bab 6. Let's do it

91 7 1
                                    

     Malam hari dikamar Ara.

     Ara menatap layar laptop di depannya dengan pandangan serius. Konsentrasinya tiba-tiba terganggu saat mendengar suara geraman mobil sport milik sang suami yang baru memasuki pekarangan rumah mereka yang luas.

     Menatap jam dinding yang tertempel di kamarnya, sebuah senyuman miring terlukis di wajah Ara saat jam menunjukkan pukul 10 malam.

     "Beruntungnya tadi aku gak nungguin dia," Ara bergumam pelan lalu segera menyelesaikan tugasnya dan pergi tidur. Meletakkan laptop di atas laci dekat tempat tidur, Ara lalu mematikan lampu dan merebahkan tubuhnya dengan nyaman. Kebiasaanya adalah begadang menunggu kepulangan suaminya lalu kemudian segera pergi tidur saat suara mobil suaminya sudah terdengar.

     Keduanya memang tidur terpisah, tapi terkadang Dazel akan mengecek Ara di kamar apakah istrinya itu begadang atau tidak. Seperti seorang Ayah yang pengertian, jelas Dazel tak menyukai kebiasaan Ara yang dikenalnya suka begadang.

oOo

     Keesokan harinya.

     Suasana hening senantiasa menyelimuti acara sarapan Dazel dan Ara yang terbiasa sibuk dengan pikirannya masing-masing.

     "Makasih..." Dazel tersenyum senang saat Bibi Hwang meletakkan kopi panas dihadapannya. Kebiasaan Dazel yang menyukai minum kopi setelah sarapan mengharuskan wanita tua itu untuk menghidangkan kopi di akhir acara makan. Dazel menyukai kopi yang masih panas ketika dirinya meminum kafein tersebut, jadi mau tak mau bibi Hwang harus selalu standby untuk memberikan timing yang pas untuk menyerahkannya. Sedikit pemilih dan tentunya merepotkan. Begitulah seorang Dazel Lim bersikap.

     Ara menatap kepergian bibi Hwang dengan sedikit menggigit bibir bawahnya. Terlihat ragu, Ara tak ingin mengatakan yang mengganggu pikirannya didepan sembarang orang.

     "Beberapa hari yang lalu..." Ara mulai membuka suara yang membuat Dazel mengangkat wajah dan menatap istrinya dengan alis yang terangkat.

     Merasa dirinya mendapatkan perhatian, Ara kemudian melanjutkan ucapannya. "Mamah datang ke sini."

     "Aku tahu. Lalu?" Dazel menganggukkan kepalanya pelan.

     "Dia membahas soal cucu. Mamah ingin agar aku membujuk kamu yang keras kepala," kata Ara membuat tangan Dazel yang hendak meraih cangkir kopinya mendadak terhenti. Menatap Ara sebentar, Dazel lalu berdehem dan mengambil cangkir kopi untuk menutupi rasa terkejutnya.

     "Kamu jawab apa?" Tanya Dazel sebelum dirinya menyeruput kopi buatan bibi Hwang sedikit. Manisnya pas.

     "Aku bilang akan patuh pada keputusan suamiku."

     "Bagus. Lain kali abaikan permintaannya. Mamah emang sedikit pemaksa, tapi dia pasti akan menyerah jika kita bersikap tak peduli," kata Dazel seraya mengambil jeruk Mandarin yang tersaji di atas mangkuk buah.

     Ara mengangguk mengerti. "Lagipula aku juga gak berpikir untuk punya."

     Tangan Dazel yang tengah mengupas kulit jeruk tiba-tiba terhenti saat mendengar ucapan Ara. Menatap gadis yang tentu lebih muda 7 tahun di depannya, Dazel terlihat penasaran dengan jawaban yang Ara berikan.

     "Kenapa?"

     Ara mengedikkan bahunya acuh lalu kembali menikmati sarapannya yang selalu bervariasi setiap hari. "Hanya... Aku cuma berpikir itu pasti akan merepotkan. Aku besar tanpa kasih sayang seorang ibu, jadi aku gak yakin bisa membesarkan anakku dengan baik nantinya. Yah, lagian hubungan kita gak akan sampai ke jenjang memiliki anak. Aku benar, kan?" Tanya Ara dengan senyuman sarat akan makna.

The Great MaskTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang