Fa - Bukan Akhir Sebuah Cerita

53 4 2
                                    

Hillary POV

Jadi ini alasan kamu tiba-tiba menghilang begitu saja

Aku kira kamu benar-benar tidak mau bertemu denganku lagi

Aku hampir membencimu tanpa alasan

Maaf aku benar-benar tidak tahu apa yang terjadi padamu

Aku menyesal

Sungguh

Aku mencarimu kemana-mana selama ini

Akhirnya aku tahu kenapa tidak bisa menemukanmu

Karena memang kamu udah gak ada didunia ini

Aku sedang mencoba berbicara dalam hati padanya. Sembari meletakkan setangkai mawar putih diatas pusaranya. Akhirnya aku menemukan dia. Orang yang selama ini tulus menjadi temanku disaat orang lain mencelaku. Darian Ramantha Prisadi.

Saat Ken bercerita tentangnya, aku memang terkejut dan tidak percaya. Sampai aku memintanya untuk mengantarkanku ke tempat peristirahatan terakhirnya.

Aku bersahabat dengannya, cukup dekat. Dia yang selalu ada saat masa sulitku kehilangan pengelihatan. Apa dunia sesempit ini?

Kenapa aku terus berhubungan dengan keluarga Prisadi?

Ken yang mengetahui hubunganku dengan Darian awalnya tidak percaya. Yang Ken tahu, Adrian sangat amat tertutup dan pendiam orangnya. Tapi tidak denganku, Darian yang dulu bersamaku adalah Adrian yang hangat dan penuh perhatian. Bahkan sebelum aku kehilangan pengelihatan hanya wajahnya yang terekan jelas dalam ingatanku. Aku jelas-jelas merindukannya. Dan air mata ini jatuh lagi.

"Hill, sudah? Kita balik ke rumah sakit, ya?" Ken setia mengantarku semenjak 2 minggu terakhir.

Aku mengangguk mengikutinya.

Hari ini menginjak 2 minggu Kak Winda dinyatakan koma dan makin hari kondisinya semakin melemah. Setiap pulang dari kampus aku selalu menyempatkan diri menjenguknya. Kak Winda sangat berarti buatku. Dia segalanya untuk karirku.

"Tawaran salah satu produser itu sudah kamu terima?" tanyaku memecah keheningan.

"Belum. Aku masih mikirin sesuatu."

"Apa lagi? Bukannya itu salah satu perusahaan besar? Ini bakal jadi awal karir yang bagus lo, Ken."

Sejak penampilannya diatas panggung pentas seni, Kenneth Wirakusuma adalah nama yang jadi perbincangan empuk dikalangan pihak sekolah dan produser. Penampilannya memukau aku akui itu. Aku mendengar permainannya dari rekaman salah satu teman Lilian.

"Apa kamu ngerasa kalau ini gak adil? Kamu sudah latihan keras dalam sekejap semua berubah. Andai kamu tampil saat itu pasti kesempatan ini jadi milikmu."

"Gak, kamu salah. Andai aku tampil hari itu, permainanku akan hancur dan produser itu pasti bakal gak percaya sekolah kita lagi." aku tersenyum.

"Lagian ini belum rejeki namanya. Berarti aku harus lebih profesional. Dan harus aku akui kamu jauh lebih hebat dariku, Ken. Tanpa latihan se-intensif-ku aja sudah luar biasa."

"Apa sebaiknya aku terima tawaran itu?" Tanyanya balik padaku.

"Tentu. Tunggu apa lagi. Udah saatnya kamu mulai karirmu. Bukannya lebih cepat lebih baik?" tanyaku mendesak. Karena bagaimanapun aku tahu Ken orangnya enggak enak-an. Aku gak munafik aku ingin dapat kesempatan itu. Tapi aku masih jauh dari kata layak untuk itu dan Ken, lebih berhak mendapatkannya.

"Aku hanya sedikit beruntung. Kalau Kak Winda bangun nanti, pasti dia akan memarahimu habis-habisan dan memujiku karena menyelamatkan penampilan itu hahahaha." Tawa Ken menggelegar dan aku hanya tersenyum.

Way Back Into MelodyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang