya aku pengen mati. Apa kamu bisa membantuku? Aku mohon," pinta Ara menatap pria di depannya dengan bendungan di matanya yang begitu jelas. Ia putus asa. Ia juga tak minta untuk dilahirkan. Ia tak berniat untuk hidup dan menerima semua kebencian itu seorang diri. Jika boleh, ia benar-benar ingin mati.

     Ahsan kembali mendengus lalu menggeleng pelan. "Lakukanlah sendiri. Kamu pikir aku akan mengotori tanganku hanya untuk manusia hina seperti kamu? Jangan mimpi."

     Ara memaksa tersenyum meski dadanya terasa sangat sesak. Sepertinya kematian tak akan menghampiriku dengan mudah.

oOo

     Dazel mengemudikan mobilnya dengan perasaan canggung. Diamnya Ara tentu membuat suasana di sekitar menjadi canggung dan menegangkan.

     "Tadi... Ahsan ngomong apa?" Tanya Dazel akhirnya setelah cukup lama dirinya merasa penasaran.

     Setelah berbincang sebentar dengan sang ayah mertua dan hendak mengajak Ara untuk pulang, tak sengaja ia melihat Ara dan Ahsan yang berbicara serius didepan kamar nenek mereka. Terlihat serius, berbisik-bisik, dan tatapan mata yang saling melemparkan kebencian. Seumur hidup, baru pertama kali dirinya melihat hubungan persaudaraan yang begitu jelek seperti yang tengah di alami oleh Ara dan kedua saudaranya. Benar-benar hubungan yang begitu mengerikan.

     "Kamu gak perlu tahu," jawab Ara tak berniat untuk berbicara panjang lebar dengan suaminya.

     "Apa dia mengancam kamu?" Tanya Dazel yang tak mengindahkan jawaban Ara. Pria itu benci dengan keheningan yang terjadi diantara mereka saat ini. Cukup keluarga Ara saja yang membuatnya seakan hidup di kuburan, istrinya jangan sampai.

     Pertanyaan Dazel sukses mendapat delikan kesal dari sang istri. Ara benar-benar tak berselera untuk mengeluarkan suara. Tapi tingkah Dazel benar-benar menguji kesabarannya.

     "Apa peduli kamu? Menyetirlah dengan benar."

     "Kita sudah menikah. Kita juga sepakat untuk menjadi teman. Jadi ceritakanlah apapun yang mengganggu pikiranmu saat ini."

The Great MaskTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang