Do - The Beginning

127 5 2
                                    

Aku berjanji, suatu saat nanti, kamu akan melihat indahnya dunia, Hillary Aluna Hermawan.

·

Hillary POV

Selama 17 tahun hidupku berjalan seperti biasa, walau disaat aku membuka mata semuanya gelap. 8 tahun terakhir aku berjuang melawan perkataan menyakitkan orang lain, belas kasihan dari mereka, serta pandangan rendahnya terhadapku. Aku beruntung masing mempunyai orang tua yang menyayangiku, tidak pernah terpukul atas kehadiranku, selalu disampingku memberi dukungan sampai aku bisa berdiri disini. Panggung seleksi masuk sekolah musik ternama, DoReMi Music International University.

"Hillary Aluna Hermawan, kami persilakan untuk memperkenalkan diri secara singkat." Aku mendengar salah satu juri memintaku untuk memperkenalkan diri.

"Saya Hillary Aluna Hermawan, biasa dipanggil Hillary. 17 tahun. Saya rasa itu semua cukup." Ya. Aku sengaja hanya perkenalan diri secara singkat karena mereka belum mengetahui riwayatku sebagai seorang tuna netra.

"Baik, anda bisa mulai bermain."

Kualunkan lagu River Flows In You yang sudah aku aransemen sehingga terdengar seperti lagu yang berbeda. Setiap tuts yang kutekan mewakilkan seluruh emosi yang aku keluarkan. Aku memang telah mempersiapkan lagu ini untuk seleksi selama berbulan-bulan. Keterbatasanku membuat aku harus berusaha lebih keras dari peserta lain. Dan disini, panggung, piano, dan musik klasik, adalah tujuan hidupku. Saat kutekan tuts terakhir menandakan penampilanku telah usai, terdengar suara tepuk tangan yang riuh sehingga dapat kusimpulkan, hasil kerja kerasku selama berbulan-bulan, berakhir sempurna.

"Baru pertama kali aku mendengar lagu yang sangat popular ini dalam aransemen yang seperti ini. Terdengar mewah dan banyak sentuhan klasiknya. Tidak dapat kupungkiri, kau luar biasa saudari Hillary." Kudengar salah satu juri laki-laki mengucapkan itu.

"Penampilanmu terdengar seperti permainan empat tangan. Kau luar biasa. Namun, kenapa kau hanya duduk disana sejak permainanmu usai? Tidak ada salahnya kau kedepan dan mendengar komentar kami." Kali ini juri perempuan. Kata-kata itu membuatku sedikit takut. Bagaimana kalau riwayatku ini menyebabkan aku tidak lulus audisi kali ini?

"Maaf, tidak bisakah saya mendengar keputusan saya diterima atau tidak terlebih dahulu?" tanyaku sesopan mungkin.

"Kurasa tidak perlu perundingan lagi karena kau, sudah pasti kami terima."

"Apa benar saya diterima?" Aku tak bisa menyembunyikan kebahagiaanku. Aku hanya ingin memastikan, itu benar.

"Apa ada alasan kami untuk menolakmu?" Tanya juri perempuan itu, kuakui ini pertanyaan tersulit yang harus ku jawab.

Kuambil tongkat disamping piano yang menjadi temanku belasan tahun terakhir, berdiri dan berjalan ke tempat yang kuyakini adalah pusat dari panggung megah itu.

"Aku seorang tuna netra. Itu alasan anda untuk menolakku." Diluar keberanianku aku mengakui itu semua. Tidak peduli aku mendengar penonton berkata 'Bagaimana bisa?' atau 'Dia buta?'

"Aku rasa kita harus berunding, saudari Winda." Ujar salah satu juri laki-laki. Kusimpulkan, nama juri perempuan tadi adalah Winda.

"Tidak. Kita tidak perlu merundingkan apapun saudara Raihan. Dia diterima dan tetap seperti itu. Tadinya kita semua menganggap dia gadis biasa yang mampu memainkan melodi seindah itu, namun kini dia memiliki kekurangan yang mampu memainkan melodi seindah itu. apa itu bukan bakat luar biasa?" Jawab Juri bernama Winda tersebut yang membuatku ternganga. Ada seseorang yang percaya dengan bakatku.

"Dan perlu saya tekankan disini. Hillary, kamu diterima karena bakatmu, bukan karena rasa iba kami padamu. Ini baru awal, kedepannya akan lebih berat lagi. Apa kamu sanggup?"

"Saya sanggup."

·

Lilian POV

"Ken, bagaimana ini?" Aku khawatir. Amat sangat khawatir. Bagaimana bisa orang disampingku ini terlihat tenang-tenang saja. Ini antara hidup dan mati. Kalau aku tidak bisa lulus dalam audisi kali ini, kupastikan orang tuaku akan menyeret ke perguruan tinggi negeri yang mereka inginkan. Berkutat dengan buku-buku itu lagi. dan aku sangat membencinya.

"Tenang saja." Jawabnya sekenanya. Menyebalkan. Kuperhatikan sejak tadi pandangannya tidak lepas dari gadis yang baru saja menyelesaikan penampilannya. Kuakui dia sangat hebat. Sejak dia mengungkapkan bahwa dia tuna netra, aku semakin menyadari bahwa ia luar biasa. Namun, karena sebentar lagi adalah giliranku, aku tidak bisa fokus melihatnya.

"Dia cantik." Yang Ken katakan tidak salah, namun disaat genting seperti ini dia hanya membuatku semakin kesal.

"Terimakasih." Sindirku. Kutarik tangannya menuju belakang panggung. Aku harus menyadarkannya sebelum dia mengacaukan segalanya.

"Dengar ya, Ken. Ini impian kita. Jangan mengacaukan segalanya. Aku ingin kita lulus bersama. Berusahalah yang terbaik. Aku percaya padamu."

"Bermain dengan hati, bukan dengan emosi, Lilian. Aku juga percaya padamu." Sesaat setelah mendengar kata-kata Ken, nomor urut kami dipanggil untuk menuju ke atas panggung. Kurasakan Ken menggenggam tangan kiriku, dan kami melangkah menuju panggung, dengan biola ditangan kananku.

"Baik, kami persilakan kalian untuk memperkenalkan diri secara singkat."

"Saya Lilian Evelyn Prisadi, biasa dipanggil Lilian. Umur 18 tahun. Lulusan SMA Bakti Pelajar." Jelasku secara singkat.

"Dan saya Kenneth Wirakusuma, 18 tahun. Lulusan SMA BAkti Pelajar."

"Saudari Lilian dan saudara Kenneth, kami persilakan untuk mulai bermain."

Permainan kami aku buka dengan melody biola solo, dan ken mengikuti dengan melodi piano solo yang sama dengaku. Kami buka penapilan kami dengan Csardas-nya Vittorio Monti. Klasik, namun elegan. Kuakui Ken sangat luar biasa dalam mengimbangi permainanku. Kami ubah tempo dengan memainkan Think of Me, salah satu Original Soundtrack untuk mendapat feel lambat dan teratur. Tak lama kami ubah tempo kembali dengan Phantom of The Opera demi menambah unsur ketegangan.

"Saatnya untuk bersenang-senang, Lilian." Suara Ken masih dapat kudengar.

Aku mengerti apa maksudnya, untuk sentuhan terakhir kami beralih ke Billie Jean-nya Michael Jackson. Menggabungkan klasik dengan jenis lain tentu sulit. Tapi setelah mendengar sorakan dari penonton, aku percaya bahwa mereka menikmatinnya. Permainan kami berakhir dengan satu hentakan dan diiringi tepuk tangan penonton. Aku lihat orang tuaku dan orang tua Ken disalah satu bangku penonton. Aku bahagia saat ini.

"2 kali flat Lilian." Kata Ken padaku.

"Aku tahu." Jawabku. Aku sungguh mengetahuinya. Karena kesalahanku itu sejenak membuyarkan konsentrasiku saat lagu kedua tadi. Usaha kami dalam mempersiapkan penampilan ini, tidak mengecewakan.

"Secara keseluruhan, penampilan kalian cukup memukau dan menghibur. Menggabungkan genre yang berbeda memang sulit, tapi kalian mampu dan terdengar bagus." Ujar Pak Raihan selaku Juri kali ini.

"Kalian telah mengambil resiko besar dengan 2 kali flat saudari Lilian. Namun, penonton tetap terhibur dan saya menikmatinya. Kalian berdua lulus audisi." Ujarnya to the point. Apa ini sungguhan? Aku lulus audisi bersama Ken! Refleks, aku peluk Ken, aku tidak bisa menyembunyikan kebahagiaanku.

"Ken, kita lulus. Kita lulus audisi!"

"Aku tahu. Pelukannya lanjutin belakang panggung saja ya, malu kalau disini." Mendengar kata-katanya aku segera melepaskan diri dari pelukannya. Oh, Tuhan. Itu hanya refleks.

"Maaf Ken, aku tidak sengaja."

"Tidak apa-apa." Kami membungkuk sembari mengucapkan terimakasih.

Perjalanan kami, baru saja dimulai.

________________

New story, vote and comment, thanks!

Way Back Into MelodyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang